Friday, 5 December 2014

Journal Liburan “Summer Time”



Juni 2014

“Tapi yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu. Kita abadi. (Sapardi, 1978)

Masa perkuliahan semester empat berakhir di bulan juni. Setelah menjalani aktivitas kuliah yang membosankan dan melewati ujian akhir praktik-teori yang melelahkan, akhirnya malam tiba juga, malam yang kunantikan sejak awal, malam yang menjawab akhir kita, inikah akhir yang kita ciptakan...sek sek, salah fokus haha. Akhirnya liburan tiba. School out, holiday in! Liburan musim panas kali saya awali dengan pendakian ke gunung merbabu, ini adalah kali kedua saya ke merbabu “Langkah Kecil Nyotho Ing Merbabu.” Ya, setiap perjalanan yang saya lakukan akan saya namai Langkah Kecil, nama baru yang saya temukan dalam perjalanan. Saya memang suka dengan perjalanan. Tuhan beri kita jalan dan waktu, maka berjalanlah jauh, bawa langkahmu tersesat ke dalam tanda tanya (?)

“tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni....”

14-15 Juni 2014, Langkah Kecil Merbabu ini dijalani oleh tiga orang peserta; Saya, Wahyu, dan Singgih. Langkah Kecil mendaki melalui jalur Selo yang pada saat itu ketiga peserta belum ada pengalaman di jalur itu. Dengan niat dan hati yang bersih, Langkah Kecil berhasil mencapai puncak trianggulasi dengan trek pendakian yang lumayan berat. Untuk sampai menuju puncak dari jalur selo akan menyebrangi beberapa bukit dan melewati jalur punggungan sapi, trek kelas berat untuk pendaki pemula seperti kami ini.

Perjalanan dimulai sekitar pukul setengah sembilan malam waktu bagian boyolali dan sekitarnya. Sampai di camp area sabana II sudah sekitar pukul setengah satu dini hari. Pagi yang dini, matahari masih nyingkruk di pelukan bumi. Kami harus mendirikan tenda dalam keadaan tubuh menggigil dan melawan angin yang kencang waktu itu. Urung niat kami untuk menaklukkan puncak sebelum matahari membangunkan pagi.

“Dingin pak, bapak mau mati membiru di puncak?”
“Iya, dingin. Mending melanjutkan tidur yang berharga ini.”
Treking ke puncak dilakukan setelah matahari mulai meninggi, mlangkring di pinggiran bukit menghangatkan pagi. Dari sabana II sudah terlihat puncak yang terpisah jarak. Ah, berapapun jarak jika dijalani dengan hati yang ikhlas dan semangat hanya akan terasa selangkah.
Pendakian sukses, dan Langkah Kecil Merbabu berakhir dengan bahagia. Nyotho Ing Merbabu.











































merbabu edisi ramadhan.



























Juli 2014
Tidak ada perjalanan keluar di bulan Juli karena bertepatan dengan bulan Ramadhan sehingga waktu tidak mengijinkan. Di bulan Juli mungkin hanya ada beberapa acara kecil; ngangkring (setiap hari), buka bersama, kumpul handai taulan, dan halal bihalal.

19 Juli. Buber bigfamz CORO; Saya, Rosi, Kak AW, Momo, Tyas, Nias, Iwed, dan ketambahan Wening. Buber di rumah makan Suminar, spesial gurami bakar. Dalam Kebersamaan yang mewah

25 Juli, Buber coro. Teman kelas SMA. Orang-orang yang selalu saya rindukan walau waktu masih sering mempertemukan tangan-tangan kita. Buka bersama tahun ini digelar di rumah makan. Untuk pertamakalinya setelah dua tahun sebelumnya selalu di rumah Momo. Buber dihadiri hanya 19 pesrta dari 32 jumlah keluarga kelas. Umur semakin tua, waktu semakin langka, kebersamaan dalam cangkir kopi semakin purba. Ya, memang susah untuk mengumpulkan seluruh anggota keluarga kelas dengan segala kesibukan dan kepentingan hidup yang berbeda-beda. Pada akhirnya, hiduplah yang akan memisahkan kita. Namun seiring berjalannya waktu, akan menyisakan beberapa kepala yang itu akan selalu saya rangkul dalam ikatan sahabat. Saya sangat berterima kasih kepada sahabat, hadirnya menemani perjalanan saya.
Setelah acara buber selesai, rombongan pindah ke angkringan depan diknas Ngawi. Angkringan tetap sedjak masa remadja, SMA.
Thanks for Momo, Rosi, dan Kak Aw















































































27 Juli. Buber SD. Buber digelar di rumah Iis. K. Yang ini malah lebih parah, hanya 8 orang yang hadir. Teman seangkatan SD sudah memiliki kehidupan yang lebih kompleks; ada yang kerja di luar jawa, ada yang sudah menikah, punya anak, dan ada pula yang sudah jadi janda haha. Ndocill..rondho cilik.


















Agustus 2014


2 Agustus. Halal Bihalal MAYAPADA

4-6 Agustus. Agenda liburan BigFamz Coro musim panas ini ke Pantai Goa Cina, Malang. Pantai ini dinamakan GoCin karena dahulu ada seorang pertapa cina yang melakukan aktivitas pertapaan di sebuah gua pantai tersebut. Kemudian dia muksa bersama raganya di gua tersebut.  Peserta Langkah Kecil GoCin; Saya, Kak AW, Rosi, Tyas, Zaki, Babon, dan Bayu. Berangkat dari Ngawi menggunakan sepeda motor dengan perjalanan jauh dan sangat melelahkan. Total waktu dari Ngawi kira-kira 7-8 jam jalan. Saat itu tiba di GoCin sudah malam. Rencana awal kami hanya camp semalam saja, namun karena kami merasa tersakiti oleh perjalanan yang jauh, akhirnya kami putuskan untuk menambah satu malam lagi. Jadi dua malam di pantai, yess!

Malam pertama hanya terisi oleh klemah-klemah di pasir dan tenda karena terlalu lelah dalam perjalanan. Tidak ada api unggun, Saya dan Babon mencari kayu untuk menambah kehangatan suasana malam. Api menyala, percakapan kayu dengan api dimulai, sebelum hangus menjadi abu. Bintang-bintang bagai pasir terbang ke langit, berkerlap-kerlip-berjatuhan. Suara ombak menyatakan bahwa kami memang benar-benar di pantai selatan. Tak ada yang tahu seberapa karang yang terkikis oleh ombak pada malam itu. Semua larut dalam lelah, hanya Saya dan Babon yang tertinggal di depan api. Semua telah lelap.

Malam terasa sangat panjang. Satu-persatu mereka bergabung dengan kami di api unggun. Semua kembali menyala. Kami membuat permainan “jawab jujur”. Sembari mengisi curhatan malam. Dan, saya mendapat mata pisau dari babon. Dia ingin aku bercerita tentang kejelasan hubungan saya dengan rosi. Ya, semua itu ada prosesnya. Dan saya tidak mau memaksa. Semakin lama permainan itu terasa membosankan, dan mata mulai layu.

Saya memilih untuk tidur di atas pasir seperti biasa, nyaman. Perkelahian malam dengan bulan telah melahirkan pagi yang dini. Angin berhembus kencang, dini hari kedinginan. Tak ada dialog yang sederhana kecuali nyingkruk mencari kehangatan. Akhirnya saya memutuskan untuk tidur di dalam masjid. Di sana saya mendapatkan tidur dan mimpi mistis pantai selatan.

Pagi berkicau; matahari membangunkan seisi alam semesta. Siang membuntutinya di belakang. Pantai semakin ramai. Banyak tante-tante, ciwai-ciwai seksi. Ini pantai! Sehari itu saya mandi di pantai tiga kali, pagi siang, sore. Lengkap. Teman-teman membeli ikan di TPI untuk dimasak dan bakar malam. Kami makan enak hari itu. Sore cumi, malam ikan bakar. Malam kedua berlalu begitu saja. Pagi berkemas segera meninggalkan pantai dan kembali ke Malang. Sampai di malang istirahat sejenak lalu melanjutkan perjalanan ke Ngawi. Begitupun sampai di Ngawi sudah jam 1 pagi. “Aku Lelah”.




























































14-19 Agustus. Asu. Babon mengajak ke Arjuna-Welirang. Gass! “Langkah Kecil Arjuna” dengan peserta; Saya, Babon, dan dua teman Babon dari Jakarta, Kribo dan Gudel. Langkah Kecil kali ini adalah yang paling menyesakkan. Ya, kami gagal melihat puncak gunung. Perih memang, namun Saya mendapatkan pelajaran yang luar biasa dari perjalanan ini. Gunung adalah tempat sakral, jangan sekali-kali mendaki dengan hati yang kotor. Sebetulnya perjalanan ini bukanlah sebuah kegagalan, karena tidak ada kegagalan dalam mendaki gunung. Semua pendakian adalah sebuah keberhasilan jika kita bisa menggambil himah dari perjalanan yang kita lakukan. Langkah Kecil jee..





















Setelah turun dari gunung, Kribo mengajak kami untuk mencari hiburan ke pantai. “Yaelah bo, pantai lagi.” Yasudah, saya menuruti. Kasian mereka datang jauh dari jakarta tidak dapat apa-apa.


Next destination adalah Pulau Sempu. Wilayah “Cagar Alam” yang masih masuk daerah Sendang Biru, Malang. Kami dua malam di Sempu, camp di Segara Anakan. Sempu, segara anakan; pantai tanpa ombak itu membosankan. Namun yang menyenangkan dari segara anakan adalah tebing karangnya yang bisa digunakan untuk terjun langsung ke air dengan kedalaman sampai 3 meter. Kawasan sempu masih dihuni oleh berbagai macam hewan-hewan liar; kera, lutung, siamang, burung, kijang, kancil, badak, dan harimau, dan lain-lainnya. Vegetasi hutan juga masih terjaga. Namun seiring dengan semakin banyaknya wisatawan yang masuk ke kawasan cagar alam ini, saya tidak jamin kelestarian hutan tidak akan bertahan lama. #SaveSempu #SempuCagarAlam #SempuBukanWisata. “Lha awakmu kok dolan rono mas?”























September 2014.

2-3 September. Langkah Kecil Lawu. Niat pendakian ini adalah untuk menutup masa liburan yang akan segerai usai. Napas panjang telah berlalu dengan segala susah senang di dalamnnya. Setiap perjalanan akan selalu memberikan makna. Maka berjalanlah jauh dari rumah.

Anggota Langkah Kecil Lawu adalah teman-teman kampung halaman; deni, gading, imam, titis, saya. Sedikit cerita dari pendakian ini, sampai di Hargo Dalem kami mendapati pintu warung Mbok Yem terkunci. Yah, mbok yemnya turun. Lawu kwok kwok, sepi. Untungnya kami membawa peralatan lengkap, saya tidak pernah menganggap remeh gunung, lawu sekalipun yang ada warung nasi di puncak.

Lawu malam itu sangat dingin, angin lumayan kencang. Kami mendirikan tenda di rumah seng-sengan di Hargo Dalem. Niat saya untuk meditasi di hargo dalem urung karena dingin. Malam terasa begitu panjang, matahari terlambat datang. Kami menikmati malam dengan gigil. Yey, saya selalu suka ketika mengigil di puncak. saya suka sensasi ketika malam tak habis-habisnya dan pagi tak kunjung tiba, dalam malam terjaga menunggu pagi. Tidak bisa tidur. Namun ada yang indah pagi itu, walau mata melewatkan lahirnya matahari. Pandangan cerah, gunung-gunung timur semua tampak; kelud, arjuna, welirang, mahameru. Gunung-gunng barat; merapi, merbabu, sumbing, sindoro, slamet. Kami dapat untung sepagi itu.

Dalam perjalanan turun, saya dapat sms dari heri, “bud alat mendakimu mau saya pinjam, ke merbabu.” “oke, saya ikut.” Gasss!!


6-7 September. Langkah Kecil Merbabu Part II. Saya, heri, siti, arif, lantip, mas joko. Melalui jalur yang sama, Selo, Boyolali. Belum bosan dengan punggungan sapi dan bukit-bukit brutall. Ketika itu minggu terakhir masa liburan semester. Senin mulai masuk kuliah. Yah. Tidak ada cerita yang menarik. Kali ini saya memilih tidur di puncak daripada foto-foto dengan awan. Sudah mulai bosan. Ingin lebih merasakan kedamainan puncak, resapan angin, belaian dingin, tenang, damai, and i want to feel like i am free, to be me. Yak, menjadi diriku sendiri adalah hal besar yang ingin selalu saya lakukan.

Kuliah mulai jalan. Namun “summer time” tidak berhenti disini. :D Saya masih ingin habiskan matahari sampai ia purba di penghujan.

Next; 20-21 September. Langkah Kecil Camp di Sepanjang. Saya, siti, wawan, sarkum, arif, imam, dan dua teman arif. Agenda ini hanya untuk mengisi kekosongan waktu karena saya tidak pulang ke Ngawi gegara ada test pro-tefl untuk yang ketiga kalinya. Saya sudah bawa peralatan; panci, kompor, flysheet dan sebagainya ketika test. Rodokenthir. Tapi hasil test saya lulus :D akhirnya.
Kami hanya santai-santai di pantai; api-api, tidur di pasir, main air. Tak ada cerita yang spesial di perjalanan kali ini.


Oktober 2014
11-12 Oktober. Langkah Kecil Sumbing.  Sudah, ini yang terakhir. Menutup “Summer Time” dalam tulisan ini. walau selanjutnya masih ada agenda Lawu. Saya, heri, siti, dan topan. Pendakian dilakukan lewat jalur Garung, Wonosobo. Kami jalan dengan persiapan yang matang. Jadi, tenang..saya telah siap dalam pendakian, semua telah dipersiapkan dan dipertimbangkan secara matang.

Start dimulai pukul sebelas pagi. Dari basecamp stick pala, kami lewat jalur lama. Keluar dari desa melewatu perkebunan warga. Jalur ini yang memutuskan asa, tak terkecuali untuk topan yang baru pertama kali melakukan aktivitas pendakian. Jalur berupa jalan batu yang biasa dilewati oleh pengantar pupuk kebun dan ojek-ojek gunung.motornya sangar pak, mereka kebut-kebutan di gunung. Mirip balapan MTB kelas dunia.
Dari basecamp, kami sampai di pos 1 Malim pukul setengah satu siang. Pos 1 berupa tanah lapang dengan vegetasi yang rimbun, sejuk.  Mulai dari pos 1 naik trek sudah mulai tanah yang berdebu di musim kemarau seperti ini. Namun trek sudah sedikit enak dibanding sebelumnya, landai dan hanya sedikit nanjak sebelum sampai di pos 2 Genus, pukul dua siang. Kami mengisi tenaga dengan nata de coco dan roti, bekal untuk melanjutkan perjalanan. Setelah genus akan mendaki bukit dengan pasir berdebu. Lumayan berat, namun hanya satu jam dari Genus. Pos 3 Seduplak Roto pukul empat lewat duapuluh menit. Sore. Sedikit naik dari pos 3 akan langsung bertemu dengan tanah lapang, sebelum pestan. Saya putuskan untuk mendirikan camp di sini, karena pertimbangan di atas, pestan akan sangat rawan terhadap badai. Di watu kotak hanya ada sedikit tanah lapang, daripada tidak dapat tempat mendingan kami membuat tenda di bawah pestan.

Tenda berdiri, Senja muncul di batas cakrawala. Saya tak ingin kehilangan moment ketemu senja. Senja dan pacar senja kembali bersama. Cium cium senja. Kali ini saya tak linglung oleh senyuman senja, malah ia habis di ujung bibir pacar senja.

Senja, kan ku tebas semua jarak di cakrawala. Agar aku bisa mencintaimu selamanya.
Malam datang, kami menyiapkan makan malam. Walau hanya mie instan, namun makan wakyu itu terasa berbeda. Mungkin karna senja yang menyiapkannya. Malam berlalu begitu saja; api-api dan tidur yang nyenyak ditimang-timang senja. Pacar senja tidur memimpikan senja. Senja berkelana menemui pacar senja. Uopotopak, duh-,-

Pagi menyambut matahari yang mulai meninggi, kami segera meninggalkan tidur dan bersiap summit puncak. Mengingat puncak masih tiga jam dari pestan. Dari camp start pukul enam pagi. Mendaki trek yang lumayan tajam, sampai di pasar watu pukul tujuh pagi. Banyak batu, 360 batu. Tertawalah kawan... dari pasar watu ke watu kotak satu jam jalan. Kami sampai puncak sekitar pukul setengah sepuluh pagi. Kami kurang beruntung, dapat kabut. Sindoro malu di kabut-kabut yang sepi. Kami tak bisa menikmati waktu, diburu waktu karena kami sewa alat. Harus kembali tepat waktu

Turun ke camp, masak, packing, lalu PULANGGGGG...




Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari (Sapardi, 1971)
waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan.

-Oktober 2014

Tuesday, 7 October 2014

Cerita Gede-Pangrango (Kedua) - Puncak Gede

Budi meletakkan tas keril di teras sebuah warung makan, kemudian diikuti oleh Babon dan teman-teman lainnya. Perut mereka sudah merasa sangat lapar. Belum diisi sejak sore. Hari baru telah lahir kembali. Dan saat itu masih pagi. Kabut dingin membuat perut semakin merasakan lapar. Suasana desa sangat sepi. Beberapa warga bergotong royong membenahi jalan yang berlubang di sana-sini, menurunkan material tanah dari mobil pick-up warna hitam. Jalan menuju Gunung Putri Gate sudah nampak di depan; makadam, menanjak, jalan kecil yang membelah perumahan, tampak sepi dengan kabut yang menyelimuti bukit di belakang. Mereka simpan dulu pandangan. Perut sudah tak bisa dibujuk, mereka memutuskan untuk makan pagi di warung, satu-satunya warung makan di pagi itu. “Kita makan dulu di sini sambil rehat sejenak mengenakkan badan setelah perjalanan panjang di kereta semalam.” Ajak Budi kepada teman-teman dengan nada bahagia karena telah sampai di desa terakhir sebelum memulai pendakian. Mereka cukup lelah dalam kereta semalam, mata tak mendapat tidur, hanya sebentar terhibur di dalam bus dari Kampung Rambutan menuju Cipanas. Namun, rasa senang mengalahkan mata lelah. Kantuk tak mampu menguasai mata mereka, walau terasa perih dan merah kering. Suasana makan sangat dingin, nasi yang baru keluar dari magic com tidak begitu terasa panas. Mereka makan dengan cepat saja, walau porsi makan masih kurang untuk ukuran perut para pejalan malam ini. Di  daerah itu, makan  termasuk barang yang mahal, harus pikir-pikir dahulu ketika memilih tempat makan, itu pun kalau ada pilihan, kalau tidak, terpaksa bayar dengan harga mahal. Memperjuangkan hidup di kota itu memang susah. Semua yang berbicara adalah uang. Setelah makan, mereka santai-santai di warung sambil membagi obrolan dengan pagi.

Thursday, 19 June 2014

Lalu Pulang

Jarum jam berlomba dengan waktu;
saling membunuh, sepi tak pernah terbunuh,
malam mengeluh; hatinya peluh bercucuran, rindu
tak mampu berbicara tentang rasa, karena jauh.

Dan. Lalu..

Kaki terseret langkah, pulang bersama rindu;
jarak merengkuh, mendekap tempat berlabuh,
perjalanan di tempuh; menikmati lara, pudar biru
menyusuri jalan pulang, rumah tempat berteduh.

Dan. Lalu..

Waktu terus melaju, deru menderu biduk jalanku;
sepi mengaduh, rindu mulai dengan gaduh,
tak mampu meringkas jauh; betapa laraku,
hati menyimpan rindu, pulang bersama keluh.

Dan. Lalu..
Dan. Lalu..

Jangan lagi pulang,
jangan lagi datang,
rindu; pergi jauh.

*Pulang - Float.
Jogja, 4 juni 2014

Senja Di Bulan Juni

Hujan datang di bulan juni,
menyapa tanah basah dan bau wangi.
Angin lebat mengalir di atas sungai kemarau,
daun-daun kuning berjatuhan di halaman.
Terbaring sepi sebelum kau sapu di pagi hari.

Hujan di bulan juni adalah rindu yang telah
terbendung lama, dan telah mencapai batasnya.

Wajah Senja sumringah di atas bohon bambu,
mentereng jingga cantik di cakrawala.
Tahu Senja sudah menunggu, Pacar senja bergegas
mencari  mandi, gebyar-gebyur, nyanyi-nyanyi di kamar mandi.
Senja dan Pacar senja telah berjanji jalan-jalan di persawahan.

Pacar senja terlambat datang. Senja baru saja pergi
meninggalkan rumput-rumput basah di dalam suara adzan.
Pacar senja mencari-cari wajah Senja di cakrawala
yang telah gelap; lenyap, habis dimakan lanskap, 
malam selalu berkuasa di dalam gelap dan kesunyian.

Tiba-tiba ada yang datang, mengajak pulang
Pacar senja yang termenung sendirian.
Ternyata gerimis selalu menguntit di belakang,
“Mari kuantarkan pulang. Senja telah menyerahkanmu
kepada pelukanku, mari kita bermain di ranjang.”

Pacar senja memilih diam, di tepisnya
belaian gerimis yang cerewet dan nakal.
Pacar senja ingin sendiri, tidur-bermimpi
diciumi senja sampai pagi hari.


Ngawi, 19 juni 2014

Thursday, 29 May 2014

Gede-Pangrango; Cerita Pertama

Di Kereta

Aku berangkat meninggalkan bosan di kelas yang penuh dengan kursi-kursi besi yang angkuh, kursi berdebu, tua, karatan, kursi dengan busa yang sudah tak utuh lagi, kadang juga tidak simetris, sudah tidak mampu berdiri dengan tegak, kursi yang menjadi duduk berhari-hari, dalam ruang kelas yang pengap, hampa, terlalu banyak ocehan, aku merasa terasing dengan keadaan itu. Di kelas itu (kuliah) membosankan. Aku rindu kursi kayu.

Selasa. Perjalanan ini dimulai ketika senja dibingkai kaca jendela. Kereta berangkat meninggalkan jogja pukul 05.40, saat senja senyum-senyum di etalase jendela. Pemberangkatan telat tiga puluh menit dari jadwal, jam karet! Segenap doa dituju pada Tuhan, manusia menggantungkan segala hidup kepadaNya. Kereta melaju dengan cepat, memburu gelap, berlari ke tempat senja yang dengan santainya masih senyum-senyum ketika mulai ditelan malam. Lampu kota mulai menyala, beramai-ramai merayakan tugasnya. Lanskap menjadi buram, kereta berpacu menyusuri rel yang tertata rapi, terbaring berjajar diatas bantal-bantal beton, beralaskan batu-batu yang sejatinya adalah bongkahan debu.

Album Foto; Gunung Pangrango - Mandalawangi

Hutan;


















Tuesday, 27 May 2014

Mati Lampu

Malam benar-benar telah menampakkan wujudnya.
Tanpa cahaya lampu; malam adalah gelap, waktu tentang kesunyian
seperti cangkir kopi tanpa campuran susu.
Bola lampu kehilangan nyawa, melayang-layang di udara
pada tiang-tiang di jalanan menggantungkan rindu,
pada dinding kamar bersandar akan harapan. Selalu berharap.
Lampu tak menyala, malam berkuasa.
Rumah yang menjadi tempat yang hangat kini
menjadi kosong, menganga di larut malam.

Belalang pohon nyaring bunyinya; percakapan tragis dengan malam.
Bola lampu mengapung di kesunyian,
ia tak kuasa, tak bercahaya.
Di kota ini sudah tidak ada matahari lagi,
matahari tidak suka gelap, ia berlari memburu fajar
di timur yang terang. Di sana memang benar terang.

Langit seakan menjadi bidang yang paling terang,
dengan kerlip bintang leluasa bertaburan
di atas rumput ilalang yang bergoyang-goyang.
"Bagaimana jika matahari tiba-tiba datang
dan menerangi kamar gelap ini?"
"Akan kupadamkan cahaya, kupeluk habis tubuhnya.
Ku jaga dia di sini, tak kubiarkan menyusuri jalan pulang".

Kupelihara matahari saat malam datang.

kamar kost. 27-05-2014

Sunday, 4 May 2014

Laku ing Gunung Lawu

Gunung, hutan. Ngawi adalah kota kecil yang terletak di sebelah utara gunung lawu. Walau kabupaten ngawi termasuk daerah yang luas, namun aku menyebutnya kota yang kecil karena peradaban manusia di ngawi masih jauh bila dibanding dengan kota-kota seperti madiun, solo dan jogja. Pendidikan, sosial, budaya ngawi masih kalah jauh dengan mereka. Tapi jangan salah, untuk kimcil-kimcil ngawi, aku bilang perkembangannya sangat pesat. Orang ngawi (yang berpendidikan) tak bisa bangga dengan itu. Setiap sore di malam minggu, jalanan di ngawi akan sangat ramai dengan cabe-cabean dengan pakaian yang kupikir para pembaca sudah tahu sendiri bagaimana modelnya. Malamnya akan diganti dengan purel-purel karaokean. Aku prihatin, mau jadi apa kotaku ini.

Sebagian wilayah kabupaten ngawi berada di lereng gunung lawu; di kecamatan kendal, jogorogo, ngrambe dan sine. Dulu waktu masih kecil aku punya keinginan naik gunung dan melihat apa yang ada dibalik bukit-bukit yang tinggi itu. Sempat berpikir bahwa dunia ini dibatasi oleh gunung lawu di sebelah selatan. Namun ilmu pengetahuan tentang alam di sekolah dasar membantahnya. Ternyata dunia itu luas. Tentu membuat semakin penasaran apa yang ada dibalik gunung besar dan hijau itu. Waktu kecil, Bapak sering mengajak piknik ke gunung-gunung dan hutan. Masih dengan kendaraan L2-Super waktu itu. Menyusuri jalanan yang tak pernah berujung mesti telah membelah gunung. Dari situ aku mulai mengenal tentang alam. Mencintai alam, itu alamiah; seperti orang haus dan butuh minum. Maka jatuh cinta itu sah, yang dilarang agama adalah berzina. Jadi sah saja jika aku mencintaimu, sayang padamu. Orang tua tak sepaham dengan ini. 

Friday, 25 April 2014

Sedikit dari kuliah Dr Achara Soachalerm, Thailand

Jumat 25 April 2014, saya mengikuti kuliah umum di fakultas. Sebuah program lanjutan dari Internasional Seminar of Sport and Achievement (ISSCA) bertajuk Issues of Sport Science & Sport Technology Development digelar pada 23-24/4 bertempat di UNY Hotel Yogyakarta. Dr. Achara Soachalerm, seorang pakar pendidikan jasmani  dari Kasetsart University, Thailand. Adalah salah satu narasumber dalam seminar tersebut. Beliau adalah pemateri dalam kuliah umum yang bertema modifikasi permainan tradisional, siang tadi. Salah satu bentuk pendidikan karakter yang diterapkan di Thailand.
Ada banyak pelajaran yang dapat saya ambil dari kuliah ini. Rasa-rasanya prodi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi ini adalah pilihan yang tepat. Pshycal education itu sangat komplek. Tidak hanya mengajarkan tentang pendidikan jasmanai, namu juga mengenani pendidikan karakter, psikologi dan tahap perkembangan anak, hingga pendidikan etika dan moral. Suatu modal untuk menjadi seorang guru dan juga orang tua yang baik. Menurut saya, proses ini lebih mengarah kepada kehidupan. Ilmu kehidupan.
Dalam kuliah tersebut, Dr Achara menunjukkan bagaimana pembelajaran pendidikan jasmani yang baik dan benar. Jauh dari apa yang telah kita dapatkan di sekolah selama ini. Pendidikan jasmani bukan hanya soal olah tubuh, namun juga mencangkup pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang telah kita kenal dalam dunia pendidikan dengan tiga ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Namun pelaksanaan pembelajaran di sekolah masih jauh dari pencapaian tiga ranah tersebut. Kenyataan di lapangan hanya menitik beratkan pada aspek psikomotor saja.

Monday, 14 April 2014

Merbabu, berkabut namaMu

Ah, perempuan pendaki. Selalu membuat aku jatuh cinta. Betapa keren-nya perempuan yang menenteng keril di pundaknya itu. Aura wajah yang penuh warna. Menggambarkan bahwa mereka adalah puan-puan yang asyik, selalu rame penuh tawa. Sungguh membuat iri ketika melihat mereka mendaki bersama kekasihnya. “Hey ros, kamu dimana? Kapan kita naik gunung berdua? Biar kita terlihat sepasang kekasih yang penuh mesra” Haha. Melihat perempuan-perempuan gunung; ingin culik satu, masukkan keril, bawa pulang, trus tak rabi. Aku ingin mendaki bersama anak-istri, begitu asyik sepertinya. Alangkah indahnya setiap bunga-bunga edelweis yang mungil itu menjadi bunga kasih yang abadi. Huhu, aku nduwe ukoro anyar mas, “Naik gunung adalah harapan, dan rabi adalah tujuan”. Piye?~ jreng jreng.... Pararararam pararararam uuuuu uu.
Aku menunggu dengan sabar di atas sini melayang-layang. Tergoyang angin, menantikan gugur itu.. Aku.. ingin berdua denganmu, diantara daun gugur..-PayungTeduh.

Tuesday, 8 April 2014

Langit di kaca jendela

Memandang langit dari kaca jendela;
awan-awan terlihat tebal, putih
bagai samudera yang membeku. Menjadi
pulau-pulau es di kutub bumi.

Betapa indahnya seumpama kita pergi kesana.
Berlibur; memancing ikan salmon, atau berkelana
dengan kereta anjing.

“Bagaimana jika kau kupanggil sekarang dan segera datang?”
Sebelum malam, jangan biarkan semua menjadi muram.


26 maret 2014

Di seberang jalan

Malam dan bola lampu sedang santai di warung kopi seberang jalan.
“Aku pesan kopi pahit, pakai gula sedikit  saja.” Kata lampu.
Ia sedang menjaga malam, menciptakan bayang-bayang di dalam kegelapan.
Bayangkan saja jika Alfa Edison tidak menemukan bola lampu,
orang  akan kesusahan mencari bayang-bayang di dalam gelap malam.

Warung kopi tampak remang dari seberang jalan;
cahaya lampu yang kuning menembus celah-celah gedhek rayapan.
Bayangan bermain-main disana; ada yang mirip burung, ada yang serupa harimau,
ada yang seperti ikan; berenang, melompat seperti lumba-lumba di permukaan.
Warung kopi tampak seperti kebun binatang dari seberang jalan.

Bola lampu suka malam, memang begitulah  pada hakekatnya.
Saat malam, bola lampu akan lebih banyak diperhatikan.
Ia sedih saat pagi datang, dan saat siang; bola lampu akan diabaikan.

Ada yang sedang mendengarkan percakapan lampu dan malam dari seberang jalan.
Penyair selalu berfilosofi tentang apa saja yang saat itu sedang ditemuinya.
Mata yang teliti, sadar akan benda-benda di sekelilingnya.

Tiba-tiba pandangannya buyar ketika bola lampu menyebutnya.
“Hey su, apa kepalamu tidak merasa bising ketika
kau dengar semua benda itu bercakap?”
“Ah, aku sahabat malam, olehnya aku terselamatakan dari  kesunyian”.


25 maret 2014

Cangkir di bawah lampu

Sudah tak ada lagi warna-warni di cangkir kopiku kini,
sempat aku melihat wajah yang tak asing lagi
di dalam cangkir kopi; terpantul dari cahaya lampu kamar.
“Dialah wajah yang sering kutemui saat sedang sendiri”
Nyruput kopi , melempar pandang ke arah jendela;
ternyata hari sudah padam, tak ada bulan bintang di langit
yang rapat tertutup gelap, tak ada celah untuk sinar kecilnya.
Memang, tugas bola lampu adalah menciptakan bayang dalam malam.



20 maret 2014

Monday, 31 March 2014

Pantai Nguyahan



Mari bernyanyi; bersama Jalan Pulang dan Banda Neira. Nelangsa-riang di dalam perjalanan pulang. Biarkan dua band folk ini memandu arah tujuan kita. Berlayar dengan kapal kertas, menyanyikan lagu berdua hingga nyatalah kini bahwa kita telah tersesat ke entah berantah. Di dalam tanda tanya..

Jalan Pulang
Hari ini kutempuh jalanku
kembali resapi mimpi
kutempuh perjalan ini
dengan gelisah selimuti hati
.......
Kemanapun aku kan pergi
ku kan slalu pulang ke hatimu
Kemanapun aku kan berjalan
ke pelukmulah ku kan singgah...

Ah, lupakan lupakann...lupakan!
Acara yang sudah saya agendakan jauh-jauh hari; nonton konser Banda Neira dan Jalan Pulang 15 maret yang lalu terpaksa saya BATALKAN! Hal ini dikarenakan acara camping yang saya pikir lebih menyenangkan daripada nonton konser; sendiri, di tengah-tengah keramaian (berpasang-pasangan), nyanyi-nyanyi lagu nelangsa, gak jelas. Mending saya pergi ke pantai; bermalam, senang-senang, bakar ikan, bersama teman. Pilihan saya tepat, kali ini tidak ada penyesalan untuk meninggalkan Banda Neira dan Jalan Pulang, lagipula saya juga sudah pernah nonton keduanya, jadi tidak masalah jika kali ini saya absen di konser mereka.
Sebagai gantinya, seperti yang telah direncanakan sebelumnya, kami akan mengadakan camp di pantai, gunung kidul, yogyakarta. Bukan saya yang membuat acara ini, saya hanya diajak teman untuk mengadakan camp di pantai. Bisa dibilang ini adalah acara dadakan tanpa persiapan yang panjang. Tak perlu ada yang dirisaukan, semua alat sudah lengkap, kami hanya tinggal berangkat. Kapanpun ada yang mengajak acara keluar, aku selalu siap! Aku siap! Aku siap! Aku siap!

Wednesday, 5 March 2014

Di Restoran

Sebuah cerpen dari puisi Di Restoran, karya: Sapardi       

       MALAM menyisakan dingin. Sejak sore tadi hari didatangi hujan lebat. Meski kini hujan telah pulang ke rumah, namun dingin yang dibawa ia tinggal sebagai oleh-oleh dari mendung hitam. Jalan-jalan kota telah sepi ditambah genangan-genangan air yang membuat orang lebih senang bermalas-malasan di dalam ranjang. Bergoyang-goyang mencari kehangatan malam. Dengan tubuh mengigil Gatot mengendarai motornya, melaju zig-zag menghindari genangan air yang sesekali ia tembus dan kubangan terbelah ke arah kiri-kanan sisi jalan. Dini, kekasihnya ada di jok belakang. Tangannya melilit pinggang Gatot dengan sangat erat. Lebih erat dari sabuk pengaman atau ikat pinggang celana yang dikenakan Gatot. Sepasang kekasih mengigil kedinginan. Mereka berdua mencari-cari restoran yang berjajar sekitaran di pinggir jalan Godean. Ada banyak restoran yang masih buka namun tak satupun yang menarik selera mereka berdua. Dingin-dingin seperti ini masih bersemangat keluar malam untuk makan berdua apalagi dengan kekasihnya tercinta. Pikir Gatot.

Tuesday, 4 March 2014

Dompet

Dompet mbladus, dompetku yang lusuh
masih setia kugembol di dalam saku celana.
Jika lapar adalah satu-satunya cara 
untuk bertahan hidup, aku masih menyimpan
sebuah pedang dan seorang kapittan di dalam dompet.

Pattimura harta yang berharga,
Pattimura tak pernah kehilangan kharisma.
Jika lapar mengusik ketenangan perut kecil ini,
biar sang kapittan menebas dengan pedangnya.

Pattimura pahlawan rakyat jelata,
sifat-sifat kabaresi, jiwa kesatria.
Pergilah lapar, jika tak ingin tebasan pedang
seperti pasukan belanda yang kalang kabut
oleh panglima perang Pattimura.

04-03-2014

Saturday, 1 March 2014

Puisi: Siang Hari

#Menjaga Jemuran.
Siang masih berjaga dengan mendung hitam.
Siapa tahu tiba-tiba hujan datang, ia harus
siap menyelamatkan jemuran.

#Ayam
Ayam masih ramai petok-petok dalam siang.
Mendengarnya aku teringat pada teman
yang mulutnya pandai menirukan berbagai macam
suara binatang: termasuk juga ayam.
Mungkin yang berkokok di belakang itu temanku
menjelma ayam.

#Rincik Air
Rumah sedang sepi: di sini sudah tak ada kamu lagi.
Hanya terdengar suara keran bocor di kamar mandi.

#Kantuk
Dinding terus berdetak karena ditinggalkan oleh jam.
Ia menggenggam jarum jam yang terus berputar
menimbulkan "tik tok" di samping kalender.
Dinding suka bunyi-bunyian, ia tidur dalam kantukku.

#Televisi
Televisiku yang paling berbahagia
meski semesta telah pepat dalam tabung dan layarnya,
televisi tak pernah menyala.
Ia suka mencabut colokan dari outlet listrik, mengimajinasikan
apa saja yang bisa muncul ke layarnya: bisa pinguin
di kutub utara, ikan paus di laut, juga tubuhmu tentunya.

#Jemuran
Matahari sangat terik membuka cakrawala.
Awan-awan mungil menari dan berdansa
merayakan sinar sang surya.
Bunga-bungaku bermekaran di kawat jemuran
menunggu kumbang-kumbang berdatangan.

#Jendela
Sengaja kubuka jendela supaya angin bisa masuk
ke dalam kamarku yang lembab. Kepalaku juga penat.
Untung saja ada jendela, aku bisa melihat
warna-warna di luar sana.

#Rintik Hujan
Saat hari panas, kita suka berbicara tentang hujan
di musim kemarau yang panjang.
Kataku, itu adalah rintik air mataku yang rindu
dan tak pernah bisa kauterjemahkan dengan matamu.

#Mantel Hujan
Di antara deretan jemuran, aku melihat mantel
yang pernah kau kenakan saat menikmati hujan bersamaku.
Mantel itu kau titipkan kepadaku. Tinggalkanlah, kataku:
biar aku yang menjaga mantelmu dengan rapi
agar kau bisa memakainya saat merayakan hujan
bersamaku lagi di lain hari.

01-03-14

Friday, 28 February 2014

Surat Senja

Kupenuhi isyarat panggilanmu sore itu.
Aku datang lebih dahulu, setelah lama menunggu
akhirnya kujumpai tubuhmu.

Kita duduk berdua di sawah pinggiran desa.
Sungai mengalir deras, kaki-kaki kita berkecipak
ongkang-ongkang asyik bermain air. Hatiku banjir.
Menggenang, menjadi kolam bening dan tenang.

Senja berada pada puncaknya, tak malu-malu
kupeluk tubuhmu yang jingga: aku merasa hangat
dalam warna-warna cakrawala. Kutemukan bibirmu,
kujelajahi garis lengkuk awan mungil itu.

Kau mestinya tak perlu bertanya: sebab
aku mencintaimu. Lalu yang kutanyakan
adalah rindu yang selalu menggantung untuk bertemu.

Waktumu sebentar lagi akan habis, senja.
Malam akan mengembara menjemputmu di timur sana.
Saat itu, aku memilih tidur untuk memimpikanmu:
walau jelas hanya terjaga karena merindu. Berharap kau
berlabuh dalam mimpi dan nyingkrung malamku.

Rindu bagai mendung hitam kelam
yang mampu menebar jarak di cakrawala.

Senja telah pergi tanpa mengucap kata
setelah tubuhmu habis oleh peluk dan cium.
Kalau bertemu, silahkan balas lain waktu.

28-02-14

*catatan senja