Budi
meletakkan tas keril di teras sebuah warung makan, kemudian diikuti oleh Babon
dan teman-teman lainnya. Perut mereka sudah merasa sangat lapar. Belum diisi
sejak sore. Hari baru telah lahir kembali. Dan saat itu masih pagi. Kabut
dingin membuat perut semakin merasakan lapar. Suasana desa sangat sepi.
Beberapa warga bergotong royong membenahi jalan yang berlubang di sana-sini, menurunkan
material tanah dari mobil pick-up warna hitam. Jalan menuju Gunung Putri Gate
sudah nampak di depan; makadam, menanjak, jalan kecil yang membelah perumahan,
tampak sepi dengan kabut yang menyelimuti bukit di belakang. Mereka simpan dulu
pandangan. Perut sudah tak bisa dibujuk, mereka memutuskan untuk makan pagi di
warung, satu-satunya warung makan di pagi itu. “Kita makan dulu di sini sambil
rehat sejenak mengenakkan badan setelah perjalanan panjang di kereta semalam.”
Ajak Budi kepada teman-teman dengan nada bahagia karena telah sampai di desa
terakhir sebelum memulai pendakian. Mereka cukup lelah dalam kereta semalam, mata
tak mendapat tidur, hanya sebentar terhibur di dalam bus dari Kampung Rambutan
menuju Cipanas. Namun, rasa senang mengalahkan mata lelah. Kantuk tak mampu
menguasai mata mereka, walau terasa perih dan merah kering. Suasana
makan sangat dingin, nasi yang baru keluar dari magic com tidak begitu terasa panas. Mereka makan dengan cepat
saja, walau porsi makan masih kurang untuk ukuran perut para pejalan malam ini.
Di daerah itu, makan termasuk barang yang mahal, harus pikir-pikir
dahulu ketika memilih tempat makan, itu pun kalau ada pilihan, kalau tidak,
terpaksa bayar dengan harga mahal. Memperjuangkan hidup di kota itu memang
susah. Semua yang berbicara adalah uang. Setelah makan, mereka santai-santai di
warung sambil membagi obrolan dengan pagi.
Tugas
jam dinding adalah menjadi pengingat waktu; jam delapan pagi. Mereka segera
bersiap, bergegas mengemasi barang-barang dan memulai perjalanan menuju Gate.
Keril-keril besar naik ke atas punggung, Babon dan Budi berjalan di depan;
sementara Siti, Arief, dan Riyan menyusul di belakang. Merekalah tim yang akan
menyusuri jalanan setapak mengalahkan puncak, dua puncak gunung; Gede dan
Pangrango dengan segala cerita dan mitosnya. Menurut cerita, ada sebuah
kerajaan jin di Gunung Gede. Jin-jin itu dipimpin oleh seorang pangeran bernama
Suryakencana, bertunggang kuda. Pangeran Suryakencana adalah peranakan antara
manusia dengan jin. Kemudian dia melarikan diri ke Gunung Gede untuk mendirikan
kerajaan dan pasukan perang di alun-alun Suryakencana; sebuah padang luas di
bawah puncak Gunung Gede. Berbeda cerita dengan di Pangrango; seorang aktivis
mahasiswa menjadikan sebuah lembah di bawah puncak menjadi tempat favoritnya.
Semua orang dikalangan mahasiswa dan pecinta alam sudah kenal dengan Soe Hok
Gie, seorang idealis yang berakhir di Mahameru. Dia adalah pemuda yang
pemberani. Orang yang selalu berkata “Tidak” pada kesewenang-wenangan
kekuasaan. Namun, sisi lain dari aktivitas demonstrasinya, Gie adalah sosok
yang selalu merasa kesepian dan selalu terasingkan dari keadaan. Ketika sedang dilanda
kesepian, Gie selalu pergi ke Lembah Mandalawangi untuk menyendiri. Sebuah
lembah di bawah Puncak Pangrango dengan keeksotisan bunga-bunga edelweis yang
penuh kasih. Setelah Gie meninggal dalam tragedi semeru, desember 1969, lalu
abu jasadnya dikremasi dan sebar di seluruh penjuru lembah, sejak saat itu
Mandalawangi selalu diidam-idamkan oleh para pendaki. Tak terkecuali dengan mereka;
yang menamai kelompoknya dengan nama Timsar, mengimpikan Mandalawangi dan
rerimbunan edelweis yang menyesatkan hati.
Tim
telah sampai di Gunung Putri Gate, gerbang pintu pendakian Gunung Gede jalur
Gunung Putri. Kantor administrasi berada di sisi kiri jalur pendakian. Sebuah
bangunan kayu berdiri gagah dengan pemandangan kebun dan pegunungan yang sejuk.
Mereka masuk, disambut oleh seorang petugas kantor.
“Selamat
pagi, bisa dilihat kelengkapan administrasinya?” Sapa Petugas kantor.
“Ya.”
Jawab Budi sambil menyerahkan persyaratan pendakian.
Gunung
Gede dan Pangrango masuk dalam wilayah konservasi Taman Nasional Gunung
Gede-Pangrango. Untuk memasuki wilayah konservasi tersebut haruslah melalui
prosedur yang telah ditetapkan oleh pihak Taman Nasional. Setiap pendaki harus
mendaftarkan diri dan kelompoknya memalui sitem online dan wajib membuat Surat
Izin Memasuki Wilayah Konservasi (SIMAKSI) dengan biaya yang telah ditetapkan.
Sistem pembayaranpun juga harus dilakukan maksimal sebelum H-3 pendakian, jika tidak
maka booking dianggap batal. Kuota pendaki juga dibatasi; hanya 600 orang
setiap harinya. 300 untuk jalur Cibodas, 200 untuk Gunung Putri, dan 100 untuk
Selabintana Sukabumi. Tim sudah menempatkan kelompoknya di daftar pendakian
pada hari itu, 14 mei 2014. Namun terdapat sedikit kesalah pahaman akibat
kurangnya pengetahuan mengenai prosedur pembuatan SIMAKSI. Budi mengira surat
tersebut bisa dibuat di semua kantor cabang pendakian, termasuk juga di Gunung
Putri. Namun ternyata tidak, mereka salah.
“Bisa
ditunjukkan SIMAKSInya?” Tegas Petugas Kantor.
“Maaf,
bukannya surat dibuat disini?” Jawab Budi bertanya dengan nada bingung. Budi
hanya bisa menunjukkan bukti pembayaran melalu transfer bank yang membuktikan
bahwa tim mereka telah terdaftar di kuota pendakian.
“Simaksi
hanya bisa dibuat di Cibodas, jadi salah satu dari kalian harus kembali ke
Cibodas untuk mengurus Simaksi lebih dulu, baru kami bisa memberi izin
pendakian.” Jelasnya.
Mendengar penjelasan Petugas Kantor, raut wajah mereka seketika terlihat kecewa. Mereka telah jauh datang ke Cipanas, dari Jogja, dalam perjalanan panjang, melelahkan, dengan waktu dan biaya. Mereka pikir perjalanan mereka akan sia-sia. Tapi itu semua hanyalah sebuah awal, dan harus diakhiri dengan bahagia. Arief, sebagai ketua kelompok harus terpaksa kembali ke Cibodas untuk mengurus administrasi. Jarak dari Cipanas cukup jauh dengan keterbatasan transportasi. Untung saja salah seorang petugas kantor berbaik hati mengantarkan Arief sampai di pasar Cipanas, selebihnya dia harus berjalan sendiri sampai ke Cibodas dengan Angkot.
Mendengar penjelasan Petugas Kantor, raut wajah mereka seketika terlihat kecewa. Mereka telah jauh datang ke Cipanas, dari Jogja, dalam perjalanan panjang, melelahkan, dengan waktu dan biaya. Mereka pikir perjalanan mereka akan sia-sia. Tapi itu semua hanyalah sebuah awal, dan harus diakhiri dengan bahagia. Arief, sebagai ketua kelompok harus terpaksa kembali ke Cibodas untuk mengurus administrasi. Jarak dari Cipanas cukup jauh dengan keterbatasan transportasi. Untung saja salah seorang petugas kantor berbaik hati mengantarkan Arief sampai di pasar Cipanas, selebihnya dia harus berjalan sendiri sampai ke Cibodas dengan Angkot.
Arief
berangkat, meninggalkan tim, meninggalkan mereka dengan satu harapan; Arief
segera kembali dan mereka bisa memulai perjalanan. Sambil menunggu, Babon dan
Budi membuat kopi, mereka semua santai-santai saja di basecamp sambil memacking
ulang tas-tas mereka, membagi beban dan disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing anggota tim. Babon dan Budi adalah sahabat lama, mereka berteman
dekat sejak di bangku SMP; teman sebangku yang hingga kini hubungan mereka
masih kuat, dua sahabat erat. Mereka terlihat lebih akrab daripada anggota tim
yang lainnya. Mereka menunggu lama, tak sabar untuk memijakkan kaki menyusuri
jalan yang sunyi. Dalam menunggu; mereka mengisi dengan obrolan tentang cerita
di kampus. Babon dan Budi lebih banyak bercerita, dan yang lain hanya
menertawakannya saja. Bagi Babon, ini adalah perjumpaan pertama kalinya dengan
anggota tim yang lain. Mereka semua adalah teman-teman Budi, teman kelas di
kampusnya. Sedang Babon dan Budi sudah saling kenal sejak lama. Dalam obrolan
itu, Babon mengenalkan Si Joni kepada Budi. Joni adalah nama dari Vespa yang
baru saja dibelinya beberapa waktu yang lalu. Baru namun sudah memiliki banyak
cerita bersama Babon. Dia juga bercerita tentang hari-harinya di kampus. Budi
telah mengenalnya sebagai seseorang yang konyol, selalu mempunyai cerita yang
bisa menertawakan banyak orang. Pembicaraan mereka telah larut dalam waktu,
sementara Arief belum juga kembali. Banyak kelompok pendaki yang datang, cek
persyaratan, lalu pergi. Begitu seterusnya sampai waktu menunjuk di jam sebelas
menjelang siang. Babon mengeluarkan pack rokok dari dalam tas kecilnya. Dalam
tim, hanya Babon saja yang doyan rokok. Berulang-ulang ia tawarkan kepada Budi,
tapi Budi selalu menolak. Walau sebenarnya Budi juga ingin tahu bagaimana
nikmatnya menghisap rokok. “Nanti saja, belum waktunya.” Katanya sambil senyum.
Walau tidak merokok, namun budi senang jika melihat orang menghisap batang
rokoknya, lalu mengepulkan asap memenuhi udara di atas kepalanya. Apalagi jika
yang dilihatnya adalah perempuan. Budi tahu nikmatnya menghisap rokok, seperti
sruput kopi mungkin, atau candu-candu yang lainnya, semua sama saja. Ada dua
pendapat yang berbeda tentang perokok. Menurut kaum perempuan; laki-laki yang
tidak merokok itu keren. Menurut laki-laki; seorang laki-laki kalau belum kenal
rokok itu masih kurang jiwa kelaki-lakiannya. Selalu, perempuan tidak pernah
mengerti gaya hidup laki-laki.
Semakin
merangkak siang, yang ditunggu dan diharapkan akhirnya datang; Arief berjalan
tampak bersemangat dari etalase jendela kantor. Letaknya yang lebih tinggi dari
desa memungkinkan untuk memantau pendaki yang menuju basecamp. Tim menyambut
kedatangan Arief dengan senang. Wajah Arief tampak lelah, berkeringat, muka
merah.
“Sudah
dapat SIMAKSI Rif?” Tanya Budi.
“Sudah
beres, tinggal berangkat.”
“Mandi
dulu sana, enakkan dulu badanmu, kita jalan santai saja.”
“Ok.”
Arief
mengambil mandi, yang lain bersiap-siap, cek barang, dan kemasi. Sementara
Arief mandi, Budi menyerahkan SIMAKSI kepada petugas kantor. Surat
ditandatangani, kemudian Budi disuruh menulis barang-barang yang menghasilkan
sampah di balik surat itu. Peraturan dari Taman Nasional sangat ketat dalam
pendakian; semua sampah harus dibawa turun, tidak boleh membawa bahan-bahan
kimia; pasta gigi, sabun, dan sebagainya, tidak boleh membawa benda tajam
termasuk pisau, harus bersepatu, dan turun harus tepat waktu. Dengan pengawasan
dan peraturan yang ketat seperti ini mestinya gunung itu bersih dari sampah,
namun yang ditemui di gunung masih banyak dijumpai gundukan sampah di pinggir
semak-semak. Manusia itu susah diatur, sampai kapan manusia akan sadar bahwa
alam itu benar-benar harus dijaga? Rasanya sangat susah mengingatkan.
Arief
selesai mandi, semua telah siap. Perjalanan dimualai dengan doa yang dipimpin
oleh ketua kelompok. Sebelum berjalan, tim menyemangati diri dengan toss dan
teriakan yang membumbung di udara.
Mereka
berjalan. Arief paling depan sebagai leader perjalanan, kemudian Siti, kemudian
Riyan, kemudian Babon (porter), kemudian Budi (porter) sebagai sweaper
perjalanan. Babon dan Budi membawa keril dengan beban paling berat, porter perjalanan.
Trek perjalanan awal masih landai. Seperti jalur pendakian di gunung-gunung
lainnya, setelah basecamp akan melewati ladang dan perkebunan warga sebelum
masuk ke jalur hutan. Jalanan ladang terlampau landai, kondisi tanah berwarna
merah subur, beban di punggung belum begitu menyusahkan, masih aman. Dari
ladang akan melewati sungai kecil; airnya sangat jernih, mengalir deras, bisa
langsung diminum. Sungai kecil itu seakan menjadi pembatas sekaligus gerbang
trek yang tajam. Melewati sungai mulai terlihat sayup-sayup daun pohon tua
terlibas angin. “Selamat datang.” Kata Pohon. Tim beristirahat dibawah pohon
tua yang rindang. Rupanya punggung mulai mengeluh, Babon dan Budi bertukar
keril, berbagi keluhan. Mereka menikmati waktu yang sejuk itu, di bawah pohon
tua, mengukir rindang cerita, atas nama cinta. Budi membuka tas kecilnya, tas
yang di gendong depan dada. Ia mencari sebungkus roti, terbungkus kemasan,
terbungkus waktu, roti yang tak tahan kadaluarsa. Disobeknya roti untuk jatah dirinya
sendiri, kemudian diberikannya kepada teman-teman yang lain untuk dibagi rata.
Dalam perjalanan berat, makanan kecil bisa menjadi penyelamat perut yang
kosong. Hari sudah berada di puncak siang, perut jelas mulai lapar. Budi dan
babon duduk bersebelahan, berdua masih bercerita, tentang keluhan beban yang
disangga punggung. Pohon tua berbaik hati menjadi peneduh hari, menghibur panas
matahari.
Timsar
melanjutkan perjalanan dengan formasi yang sama. Trek pendakian sudah mulai
memasuki hutan. Kebanyakan dari pohon-pohon yang ada adalah pohon yang berumur
tua, mereka sangat berjasa, patut mendapat pelukan dari manusia. Semakin masuk
ke dalam hutan, kondisi trek mulai menunjukkan nama yang sebenarnya. Itu
semacam sebuah perkenalan. Tiga orang di depan; Arief, Siti, dan Riyan makin
jauh meninggalkan Budi dan Babon. Ketigannya masih terlihat dari belakang
ketika jalur lurus, begitupun segera lenyap di tikungan. Disembunyikan hutan;
pohon besar dan tumbuhan liar. Budi dan Babon semakin mengeluhkan kerilnya,
mulai putus asa, sementara trek semakin menanjak tanpa ada bonusan. Tanpa
ampun, bagai menaiki gedung bertingkat, berapa puluh tingkat. Tak lama
berjalan, mereka sampai di pos pertama; Legok Leunca, seribu sembilan ratus di
atas permukaan laut. Rombongan tim kembali bertemu, tiga orang yang berjalan di
depan sudah tampak santai beristirahat di pos. Mereka ngaso; minum dan ngemil
makanan ringan. Suasana hutan di gunung gede masih sangat lebat; hijau, rimbun,
basah. Pemandangan yang menyenangkan di mata Budi yang suka melihat hutan. Dia
suka melihat pohon-pohon besar yang rimbun. Budi berharap ada wanita yang suka
padanya ketika dia sedang mengamati pohon daripada melihat gadis-gadis cantik
di taman. Belalang hutan berisik di pepohonan, ketika mereka berhenti
mengesekkan sayapnya, maka hutan menjadi sunyi. Cahaya matahari kesusahan untuk
menembus daun lebat, bagai payung alam yang senantiasa membahagiakan nafas para
pendaki.
Sinar
matahari semakin meredup. Hari menjelang sore. Istirahat cukup, Timsar
melanjutkan perjalanan. Nama Timsar diambil dari nama salah satu Dosen di
fakultas, Saryono nama aslinya, tapi alamat email dan akun facebooknya diberi
nama Saryonosar, para mahasiswa menertawakan nama itu. Dosen. Allay. Keningnya
lebar selapangan futsal.
Tim kembali menyusuri jalanan setapak. Kaki-kaki mantap menapak. Sunyi nampak. Budi dan Babon kembali tertinggal oleh rombongan depan. Begitu lebih baik, mereka berdua menikmati itu. Dua sahabat. Dua langakah kecil. Berjalan bersama menapak dengan keril-keril besar dan tinggi di atas kepala. Berjalan berdua, tak tahu cerita apa di rombongan depan. Selangkah, dua langkah, tiga langkah, empat langkah,..sepuluh langkah. Berhenti. Budi sudah mulai habis, Babon masih sedikit tersisa.
Tim kembali menyusuri jalanan setapak. Kaki-kaki mantap menapak. Sunyi nampak. Budi dan Babon kembali tertinggal oleh rombongan depan. Begitu lebih baik, mereka berdua menikmati itu. Dua sahabat. Dua langakah kecil. Berjalan bersama menapak dengan keril-keril besar dan tinggi di atas kepala. Berjalan berdua, tak tahu cerita apa di rombongan depan. Selangkah, dua langkah, tiga langkah, empat langkah,..sepuluh langkah. Berhenti. Budi sudah mulai habis, Babon masih sedikit tersisa.
“Nikmati
saja perjalanan ini, biarlah mereka berjalan jauh, aku tak peduli.” Kata budi
dengan nafas terengah.
“Santai
bro, pelan-pelan asal sampai sajalah.”
Mereka
melepaskan keril kemudian disandarkan pada sebuah pohon.
“Biarkan
punggung bernafas dulu Bon, otot-otot biar kembali merenggang.”
“Kenapa
ya, kalau orang naik gunung itu mesti bawa tas-tas besar? Coba saja begini,
berjalan tanpa beban, baru satu jam juga sampai puncak.” Protes Babon sambil
berjalan ke atas tanpa membawa keril.
Budi
tertawa, pecah sunyi hutan. Kemudian ia ikut mencoba, berjalan beberapa langkah
naik ke atas, berlari. Tawanya pecah sesampai diatas. Mereka berpelukan, lalu
kembali ke pohon dimana keril bersandar. Beban kembali naik ke punggung, kaki diajak
berjalan.
Setelah
beberapa kali mengambil rehat, akhirnya sampailah di pos kedua; Buntut Lutung.
Rombongan kembali bersatu. Pertama-tama Budi mencari botol minum di tas yang
kecil, mengamankan tenggorokan yang kering, kemudian diberikannya botol kepada
Babon tanpa mempeduliakan teman yang lain. Mereka duduk berhadap-hadapan,
ngobrol-ngobrol mengusir lelah. Kondisi pos adalah bangunan gazebo permanen
dengan bermacam-macam prasasti sejarah orang-orang yang terdahulu pernah
singgah di pos. “Doni and Ayu was here, forever love never die.” “Yuli love
Frety.” “Agus love Mega.” Dan banyak sebagainya. Tangan-tangan orang kita itu
kreatif, suka gambar dan melukis, namun tempatnya salah. Fasilitas umun selalu
menjadi media, mungkin akan lebih baik jika disediakan media khusus untuk
coret-coret di tempat wisata sepeti ini.
Rombongan
depan kembali berjalan meninggalkan Budi dan Babon di Buntut Lutung. Mereka
berdua tidak memperdulikannya. Nafas masih mangap-mangap mencari udara. Di
hutan; udara terasa segar, benar-benar segar, paru-paru mampu merasakannya.
Udara hutan itu enak untuk bernafas, berbeda dengan udara kota yang berat. Budi
menikmati suasana itu, bersyukur atas nikmat Tuhan. Udara segar yang jarang
didapatkan di kota.
Babon
kembali bercerita. Keadaan perantauan menjadikannya aktivis mahasiswa.
Kegiatannya hanya memprotes kebijakan birokrasi saja? Atau mereka kurang
kerjaan? Niatnya baik; meluruskan kebijakan yang melanggar hak-hak mahasiswa.
Namun, cara penyampaiannya yang terkadang salah. Itu yang sering terjadi di Ibu
Kota. Tawuran antar mahasiswa hingga merenggut korban jiwa. Untuk apa semua
itu? Toh para petinggi itu buta, tidak punya nurani, punya namun tidak tahu
fungsinya. Korupsi sudah menjalar dari akar sampai daun-daun muda. Sebaiknya
protes politik itu dilakukan dengan karya-karya yang bernilai namun juga
menyakitkan hati. Minimal yang bersangkutan bisa mengapresiasi bahwa dirinyalah
yang ada dalam sebuah karnya tersebut. Misalnya melalui komik, lukisan, poster
karikatur atau lain sebagainya. Babon membuka semua keburukan birokrasi kampus
kepada Budi yang hanya senyum-senyum saja. Pikirnya di mana saja juga akan sama
halnya, birokrasi menjadi kepentingan pribadi untuk memperkaya diri. Semua juga
sudah mengetahuinya. Namun, tidak ada yang pernah berani menegurnya. Para
petinggi itu punya kekuasaan, menjadi ancaman. Diantara hutan yang sunyi;
“Kau
tahu Bud, hari ini kita memperingati apa?’’
“14
Mei, penculikan aktivis 98 mungkin?”
“Salah,
dulu pernah terjadi peristiwa pemerkosaan masal di jalan-jalan. Seluruh
keturunan Tionghua disiksa dan perkosa oleh rezim soeharto.”
“Apakah
kita juga ikut merayakan hari? Memperkosa setiap wanita yang lewat sini?”
“Ha
ha, matamu!”
Hutan
sepi, tak ditemui rombongan pendaki yang melintasi jalur gunung putri. Sekonyong
menimbulkan suasana ngeri. Budi mengajak babon untuk melanjutkan perjalanan
mengingat untuk sampai di alun-alun surnyakencana masih jauh dan berat. Kaki
mulai menapak dengan napas yang baru, tenaga baru, setelah rehat cukup lama di
Buntut Lutung. Tetumbuhan di hutan dihuni oleh berbagai spesies hijau-hijauan.
Mudah ditemui anggrek menempel di pohon-pohon besar, tua. Jika beruntung dapat
ditemui anggrek hitam dengan bunga yang mekar. Namun kebanyakan yang ditemui
adalah anggrek hutan yang berwarna ungu, bermekaran di pelukan pohon tua.
Pemandangan hutan menjadi obat lelah. Kaki akan terus dipaksa melangkah. Mengalahkan
lelah. Hawa dingin memeluk halus kulit ari, merasuk melalui pori-pori, menusuk
tulang, tubuh merinding mengigil. Tenaga baru hanya mampu mengantarkan kaki
beberapa menit saja, mereka kembali kesusahan dengan keril besar dan tanjakan. Beberapa
kali melangkah. Duduk. Beberapa jangkah. Duduk. Terang matahari mulai pudar di
selipkan pepohonan dan kabut tebal yang sesekali melintas. Menjadi mendung
hitam yang berpotensi mengantarkan hujan turun dari persinggahan awan. Hati
mulai was-was, pikiran kacau. Mereka sudah putus asa dengan perjalanan yang
berat. Namun, keputus asaan itu menyeret kaki-kaki tetap melangkah. Walau tanpa
semangat, hanyalah harapan. Manusia selalu hidup dengan harapan-harapan. Yang
akan membawanya untuk selalu melangkah ke depan. Masa depan. Untuk itu haruslah
selalu siap dan mampu beradaptasi dengan lingkungan untuk mencapai sebuah
harapan. Masa depan itu sangat situasional, maka dari itu, masa depan tidak perlu
dicita-citakan. Itu akan percuma. Menjadi harapan yang kosong. Tidak ada suatu
pencapaianpun. Begitulah dunia. Jalani saja apa yang ada di depan mata, tidak perlu
jauh-jauh berpikir tentang masa depan.
Dengan
segala sisa-sisa keputusasaan, Budi dan Babon telah sampai di pos selanjutnya;
Lawang Saketeng. Pos sebelum Suryakencana. Mereka menemukan sebuah bangunan
gazebo di sisi kiri jalur pendakian. Kembali bersemangat. Mereka mendekat.
Menyandarkan keril di tiang penyangga atap. Rombongan depan telah jauh
meninggalkan kedua langkah ini. Mereka hanya ditinggali sebuah surat. Yang
diikat dengan karet gelang pada sebuah botol minuman dan sebungkus roti. Sebuah
kertas bertuliskan, “Budi, kita jalan duluan. Arif.” Budi kemudian membuka roti
itu, membagikannya kepada Babon. Kebersamaan telah mengajarkan untuk selalu
berbagi. Mereka tak ingin berlama-lama. Setelah menghabiskan sebungkus roti dan
sebotol minuman berenergi, mereka putuskan untuk melanjutkan perjalanan
mengingat surya kencana hampir dimakan malam. Rencana tim akan membuat kemah di
Suryakencana, kemudian akan melanjutkan perjalanan ke puncak esok harinya.
Setelah
meninggalkan pos, trek perjalanan masih saja sama, menanjak, legak-legok,
semakin gelap dan dingin. Mereka tetap berjalan. Sampai di sebuah titik batas
putus asa mulai menyerah. Budi mulai berhalusinasi; setiap dipandangnya jauh ke
depan akan terlihat sebuah padang luas; suryakencana. Namun, setelah beberapa
langkah merangkak ke depan, yang ada hanyalah tikungan dengan tanjakan di belakangnya.
Budi beberapa kali menghalusinasikan gambaran semacam itu.
Tenaga
mulai habis. Budi sudah putus asa, begitu juga dengan Babon. Mereka tak tahan
dengan keril beratnya. Disandarkan di sebuah batang pohon. Mereka duduk
berdekatan. Handphone menghibur dengan nyanyian. Tak peduli dengan kondisi
baterai yang semakin melemah. Sesekali mereka ikut bernyanyi menghibur diri.
“Aku jatuh dan tak bangun lagi, tenggelam di rayuannya.” Mereka berdua suka
dengan White Shoes, sambil membayangkan Miss Sari menari-nari dalam rerimbunan
hutan yang sunyi.
“Kamu
mau lagu apa?” Tawar Budi.
“Pelan
Tapi Pasti ada?”
Babon
suka dengan membayangkan dirinya berkeliling kota dengan vespa, Si Joni.
Hutan
kembali sunyi, setelah suara mereka juga lelah bernyanyi-nyanyi. Mata hanya mampu
menatapi pemandangan sekitar yang penuh dengan bayang-bayang dalam keputus
asaan. Mendung mulai hitam, sebentar lagi akan turun hujan. Beberapa kali
terdengar gemuruh awan memanggil-manggil hujan. Pikiran mulai kacau. “Kita akan
kehujanan”, Pikir Budi. “Dengan keril berat ditambah lagi kuyub hujan, akan
terasa sangat berat untuk berjalan. Belum lagi jalur tanah akan menjadi licin.”
“Sekarang kenapa kita ada di sini Bon?” Budi tertawa dengan keluhannya, matanya
berkaca-kaca. Namun, Babon tidak menyadari bahwa temannya sedang gelisah. Dia
adalah pria yang hebat. Kuat. Lebih pengalaman dalam kesengsaraan. Hidup di
perantauan ibu kota, Jakarta. Budi sadar, kegelisahan tak akan mengantarkannya
ke Surnyakencana. Lalu dia bangkit, menarik tangan Babon yang diajaknya
berdiri. Keril kembali naik ke punggung. Seperti dibakar oleh semangat, mereka
kembali berjalan menuntaskan kegelisahan.
Tak
lama kemudian mereka menemukan jalur landai. Lumayan, ada sekitar lima menit
dengan jalur landai. Kaki seperti menggelinding berjalan tanpa dorongan tenaga.
Merasa terhibur dengan jalur yang landai di depan kembali bertemu dengan
tanjakan. Namun tak begitu panjang. Mereka menemukan Suryakencana. Mencapai
harapan. Alun-alun Suryakencana barat, masih lima belas menit untuk sampai di
Alun-alun timur dan membuat kemah. Suryakencana bagai sebuah tirai yang terbuka
terang, setelah hutan yang kelam. Seperti melewati mesin waktu. Dari gelap
menjadi terang. Sebuah padang seluas lima puluh lima hektar dengan dominasi
edelweiss dan centini menjadikan suryakencana sebuah surga dengan segala
pandangannya. “Padang jingglang.”
Dari
rerimbunan edelweis, tampak Siti duduk sendiri di atas sebuah bangunan dari
semen, mungkin tempat sampah. Budi dan Babon yang berjalan di belakang
menemukan Siti yang termenung sendiri, wajahnya tampak pucat. Tubuhnya
mengigil. Siti merapatkan kedua tangan, meniupnya untuk kehangatan. Budi
menghampiri;
“Loh
Sit, kamu kok sendiri? Di mana yang lain?”
“Itu
di sana Arif sama Riyan sedang mendirikan tenda.”
“Aduh,
kok pasang tenda di sini, tujuan kita masih di sana.” Telunjuknya menuju arah
barat.
Mendengar
percakapan, Arief dan Riyan keluar dari rerimbunan pohon dan semak. Mereka
berlari mendekat dengan wajah sumringah, menyambut kedatangan Budi dan Babon
yang wajahnya masih pucat.
“Kok
pasang tenda di sini Rif? Kalau kita di sini tidak ada air, seharusnya kita
camp di alun-alun barat. Masih sekitar setengah jam kurang dari sini, dengan
jalur datar.” Sapa Budi.
“Loh,
iya? Aku kira kita camp di sini. Jadi masih ke sana lagi cak? Tadi Aku cari
sumber air mana, tidak ada. Baiklah kalau begitu, tenda yang kecil kita angkat
saja sambil jalan. Jalurnya datar?”
Budi
kecewa. Babon dan Siti diajak melanjutkan perjalanan yang masih kurang
sejengkal. Sementara Arif dan Riyan membereskan tenda yang telah mereka pasang
di balik semak, menyusul sambil menyeret tenda sampai di alun-alun barat. Budi
geram dengan ketua kelompoknya. Dalam hati memaki-maki ketuanya. “dodjskdshjfydfladiusfkfiusdjsd, sdjdisdksdisjdo osdjqwertyuiopasdfgghjkl. sdfjhachaldkhaidhXHOI.hdfiugicahsdioaushas.hwiugyriuh.oiheuqcwhciachcr.iuyjuoqwiroccxxxxxxxh". :D Kasian Siti, dia menunggu kedinginan,
xxssttttSDsdjdnj cdjdod!”
Suryakencana
yang padyang jingglang dengan jalan
setapak jlarit di tengah-tengah kedua
gunung, pemandangan edelweis nyempluk-nyempluk
di batas bukit, senja yang pasrah pada malam, sungai gemericik mengalirkan
kehidupan, dan dua langkah kaki yang setia menapak menyusuri perjalanan. Satu
jalang pulang. Berjalan jauh, merindukan rumah.
Dua langkah kaki berjalan setapak
menyeberangi lima puluh lima hektar
rerumputan liar, dan kuncup-kuncup
edelweiss yang siap merekah.
Surup senja, gerimis datang.
Dua langkah kaki berjalan setapak
merindukan jalan pulang.
Dua langkah kaki berjalan setapak
merindukan jalan pulang.
Tim
telah sampai di alun-alun barat. Hari telah gelap, Budi dan Babon berkeliling
survei tempat untuk mendirikan tenda. Tidak lama, mereka menyepakati sebidang
luas dengan pertimbangan cuaca. Babon pikir akan segera turun hujan, dia
berpikir tidak terlalu panjang, segera mendirikan tenda sebelum langit
merintih. Namun, Arief belum bisa menerima pendapat Babon. Kemudian Arief sendirian
mencari tempat yang lebih lapang dan nyaman. Sementara Siti semakin menunjukkan
wajah yang tidak baik. It’s not good, Siti. Dia semakin mengigil kedinginan.
Semakin dia menyingkrung dalam duduknya, tubuhnya akan semakin mengigil, tanpa
banyak gerak. Kondisi ini bisa berakibat sangat fatal. Hipotermia sangat
bersahabat dengan dingin dan kedinginan. Darah akan membeku, aliran akan
berhenti, denyut nadi melemah. Jika dalam kondisi seperti ini, seseorang akan
sangat gampang mati.
Semakin
gelap, gemuruh sahut-sahutan jauh di dalam mendung yang hitam. Budi menyusul
Arief mencari lokasi untuk tenda. Budi berlari, diburu hujan. Kemudian Arief
dipanggil dengan nada yang geram, “Rif, kita buat tenda di sini saja. Sekarang
sudah gerimis. Lihatlah, kasihan Siti.” Arif mendekat. Teman-teman yang lain
menyusul.
Tenda
keluar dari keril, danjuga peralatan kemah lainnya. Hujan turun. Sial. Budi
cepat saja mengambil flysheet di kerilnya, kain persegi empat sebagai penadah
hujan. Mereka berlindung di bawahnya. Tenda belum berdiri, hujan lumayan deras.
Budi pikir semua ini tidak akan ada artinya apa-apa. Budi bertindak cepat. Dia
mengambil mantel, untuk dirinya sendiri dan satu lagi untuk Arif. “Pakai ini
Rif, kalau begini terus, kita tak akan selesai.” Budi dan Arif keluar dari
lindungan flysheet. Berdua mendirikan tenda. Dibantu penerangan mata senter.
Mereka kesusahan dengan tenda; dingin dan hujan. Mereka punya pekerjaan yang
berat mendirikan tenda. Ketiga temannya masih berlindung di dalam flysheet
sambil memberikan peralatan yang Budi butuhkan. Siti tanpak semakin mengigil.
Budi dan Arif bekerja keras.
Ternyata
hujan tidak lama, deras menyisakan gerimis dan hawa dinginnya. Babon dan Riyan
dipanggil keluar, Siti dibiarkan di dalam menghindari dingin. Dengan bantuan Babon
dan Riyan akhirnya tenda bisa berdiri; kedua-kuanya. Kemudian flysheet dipasang
di atas tenda untuk melindungi angin agar tidak masuk ke dalam tenda.
Siti
dalam keadaan tidak baik. Sudah ganti pakaian, kenakan jaket rangkap, masuk
dalam slipping bag, semua pakaian hangat melekat di tubuhnya; sarung tangan,
kupluk, kaos kaki. Namun, tubuhnya masih mengigil dan tidak merasakan rangsangan apaun. Itu tidak baik. Budi mulai
berpikir yang tidak tidak. Budi teringat pada Hachiko yang beberapa waktu lalu
tewas di gunung gede karena terkena hipotermia. Bagaimana dengan Siti jika dia
terkena kasus yang sama? Bagaimana jika dia terpaksa harus dibawa turun
kemudian menginap di rumah sakit, mau pakai uang siapa? Perjalanan ini sudah
kacau, pikir Budi. Tubuh Siti sudah lemas, wajahnya tampak pucat. Arif membuatkannya
minuman hangat dan dipaksa untuk memakan roti dan segera minum obat. Siti
disuruh istirahat, tidur. Namun, kepanikan Budi tak lama. Siti telah pulas,
mendengkur. Itu pertanda baik. Budi merasa lega. Akan tetapi bayang-bayang
perjalanan itu masih hitam di benaknya. Bagaimana dengan esok hari dengan
kondisi semua keril yang basah, perjalanan akan semakin terasa berat mengingat
target tim adalah dua puncak gunung sekaligus. Apakah ini bisa dijalani dengan
lancar?
Malam
yang dingin telah lelap, lupa dengan makan malam. Malam menganga dengan perut
yang kosong.
Hari
baru terlahir dengan penuh harapan yang baru. Suryakencana sangat cerah, cuaca
sangat menjanjikan untuk melakukan perjalanan. Budi dan Babon banyak foto
berdua, sementara tiga lainnya membereskan peralatan tidur. Siti bangun dengan
wajah yang sehat. Semua senang. Pagi bergembira di rimbunan edelweiss penuh
peluk kehangatan.
Setelah
puas berfoto dan menjelajahi suryakencana, tim segera menyiapkan sarapan.
Masak, untuk breakfast. Menu makan pagi adalah; nasi, sayur asam, nuget, sosis
dan kerupuk. Di gunung selalu makan enak, walau itu semua tak pernah dirasakan
oleh anak kostan.
Semua
telah siap, tim segera menyantap. Perut berbahagia. Selanjutnya adalah packing
mengingat tim masih punya tanggungan perjalanan ke puncak gede kemudian turun
sampai di Kandang Badak yang menjadi tujuan akhir perjalanan untuk hari itu.
Jarak suryakencana-puncak gede hanya ditempuh dengan waktu satu jam perjalanan
dengan trek tangga batu.
15
mei. Pukul sebelas lebih seperempat siang, tim telah sampai di puncak Gunung
Gede. Pemandangan puncak dikuasai oleh kabut yang tebal, semua hanya tampak
putih kabut. Di bawah puncak langsung kawah yang masih aktif dengan bau
belerang yang menyempitkan hidung, menyiksa pernapasan. Setelah foto dan rehat,
tim tidak ingin berlama-lama dan segera meninggalkan puncak. Perjalanan masih
dua jam. Dengan jalur turun yang terjal. Salah satu treknya dinamakan tanjakan
setan. Di tengah-tengah perjalanan sempat dihampiri oleh gerimis dan teror
bergemuruh mencekam. Ternyata tidak, sampai di kandang badak tim masih aman.
Ramadhan
2014.
No comments:
Post a Comment