Tuesday, 7 October 2014

Cerita Gede-Pangrango (Kedua) - Puncak Gede

Budi meletakkan tas keril di teras sebuah warung makan, kemudian diikuti oleh Babon dan teman-teman lainnya. Perut mereka sudah merasa sangat lapar. Belum diisi sejak sore. Hari baru telah lahir kembali. Dan saat itu masih pagi. Kabut dingin membuat perut semakin merasakan lapar. Suasana desa sangat sepi. Beberapa warga bergotong royong membenahi jalan yang berlubang di sana-sini, menurunkan material tanah dari mobil pick-up warna hitam. Jalan menuju Gunung Putri Gate sudah nampak di depan; makadam, menanjak, jalan kecil yang membelah perumahan, tampak sepi dengan kabut yang menyelimuti bukit di belakang. Mereka simpan dulu pandangan. Perut sudah tak bisa dibujuk, mereka memutuskan untuk makan pagi di warung, satu-satunya warung makan di pagi itu. “Kita makan dulu di sini sambil rehat sejenak mengenakkan badan setelah perjalanan panjang di kereta semalam.” Ajak Budi kepada teman-teman dengan nada bahagia karena telah sampai di desa terakhir sebelum memulai pendakian. Mereka cukup lelah dalam kereta semalam, mata tak mendapat tidur, hanya sebentar terhibur di dalam bus dari Kampung Rambutan menuju Cipanas. Namun, rasa senang mengalahkan mata lelah. Kantuk tak mampu menguasai mata mereka, walau terasa perih dan merah kering. Suasana makan sangat dingin, nasi yang baru keluar dari magic com tidak begitu terasa panas. Mereka makan dengan cepat saja, walau porsi makan masih kurang untuk ukuran perut para pejalan malam ini. Di  daerah itu, makan  termasuk barang yang mahal, harus pikir-pikir dahulu ketika memilih tempat makan, itu pun kalau ada pilihan, kalau tidak, terpaksa bayar dengan harga mahal. Memperjuangkan hidup di kota itu memang susah. Semua yang berbicara adalah uang. Setelah makan, mereka santai-santai di warung sambil membagi obrolan dengan pagi.


Tugas jam dinding adalah menjadi pengingat waktu; jam delapan pagi. Mereka segera bersiap, bergegas mengemasi barang-barang dan memulai perjalanan menuju Gate. Keril-keril besar naik ke atas punggung, Babon dan Budi berjalan di depan; sementara Siti, Arief, dan Riyan menyusul di belakang. Merekalah tim yang akan menyusuri jalanan setapak mengalahkan puncak, dua puncak gunung; Gede dan Pangrango dengan segala cerita dan mitosnya. Menurut cerita, ada sebuah kerajaan jin di Gunung Gede. Jin-jin itu dipimpin oleh seorang pangeran bernama Suryakencana, bertunggang kuda. Pangeran Suryakencana adalah peranakan antara manusia dengan jin. Kemudian dia melarikan diri ke Gunung Gede untuk mendirikan kerajaan dan pasukan perang di alun-alun Suryakencana; sebuah padang luas di bawah puncak Gunung Gede. Berbeda cerita dengan di Pangrango; seorang aktivis mahasiswa menjadikan sebuah lembah di bawah puncak menjadi tempat favoritnya. Semua orang dikalangan mahasiswa dan pecinta alam sudah kenal dengan Soe Hok Gie, seorang idealis yang berakhir di Mahameru. Dia adalah pemuda yang pemberani. Orang yang selalu berkata “Tidak” pada kesewenang-wenangan kekuasaan. Namun, sisi lain dari aktivitas demonstrasinya, Gie adalah sosok yang selalu merasa kesepian dan selalu terasingkan dari keadaan. Ketika sedang dilanda kesepian, Gie selalu pergi ke Lembah Mandalawangi untuk menyendiri. Sebuah lembah di bawah Puncak Pangrango dengan keeksotisan bunga-bunga edelweis yang penuh kasih. Setelah Gie meninggal dalam tragedi semeru, desember 1969, lalu abu jasadnya dikremasi dan sebar di seluruh penjuru lembah, sejak saat itu Mandalawangi selalu diidam-idamkan oleh para pendaki. Tak terkecuali dengan mereka; yang menamai kelompoknya dengan nama Timsar, mengimpikan Mandalawangi dan rerimbunan edelweis yang menyesatkan hati.

Tim telah sampai di Gunung Putri Gate, gerbang pintu pendakian Gunung Gede jalur Gunung Putri. Kantor administrasi berada di sisi kiri jalur pendakian. Sebuah bangunan kayu berdiri gagah dengan pemandangan kebun dan pegunungan yang sejuk. Mereka masuk, disambut oleh seorang petugas kantor.
“Selamat pagi, bisa dilihat kelengkapan administrasinya?” Sapa Petugas kantor.
“Ya.” Jawab Budi sambil menyerahkan persyaratan pendakian.
Gunung Gede dan Pangrango masuk dalam wilayah konservasi Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango. Untuk memasuki wilayah konservasi tersebut haruslah melalui prosedur yang telah ditetapkan oleh pihak Taman Nasional. Setiap pendaki harus mendaftarkan diri dan kelompoknya memalui sitem online dan wajib membuat Surat Izin Memasuki Wilayah Konservasi (SIMAKSI) dengan biaya yang telah ditetapkan. Sistem pembayaranpun juga harus dilakukan maksimal sebelum H-3 pendakian, jika tidak maka booking dianggap batal. Kuota pendaki juga dibatasi; hanya 600 orang setiap harinya. 300 untuk jalur Cibodas, 200 untuk Gunung Putri, dan 100 untuk Selabintana Sukabumi. Tim sudah menempatkan kelompoknya di daftar pendakian pada hari itu, 14 mei 2014. Namun terdapat sedikit kesalah pahaman akibat kurangnya pengetahuan mengenai prosedur pembuatan SIMAKSI. Budi mengira surat tersebut bisa dibuat di semua kantor cabang pendakian, termasuk juga di Gunung Putri. Namun ternyata tidak, mereka salah.
“Bisa ditunjukkan SIMAKSInya?” Tegas Petugas Kantor.
“Maaf, bukannya surat dibuat disini?” Jawab Budi bertanya dengan nada bingung. Budi hanya bisa menunjukkan bukti pembayaran melalu transfer bank yang membuktikan bahwa tim mereka telah terdaftar di kuota pendakian.
“Simaksi hanya bisa dibuat di Cibodas, jadi salah satu dari kalian harus kembali ke Cibodas untuk mengurus Simaksi lebih dulu, baru kami bisa memberi izin pendakian.” Jelasnya.
Mendengar penjelasan Petugas Kantor, raut wajah mereka seketika terlihat kecewa. Mereka telah jauh datang ke Cipanas, dari Jogja, dalam perjalanan panjang, melelahkan, dengan waktu dan biaya. Mereka pikir perjalanan mereka akan sia-sia. Tapi itu semua hanyalah sebuah awal, dan harus diakhiri dengan bahagia. Arief, sebagai ketua kelompok harus terpaksa kembali ke Cibodas untuk mengurus administrasi. Jarak dari Cipanas cukup jauh dengan keterbatasan transportasi. Untung saja salah seorang petugas kantor berbaik hati mengantarkan Arief sampai di pasar Cipanas, selebihnya dia harus berjalan sendiri sampai ke Cibodas dengan Angkot.

Arief berangkat, meninggalkan tim, meninggalkan mereka dengan satu harapan; Arief segera kembali dan mereka bisa memulai perjalanan. Sambil menunggu, Babon dan Budi membuat kopi, mereka semua santai-santai saja di basecamp sambil memacking ulang tas-tas mereka, membagi beban dan disesuaikan dengan kemampuan masing-masing anggota tim. Babon dan Budi adalah sahabat lama, mereka berteman dekat sejak di bangku SMP; teman sebangku yang hingga kini hubungan mereka masih kuat, dua sahabat erat. Mereka terlihat lebih akrab daripada anggota tim yang lainnya. Mereka menunggu lama, tak sabar untuk memijakkan kaki menyusuri jalan yang sunyi. Dalam menunggu; mereka mengisi dengan obrolan tentang cerita di kampus. Babon dan Budi lebih banyak bercerita, dan yang lain hanya menertawakannya saja. Bagi Babon, ini adalah perjumpaan pertama kalinya dengan anggota tim yang lain. Mereka semua adalah teman-teman Budi, teman kelas di kampusnya. Sedang Babon dan Budi sudah saling kenal sejak lama. Dalam obrolan itu, Babon mengenalkan Si Joni kepada Budi. Joni adalah nama dari Vespa yang baru saja dibelinya beberapa waktu yang lalu. Baru namun sudah memiliki banyak cerita bersama Babon. Dia juga bercerita tentang hari-harinya di kampus. Budi telah mengenalnya sebagai seseorang yang konyol, selalu mempunyai cerita yang bisa menertawakan banyak orang. Pembicaraan mereka telah larut dalam waktu, sementara Arief belum juga kembali. Banyak kelompok pendaki yang datang, cek persyaratan, lalu pergi. Begitu seterusnya sampai waktu menunjuk di jam sebelas menjelang siang. Babon mengeluarkan pack rokok dari dalam tas kecilnya. Dalam tim, hanya Babon saja yang doyan rokok. Berulang-ulang ia tawarkan kepada Budi, tapi Budi selalu menolak. Walau sebenarnya Budi juga ingin tahu bagaimana nikmatnya menghisap rokok. “Nanti saja, belum waktunya.” Katanya sambil senyum. Walau tidak merokok, namun budi senang jika melihat orang menghisap batang rokoknya, lalu mengepulkan asap memenuhi udara di atas kepalanya. Apalagi jika yang dilihatnya adalah perempuan. Budi tahu nikmatnya menghisap rokok, seperti sruput kopi mungkin, atau candu-candu yang lainnya, semua sama saja. Ada dua pendapat yang berbeda tentang perokok. Menurut kaum perempuan; laki-laki yang tidak merokok itu keren. Menurut laki-laki; seorang laki-laki kalau belum kenal rokok itu masih kurang jiwa kelaki-lakiannya. Selalu, perempuan tidak pernah mengerti gaya hidup laki-laki.

Semakin merangkak siang, yang ditunggu dan diharapkan akhirnya datang; Arief berjalan tampak bersemangat dari etalase jendela kantor. Letaknya yang lebih tinggi dari desa memungkinkan untuk memantau pendaki yang menuju basecamp. Tim menyambut kedatangan Arief dengan senang. Wajah Arief tampak lelah, berkeringat, muka merah.
“Sudah dapat SIMAKSI Rif?” Tanya Budi.
“Sudah beres, tinggal berangkat.”
“Mandi dulu sana, enakkan dulu badanmu, kita jalan santai saja.”
“Ok.”
Arief mengambil mandi, yang lain bersiap-siap, cek barang, dan kemasi. Sementara Arief mandi, Budi menyerahkan SIMAKSI kepada petugas kantor. Surat ditandatangani, kemudian Budi disuruh menulis barang-barang yang menghasilkan sampah di balik surat itu. Peraturan dari Taman Nasional sangat ketat dalam pendakian; semua sampah harus dibawa turun, tidak boleh membawa bahan-bahan kimia; pasta gigi, sabun, dan sebagainya, tidak boleh membawa benda tajam termasuk pisau, harus bersepatu, dan turun harus tepat waktu. Dengan pengawasan dan peraturan yang ketat seperti ini mestinya gunung itu bersih dari sampah, namun yang ditemui di gunung masih banyak dijumpai gundukan sampah di pinggir semak-semak. Manusia itu susah diatur, sampai kapan manusia akan sadar bahwa alam itu benar-benar harus dijaga? Rasanya sangat susah mengingatkan.

Arief selesai mandi, semua telah siap. Perjalanan dimualai dengan doa yang dipimpin oleh ketua kelompok. Sebelum berjalan, tim menyemangati diri dengan toss dan teriakan yang membumbung di udara.
Mereka berjalan. Arief paling depan sebagai leader perjalanan, kemudian Siti, kemudian Riyan, kemudian Babon (porter), kemudian Budi (porter) sebagai sweaper perjalanan. Babon dan Budi membawa keril dengan beban paling berat, porter perjalanan. Trek perjalanan awal masih landai. Seperti jalur pendakian di gunung-gunung lainnya, setelah basecamp akan melewati ladang dan perkebunan warga sebelum masuk ke jalur hutan. Jalanan ladang terlampau landai, kondisi tanah berwarna merah subur, beban di punggung belum begitu menyusahkan, masih aman. Dari ladang akan melewati sungai kecil; airnya sangat jernih, mengalir deras, bisa langsung diminum. Sungai kecil itu seakan menjadi pembatas sekaligus gerbang trek yang tajam. Melewati sungai mulai terlihat sayup-sayup daun pohon tua terlibas angin. “Selamat datang.” Kata Pohon. Tim beristirahat dibawah pohon tua yang rindang. Rupanya punggung mulai mengeluh, Babon dan Budi bertukar keril, berbagi keluhan. Mereka menikmati waktu yang sejuk itu, di bawah pohon tua, mengukir rindang cerita, atas nama cinta. Budi membuka tas kecilnya, tas yang di gendong depan dada. Ia mencari sebungkus roti, terbungkus kemasan, terbungkus waktu, roti yang tak tahan kadaluarsa. Disobeknya roti untuk jatah dirinya sendiri, kemudian diberikannya kepada teman-teman yang lain untuk dibagi rata. Dalam perjalanan berat, makanan kecil bisa menjadi penyelamat perut yang kosong. Hari sudah berada di puncak siang, perut jelas mulai lapar. Budi dan babon duduk bersebelahan, berdua masih bercerita, tentang keluhan beban yang disangga punggung. Pohon tua berbaik hati menjadi peneduh hari, menghibur panas matahari.

Timsar melanjutkan perjalanan dengan formasi yang sama. Trek pendakian sudah mulai memasuki hutan. Kebanyakan dari pohon-pohon yang ada adalah pohon yang berumur tua, mereka sangat berjasa, patut mendapat pelukan dari manusia. Semakin masuk ke dalam hutan, kondisi trek mulai menunjukkan nama yang sebenarnya. Itu semacam sebuah perkenalan. Tiga orang di depan; Arief, Siti, dan Riyan makin jauh meninggalkan Budi dan Babon. Ketigannya masih terlihat dari belakang ketika jalur lurus, begitupun segera lenyap di tikungan. Disembunyikan hutan; pohon besar dan tumbuhan liar. Budi dan Babon semakin mengeluhkan kerilnya, mulai putus asa, sementara trek semakin menanjak tanpa ada bonusan. Tanpa ampun, bagai menaiki gedung bertingkat, berapa puluh tingkat. Tak lama berjalan, mereka sampai di pos pertama; Legok Leunca, seribu sembilan ratus di atas permukaan laut. Rombongan tim kembali bertemu, tiga orang yang berjalan di depan sudah tampak santai beristirahat di pos. Mereka ngaso; minum dan ngemil makanan ringan. Suasana hutan di gunung gede masih sangat lebat; hijau, rimbun, basah. Pemandangan yang menyenangkan di mata Budi yang suka melihat hutan. Dia suka melihat pohon-pohon besar yang rimbun. Budi berharap ada wanita yang suka padanya ketika dia sedang mengamati pohon daripada melihat gadis-gadis cantik di taman. Belalang hutan berisik di pepohonan, ketika mereka berhenti mengesekkan sayapnya, maka hutan menjadi sunyi. Cahaya matahari kesusahan untuk menembus daun lebat, bagai payung alam yang senantiasa membahagiakan nafas para pendaki.

Sinar matahari semakin meredup. Hari menjelang sore. Istirahat cukup, Timsar melanjutkan perjalanan. Nama Timsar diambil dari nama salah satu Dosen di fakultas, Saryono nama aslinya, tapi alamat email dan akun facebooknya diberi nama Saryonosar, para mahasiswa menertawakan nama itu. Dosen. Allay. Keningnya lebar selapangan futsal. 

Tim kembali menyusuri jalanan setapak. Kaki-kaki mantap menapak. Sunyi nampak. Budi dan Babon kembali tertinggal oleh rombongan depan. Begitu lebih baik, mereka berdua menikmati itu. Dua sahabat. Dua langakah kecil. Berjalan bersama menapak dengan keril-keril besar dan tinggi di atas kepala. Berjalan berdua, tak tahu cerita apa di rombongan depan. Selangkah, dua langkah, tiga langkah, empat langkah,..sepuluh langkah. Berhenti. Budi sudah mulai habis, Babon masih sedikit tersisa.
“Nikmati saja perjalanan ini, biarlah mereka berjalan jauh, aku tak peduli.” Kata budi dengan nafas terengah.
“Santai bro, pelan-pelan asal sampai sajalah.”
Mereka melepaskan keril kemudian disandarkan pada sebuah pohon.
“Biarkan punggung bernafas dulu Bon, otot-otot biar kembali merenggang.”
“Kenapa ya, kalau orang naik gunung itu mesti bawa tas-tas besar? Coba saja begini, berjalan tanpa beban, baru satu jam juga sampai puncak.” Protes Babon sambil berjalan ke atas tanpa membawa keril.
Budi tertawa, pecah sunyi hutan. Kemudian ia ikut mencoba, berjalan beberapa langkah naik ke atas, berlari. Tawanya pecah sesampai diatas. Mereka berpelukan, lalu kembali ke pohon dimana keril bersandar. Beban kembali naik ke punggung, kaki diajak berjalan.

Setelah beberapa kali mengambil rehat, akhirnya sampailah di pos kedua; Buntut Lutung. Rombongan kembali bersatu. Pertama-tama Budi mencari botol minum di tas yang kecil, mengamankan tenggorokan yang kering, kemudian diberikannya botol kepada Babon tanpa mempeduliakan teman yang lain. Mereka duduk berhadap-hadapan, ngobrol-ngobrol mengusir lelah. Kondisi pos adalah bangunan gazebo permanen dengan bermacam-macam prasasti sejarah orang-orang yang terdahulu pernah singgah di pos. “Doni and Ayu was here, forever love never die.” “Yuli love Frety.” “Agus love Mega.” Dan banyak sebagainya. Tangan-tangan orang kita itu kreatif, suka gambar dan melukis, namun tempatnya salah. Fasilitas umun selalu menjadi media, mungkin akan lebih baik jika disediakan media khusus untuk coret-coret di tempat wisata sepeti ini.

Rombongan depan kembali berjalan meninggalkan Budi dan Babon di Buntut Lutung. Mereka berdua tidak memperdulikannya. Nafas masih mangap-mangap mencari udara. Di hutan; udara terasa segar, benar-benar segar, paru-paru mampu merasakannya. Udara hutan itu enak untuk bernafas, berbeda dengan udara kota yang berat. Budi menikmati suasana itu, bersyukur atas nikmat Tuhan. Udara segar yang jarang didapatkan di kota.

Babon kembali bercerita. Keadaan perantauan menjadikannya aktivis mahasiswa. Kegiatannya hanya memprotes kebijakan birokrasi saja? Atau mereka kurang kerjaan? Niatnya baik; meluruskan kebijakan yang melanggar hak-hak mahasiswa. Namun, cara penyampaiannya yang terkadang salah. Itu yang sering terjadi di Ibu Kota. Tawuran antar mahasiswa hingga merenggut korban jiwa. Untuk apa semua itu? Toh para petinggi itu buta, tidak punya nurani, punya namun tidak tahu fungsinya. Korupsi sudah menjalar dari akar sampai daun-daun muda. Sebaiknya protes politik itu dilakukan dengan karya-karya yang bernilai namun juga menyakitkan hati. Minimal yang bersangkutan bisa mengapresiasi bahwa dirinyalah yang ada dalam sebuah karnya tersebut. Misalnya melalui komik, lukisan, poster karikatur atau lain sebagainya. Babon membuka semua keburukan birokrasi kampus kepada Budi yang hanya senyum-senyum saja. Pikirnya di mana saja juga akan sama halnya, birokrasi menjadi kepentingan pribadi untuk memperkaya diri. Semua juga sudah mengetahuinya. Namun, tidak ada yang pernah berani menegurnya. Para petinggi itu punya kekuasaan, menjadi ancaman. Diantara hutan yang sunyi;
“Kau tahu Bud, hari ini kita memperingati apa?’’
“14 Mei, penculikan aktivis 98 mungkin?”
“Salah, dulu pernah terjadi peristiwa pemerkosaan masal di jalan-jalan. Seluruh keturunan Tionghua disiksa dan perkosa oleh rezim soeharto.”
“Apakah kita juga ikut merayakan hari? Memperkosa setiap wanita yang lewat sini?”
“Ha ha, matamu!”

Hutan sepi, tak ditemui rombongan pendaki yang melintasi jalur gunung putri. Sekonyong menimbulkan suasana ngeri. Budi mengajak babon untuk melanjutkan perjalanan mengingat untuk sampai di alun-alun surnyakencana masih jauh dan berat. Kaki mulai menapak dengan napas yang baru, tenaga baru, setelah rehat cukup lama di Buntut Lutung. Tetumbuhan di hutan dihuni oleh berbagai spesies hijau-hijauan. Mudah ditemui anggrek menempel di pohon-pohon besar, tua. Jika beruntung dapat ditemui anggrek hitam dengan bunga yang mekar. Namun kebanyakan yang ditemui adalah anggrek hutan yang berwarna ungu, bermekaran di pelukan pohon tua. Pemandangan hutan menjadi obat lelah. Kaki akan terus dipaksa melangkah. Mengalahkan lelah. Hawa dingin memeluk halus kulit ari, merasuk melalui pori-pori, menusuk tulang, tubuh merinding mengigil. Tenaga baru hanya mampu mengantarkan kaki beberapa menit saja, mereka kembali kesusahan dengan keril besar dan tanjakan. Beberapa kali melangkah. Duduk. Beberapa jangkah. Duduk. Terang matahari mulai pudar di selipkan pepohonan dan kabut tebal yang sesekali melintas. Menjadi mendung hitam yang berpotensi mengantarkan hujan turun dari persinggahan awan. Hati mulai was-was, pikiran kacau. Mereka sudah putus asa dengan perjalanan yang berat. Namun, keputus asaan itu menyeret kaki-kaki tetap melangkah. Walau tanpa semangat, hanyalah harapan. Manusia selalu hidup dengan harapan-harapan. Yang akan membawanya untuk selalu melangkah ke depan. Masa depan. Untuk itu haruslah selalu siap dan mampu beradaptasi dengan lingkungan untuk mencapai sebuah harapan. Masa depan itu sangat situasional, maka dari itu, masa depan tidak perlu dicita-citakan. Itu akan percuma. Menjadi harapan yang kosong. Tidak ada suatu pencapaianpun. Begitulah dunia. Jalani saja apa yang ada di depan mata, tidak perlu jauh-jauh berpikir tentang masa depan.

Dengan segala sisa-sisa keputusasaan, Budi dan Babon telah sampai di pos selanjutnya; Lawang Saketeng. Pos sebelum Suryakencana. Mereka menemukan sebuah bangunan gazebo di sisi kiri jalur pendakian. Kembali bersemangat. Mereka mendekat. Menyandarkan keril di tiang penyangga atap. Rombongan depan telah jauh meninggalkan kedua langkah ini. Mereka hanya ditinggali sebuah surat. Yang diikat dengan karet gelang pada sebuah botol minuman dan sebungkus roti. Sebuah kertas bertuliskan, “Budi, kita jalan duluan. Arif.” Budi kemudian membuka roti itu, membagikannya kepada Babon. Kebersamaan telah mengajarkan untuk selalu berbagi. Mereka tak ingin berlama-lama. Setelah menghabiskan sebungkus roti dan sebotol minuman berenergi, mereka putuskan untuk melanjutkan perjalanan mengingat surya kencana hampir dimakan malam. Rencana tim akan membuat kemah di Suryakencana, kemudian akan melanjutkan perjalanan ke puncak esok harinya.

Setelah meninggalkan pos, trek perjalanan masih saja sama, menanjak, legak-legok, semakin gelap dan dingin. Mereka tetap berjalan. Sampai di sebuah titik batas putus asa mulai menyerah. Budi mulai berhalusinasi; setiap dipandangnya jauh ke depan akan terlihat sebuah padang luas; suryakencana. Namun, setelah beberapa langkah merangkak ke depan, yang ada hanyalah tikungan dengan tanjakan di belakangnya. Budi beberapa kali menghalusinasikan gambaran semacam itu.

Tenaga mulai habis. Budi sudah putus asa, begitu juga dengan Babon. Mereka tak tahan dengan keril beratnya. Disandarkan di sebuah batang pohon. Mereka duduk berdekatan. Handphone menghibur dengan nyanyian. Tak peduli dengan kondisi baterai yang semakin melemah. Sesekali mereka ikut bernyanyi menghibur diri. “Aku jatuh dan tak bangun lagi, tenggelam di rayuannya.” Mereka berdua suka dengan White Shoes, sambil membayangkan Miss Sari menari-nari dalam rerimbunan hutan yang sunyi.
“Kamu mau lagu apa?” Tawar Budi.
“Pelan Tapi Pasti ada?”
Babon suka dengan membayangkan dirinya berkeliling kota dengan vespa, Si Joni.

Hutan kembali sunyi, setelah suara mereka juga lelah bernyanyi-nyanyi. Mata hanya mampu menatapi pemandangan sekitar yang penuh dengan bayang-bayang dalam keputus asaan. Mendung mulai hitam, sebentar lagi akan turun hujan. Beberapa kali terdengar gemuruh awan memanggil-manggil hujan. Pikiran mulai kacau. “Kita akan kehujanan”, Pikir Budi. “Dengan keril berat ditambah lagi kuyub hujan, akan terasa sangat berat untuk berjalan. Belum lagi jalur tanah akan menjadi licin.” “Sekarang kenapa kita ada di sini Bon?” Budi tertawa dengan keluhannya, matanya berkaca-kaca. Namun, Babon tidak menyadari bahwa temannya sedang gelisah. Dia adalah pria yang hebat. Kuat. Lebih pengalaman dalam kesengsaraan. Hidup di perantauan ibu kota, Jakarta. Budi sadar, kegelisahan tak akan mengantarkannya ke Surnyakencana. Lalu dia bangkit, menarik tangan Babon yang diajaknya berdiri. Keril kembali naik ke punggung. Seperti dibakar oleh semangat, mereka kembali berjalan menuntaskan kegelisahan.

Tak lama kemudian mereka menemukan jalur landai. Lumayan, ada sekitar lima menit dengan jalur landai. Kaki seperti menggelinding berjalan tanpa dorongan tenaga. Merasa terhibur dengan jalur yang landai di depan kembali bertemu dengan tanjakan. Namun tak begitu panjang. Mereka menemukan Suryakencana. Mencapai harapan. Alun-alun Suryakencana barat, masih lima belas menit untuk sampai di Alun-alun timur dan membuat kemah. Suryakencana bagai sebuah tirai yang terbuka terang, setelah hutan yang kelam. Seperti melewati mesin waktu. Dari gelap menjadi terang. Sebuah padang seluas lima puluh lima hektar dengan dominasi edelweiss dan centini menjadikan suryakencana sebuah surga dengan segala pandangannya. “Padang jingglang.”

Dari rerimbunan edelweis, tampak Siti duduk sendiri di atas sebuah bangunan dari semen, mungkin tempat sampah. Budi dan Babon yang berjalan di belakang menemukan Siti yang termenung sendiri, wajahnya tampak pucat. Tubuhnya mengigil. Siti merapatkan kedua tangan, meniupnya untuk kehangatan. Budi menghampiri;
“Loh Sit, kamu kok sendiri? Di mana yang lain?”
“Itu di sana Arif sama Riyan sedang mendirikan tenda.”
“Aduh, kok pasang tenda di sini, tujuan kita masih di sana.” Telunjuknya menuju arah barat.
Mendengar percakapan, Arief dan Riyan keluar dari rerimbunan pohon dan semak. Mereka berlari mendekat dengan wajah sumringah, menyambut kedatangan Budi dan Babon yang wajahnya masih pucat.
“Kok pasang tenda di sini Rif? Kalau kita di sini tidak ada air, seharusnya kita camp di alun-alun barat. Masih sekitar setengah jam kurang dari sini, dengan jalur datar.” Sapa Budi.
“Loh, iya? Aku kira kita camp di sini. Jadi masih ke sana lagi cak? Tadi Aku cari sumber air mana, tidak ada. Baiklah kalau begitu, tenda yang kecil kita angkat saja sambil jalan. Jalurnya datar?”
Budi kecewa. Babon dan Siti diajak melanjutkan perjalanan yang masih kurang sejengkal. Sementara Arif dan Riyan membereskan tenda yang telah mereka pasang di balik semak, menyusul sambil menyeret tenda sampai di alun-alun barat. Budi geram dengan ketua kelompoknya. Dalam hati memaki-maki ketuanya. “dodjskdshjfydfladiusfkfiusdjsd, sdjdisdksdisjdo osdjqwertyuiopasdfgghjkl. sdfjhachaldkhaidhXHOI.hdfiugicahsdioaushas.hwiugyriuh.oiheuqcwhciachcr.iuyjuoqwiroccxxxxxxxh". :D Kasian Siti, dia menunggu kedinginan, xxssttttSDsdjdnj cdjdod!”

Suryakencana yang padyang jingglang dengan jalan setapak jlarit di tengah-tengah kedua gunung, pemandangan edelweis nyempluk-nyempluk di batas bukit, senja yang pasrah pada malam, sungai gemericik mengalirkan kehidupan, dan dua langkah kaki yang setia menapak menyusuri perjalanan. Satu jalang pulang. Berjalan jauh, merindukan rumah.

Dua langkah kaki berjalan setapak
menyeberangi lima puluh lima hektar
rerumputan liar, dan kuncup-kuncup
edelweiss yang siap merekah.

Surup senja, gerimis datang.

Dua langkah kaki berjalan setapak
merindukan jalan pulang.

Tim telah sampai di alun-alun barat. Hari telah gelap, Budi dan Babon berkeliling survei tempat untuk mendirikan tenda. Tidak lama, mereka menyepakati sebidang luas dengan pertimbangan cuaca. Babon pikir akan segera turun hujan, dia berpikir tidak terlalu panjang, segera mendirikan tenda sebelum langit merintih. Namun, Arief belum bisa menerima pendapat Babon. Kemudian Arief sendirian mencari tempat yang lebih lapang dan nyaman. Sementara Siti semakin menunjukkan wajah yang tidak baik. It’s not good, Siti. Dia semakin mengigil kedinginan. Semakin dia menyingkrung dalam duduknya, tubuhnya akan semakin mengigil, tanpa banyak gerak. Kondisi ini bisa berakibat sangat fatal. Hipotermia sangat bersahabat dengan dingin dan kedinginan. Darah akan membeku, aliran akan berhenti, denyut nadi melemah. Jika dalam kondisi seperti ini, seseorang akan sangat gampang mati.

Semakin gelap, gemuruh sahut-sahutan jauh di dalam mendung yang hitam. Budi menyusul Arief mencari lokasi untuk tenda. Budi berlari, diburu hujan. Kemudian Arief dipanggil dengan nada yang geram, “Rif, kita buat tenda di sini saja. Sekarang sudah gerimis. Lihatlah, kasihan Siti.” Arif mendekat. Teman-teman yang lain menyusul.

Tenda keluar dari keril, danjuga peralatan kemah lainnya. Hujan turun. Sial. Budi cepat saja mengambil flysheet di kerilnya, kain persegi empat sebagai penadah hujan. Mereka berlindung di bawahnya. Tenda belum berdiri, hujan lumayan deras. Budi pikir semua ini tidak akan ada artinya apa-apa. Budi bertindak cepat. Dia mengambil mantel, untuk dirinya sendiri dan satu lagi untuk Arif. “Pakai ini Rif, kalau begini terus, kita tak akan selesai.” Budi dan Arif keluar dari lindungan flysheet. Berdua mendirikan tenda. Dibantu penerangan mata senter. Mereka kesusahan dengan tenda; dingin dan hujan. Mereka punya pekerjaan yang berat mendirikan tenda. Ketiga temannya masih berlindung di dalam flysheet sambil memberikan peralatan yang Budi butuhkan. Siti tanpak semakin mengigil. Budi dan Arif bekerja keras.

Ternyata hujan tidak lama, deras menyisakan gerimis dan hawa dinginnya. Babon dan Riyan dipanggil keluar, Siti dibiarkan di dalam menghindari dingin. Dengan bantuan Babon dan Riyan akhirnya tenda bisa berdiri; kedua-kuanya. Kemudian flysheet dipasang di atas tenda untuk melindungi angin agar tidak masuk ke dalam tenda.

Siti dalam keadaan tidak baik. Sudah ganti pakaian, kenakan jaket rangkap, masuk dalam slipping bag, semua pakaian hangat melekat di tubuhnya; sarung tangan, kupluk, kaos kaki. Namun, tubuhnya masih mengigil dan tidak merasakan rangsangan apaun. Itu tidak baik. Budi mulai berpikir yang tidak tidak. Budi teringat pada Hachiko yang beberapa waktu lalu tewas di gunung gede karena terkena hipotermia. Bagaimana dengan Siti jika dia terkena kasus yang sama? Bagaimana jika dia terpaksa harus dibawa turun kemudian menginap di rumah sakit, mau pakai uang siapa? Perjalanan ini sudah kacau, pikir Budi. Tubuh Siti sudah lemas, wajahnya tampak pucat. Arif membuatkannya minuman hangat dan dipaksa untuk memakan roti dan segera minum obat. Siti disuruh istirahat, tidur. Namun, kepanikan Budi tak lama. Siti telah pulas, mendengkur. Itu pertanda baik. Budi merasa lega. Akan tetapi bayang-bayang perjalanan itu masih hitam di benaknya. Bagaimana dengan esok hari dengan kondisi semua keril yang basah, perjalanan akan semakin terasa berat mengingat target tim adalah dua puncak gunung sekaligus. Apakah ini bisa dijalani dengan lancar?

Malam yang dingin telah lelap, lupa dengan makan malam. Malam menganga dengan perut yang kosong.

Hari baru terlahir dengan penuh harapan yang baru. Suryakencana sangat cerah, cuaca sangat menjanjikan untuk melakukan perjalanan. Budi dan Babon banyak foto berdua, sementara tiga lainnya membereskan peralatan tidur. Siti bangun dengan wajah yang sehat. Semua senang. Pagi bergembira di rimbunan edelweiss penuh peluk kehangatan.

Setelah puas berfoto dan menjelajahi suryakencana, tim segera menyiapkan sarapan. Masak, untuk breakfast. Menu makan pagi adalah; nasi, sayur asam, nuget, sosis dan kerupuk. Di gunung selalu makan enak, walau itu semua tak pernah dirasakan oleh anak kostan.
Semua telah siap, tim segera menyantap. Perut berbahagia. Selanjutnya adalah packing mengingat tim masih punya tanggungan perjalanan ke puncak gede kemudian turun sampai di Kandang Badak yang menjadi tujuan akhir perjalanan untuk hari itu. Jarak suryakencana-puncak gede hanya ditempuh dengan waktu satu jam perjalanan dengan trek tangga batu.

15 mei. Pukul sebelas lebih seperempat siang, tim telah sampai di puncak Gunung Gede. Pemandangan puncak dikuasai oleh kabut yang tebal, semua hanya tampak putih kabut. Di bawah puncak langsung kawah yang masih aktif dengan bau belerang yang menyempitkan hidung, menyiksa pernapasan. Setelah foto dan rehat, tim tidak ingin berlama-lama dan segera meninggalkan puncak. Perjalanan masih dua jam. Dengan jalur turun yang terjal. Salah satu treknya dinamakan tanjakan setan. Di tengah-tengah perjalanan sempat dihampiri oleh gerimis dan teror bergemuruh mencekam. Ternyata tidak, sampai di kandang badak tim masih aman.

Ramadhan 2014.

No comments:

Post a Comment