Mari bernyanyi;
bersama Jalan Pulang dan Banda Neira. Nelangsa-riang di dalam perjalanan
pulang. Biarkan dua band folk ini memandu arah tujuan kita. Berlayar dengan
kapal kertas, menyanyikan lagu berdua hingga nyatalah kini bahwa kita telah
tersesat ke entah berantah. Di dalam tanda tanya..
Jalan Pulang
Hari
ini kutempuh jalanku
kembali
resapi mimpi
kutempuh
perjalan ini
dengan
gelisah selimuti hati
.......
Kemanapun
aku kan pergi
ku
kan slalu pulang ke hatimu
Kemanapun
aku kan berjalan
ke
pelukmulah ku kan singgah...
Ah, lupakan
lupakann...lupakan!
Acara
yang sudah saya agendakan jauh-jauh hari; nonton konser Banda Neira dan Jalan
Pulang 15 maret yang lalu terpaksa saya BATALKAN!
Hal ini dikarenakan acara camping yang saya pikir lebih menyenangkan
daripada nonton konser; sendiri, di tengah-tengah keramaian
(berpasang-pasangan), nyanyi-nyanyi lagu nelangsa, gak jelas. Mending saya pergi ke pantai; bermalam, senang-senang,
bakar ikan, bersama teman. Pilihan saya tepat, kali ini tidak ada penyesalan untuk
meninggalkan Banda Neira dan Jalan Pulang, lagipula saya juga sudah pernah
nonton keduanya, jadi tidak masalah jika kali ini saya absen di konser mereka.
Sebagai
gantinya, seperti yang telah direncanakan sebelumnya, kami akan mengadakan camp
di pantai, gunung kidul, yogyakarta. Bukan saya yang membuat acara ini, saya
hanya diajak teman untuk mengadakan camp di pantai. Bisa dibilang ini adalah
acara dadakan tanpa persiapan yang panjang. Tak perlu ada yang dirisaukan,
semua alat sudah lengkap, kami hanya tinggal berangkat. Kapanpun ada yang
mengajak acara keluar, aku selalu siap! Aku siap! Aku siap! Aku siap!
senja di pantai nguyahan
Pantai Nguyahan, teletak
di sebelah barat pantai ngrenehan dan ngobaran. Tiga pantai yang berjajar
cantik menghadap laut kidul (selatan) pulau jawa. Saptosari, Gunung Kidul,
Yogyakarta. Tak perlu lagi untuk menuliskan keindahan pantai. Pada umumnya,
semua pantai di gunung kidul itu indah semua. Saat di nyebur ke pantai, aku
jadi tahu kenapa diberi nama nguyahan, mungkin dari kata dasar uyah karena air
laut di nguyahan terasa sangat asin dan berbeda dengan pantai-pantai yang
lainnya di gunung kidul. Maka, disebutlah dengan nama nguyahan. Pantai nguyahan
terpilih menjadi pantai untuk mengadakan camp setelah melalui proses mufakat
menyisihkan pantai-pantai yang lainnya. Terpilih pantai nguyahan karena salah
satu teman kami mempunyai kenalan di pantai ini. Imam. Putra bumi gunung kidul
yang satu ini hebat. Orang pesisir semuanya kenal dengan dia. Lewat perantara
Imam, kita semua dapat paket murah untuk bermalam di nguyahan.
Anggota tim
penjalan ini diantaranya; Imam, kak Siti, Wawan, Riries, Arief, Wening, Ayunda,
Dati, Ndaru, dan Saya. Tim ini punya nama “Tim Panti Jomblo”. Nama untuk
orang-orang yang hatinya diterlantarkan oleh mantan. Mantan! Tim berangkat dari
Jogja sekitar jam dua kurang seperempat siang. Sabtu, 15 maret 2014. Jadwal
yang harus molor dari rencana pemberangkatan karena kami harus menunggu hujan
reda. Kami berkumpul di wisma olahraga (fik uny). Hujan deras mengguyur jogja
kala itu, banjir, menggenangi jalan colombo. Drainase kota sudah mulai memperihatinkan,
banyak sampah yang menyumbat aliran dan menyebabkan banjir, hujan deras
sebentar saja banjir sudah mampir di pelataran wisma. Jalan colombo tenggelam.
Kami bergegas
berangkat ketika hujan telah reda. Langit mendung memayungi perjalanan dari
panas matahari. Bersembilan berangkat menggunakan motor, sementara imam menunggu
di rumahnya, di tanjungsari. Perjalanan dari jogja sampai di rumah imam
ditempuh dalam waktu dua jam, ditambah menunggu rombongan arief yang terpecah
di perjalanan, ada yang tersesat dari mereka. Selamat! haha.. Saya selalu suka
jika tersesat atau ada orang yang tersesat. “Teruslah berjalan, karena tersesat
adalah satu-satunya jalan pulang.” Lagi, di dalam perjalanan kami di hadang
oleh hujan. Kali ini lebih deras. Di belakang kami, waktu berusaha mengejar,
mengacungkan pisau yang tajam, siap membunuh kami di perjalanan. Tak ada
berteduh, kami harus lari atau terbunuh oleh waktu. Jas hujan kami kenakan,
hujan deras tak menghalangi perjalanan. Rombongan saya tiba lebih dulu di rumah
imam, sekitar jam empat kurang. Lebih dari tiga puluh menit kemudian, barulah
teman-teman yang tersesat menemukan jalan pulang. Sampai di rumah imam
istirahat sejenak, kerjakan sholat, dan menikmati jamuan yang disediakan oleh
tuan rumah. Selalu begini, kalau main ke rumah imam pasti selalu banyak
makanan.
tim panti jomblo
saya bersama wawan
semua riang
Sekitar setengah
lima sore, kami menuju pantai. Jarak rumah imam sampai nguyahan sekitar tiga
puluh menit. Imam yang sebelumnya tidak masuk dalam tim akhirnya bisa bergabung
setelah si mbahnya sudah dibawa pulang dari rumah sakit. Jadi genaplah skuad
tim panti jomblo. Dari rumah imam kami mengambil jalur alternatif untuk
mempersingkat waktu. Sebagian besar jalanan sudah beraspal, hanya sedikit yang
masih makadam dan cor-block semen. Kami bebas dari tiket masuk karena rombongan
imam. Pokoknya kalau ada imam itu semuanya beresss..haha. Sampai di pantai
langsung cek-in ke ibu penyedia fasilitas pantai dan mendirikan tenda. Setelah
semua urusan selesai, waktunya santai-santai sambil menunggu senja.
Sebelumnya, Aku
dan Senja sudah berjanji untuk bertemu sore itu. Di tempat yang telah kita janjikan.
Walau nguyahan tidak didatangi oleh hujan, namun langit sore masih diselimuti
oleh mendung. “Senja tak akan datang”, pikirku. Kemudian aku mengajak wawan
untuk berkecipak bermain air di pantai, namun aku belum ingin basah-basahan sebelum
bertemu senja. Wawan sudah menyopot kaosnya, dia sudah basah di air. Aku hanya
berjalan-jalan menyusuri pantai, mencari senja. Teman-teman yang lain masih
kering di atas pasir. Aku coba untuk berjalan ke barat, sampai ke
tebing-tebing. Aku ingin memanjat, hanya untuk bertemu dengan senja. Namun tak
ada jalan. Ada dua orang nelayan yang sedang menjaring ikan, menantang ombak
yang menggulung, menjirat kaki dan siap membawa masuk ke dalam palung samudra
yang dalam. Kedua nelayan itu memasang kuda-kuda, kaki mereka kuat, pandangan
mata tajam ke arah gulungan ombak, mempelajari arah lari ikan yang terseret
arus. Ada ikan datang, segera dibentangkan jaring untuk memperangkap ikan.
Kena, kedua nelayan itu dapat satu. Lalu keduanya menepi untuk mengamankan ikan
dan segera kembali lagi menenggelamkan diri di ombak.
Setelah kutemui
jalan buntu untuk mencari senja akhirnya kuurungkan niat untuk menemuinya.
Langit mendung, ku tanggalkan kaos ERK-ku, nyebur di pantai, basah semua
tubuhku. Terlihat semburat jingga dari balik tebing yang menghalangi wajah
senja. Atau mungkin senja memilih bersembunyi di sana. Aku dan Wawan sudah
asyik bermain air, menghanyutkan diri oleh ombak. Sepertinya teman-teman lain
tertarik dengan kesenangan kami, mereka menyusul. Basahlah semua tubuh kami, kecuali
Dati yang duduk di karang menertawakan tingkah kami sambil tangannya
menggenggam kamera, mencuri gambar dari kami. Semua telah asyik bermain air,
tanpa disadari karang-karang pantai adalah sarang yang nyaman bagi bulu babi,
siap kapan saja meracuni kaki. Wening, Riries, Ayunda sibuk mencabuti bulu yang
menancap di telapak kaki mereka. Metani
sikil. Aku dan Wawan masih di dalam air, ombak semakin kuat, laut mulai
pasang. Kami putuskan untuk menyudahi kesenangan sore itu. Kami berjalan
kembali ke tenda. Tiba-tiba ada yang memanggilku dari belakang, aku langsung
melengos saja ke cakrawala. Sudah hafal dengan nada panggilan senja. Benar
saja, langit sudah merah-jingga, merona. Aku berlari mengejar Dati yang lebih dulu
berjalan di depan. Aku meminta foto darinya.
pacar senja
seumpama jingga
dalam senja
Langit jingga, laut jingga. Senja menjadi samudera yang jingga. Senang sekali rasanya bisa berenang di laut yang jingga. Benar-bernar berada di dalam pelukan senja.
Senja memang
penuh dengan kejutan. Selalu berdebar untuk menunggu bertemu. Senja memang
serba kelam, ia buat orang menunggu, lalu di telanjanginya setelah bertemu.
Kami memang telah lama berpacaran, sehingga berdua memilik ikatan batin yang
kuat. Tak pernah sekalipun mengingkari janji. Ah, senja. Kau membuatku jatuh
cinta, jingga selalu menggantungkan rindu untuk bertemu. Mencintaimu, adalah
menebas cakrawala. Melipat jarak, merangkainya menjadi hujan. Lalu kau muncul
di hari sore, sehabis rujan reda. Kali ini kau yang menang, aku hanya melongo
memandangi lanskap indah wajahmu.
Pacar
senja melongo melihat tubuh telanjang senja
menyembunyikan
mataharinya di balik tebing
karang
yang keras dan serba tajam pandangan
senja
malu jika ada yang melihatnya.
Senja
menunggu sampai hari menjadi gelap.
Orang
pikir ia tak akan tiba, tak tahunya
ada
yang sedang mengintip dari lengkung nirwana.
Diseretnya
tubuh pacar senja ke balik gunungan karang
yang
telanjang ditanggalkan baju dan celana.
Di
sana, tubuh pacar senja habis oleh peluakan senja.
Senja
memang serba kelam
seperti
kamar mandi tanpa bola lampu
yang
suka memeluk secara tiba-tiba
maka
lenyaplah bayang-bayang di kegelapan malam
Ada
yang tak bisa terlelap malam itu,
pacar
senja linglung memandang cakrawala.
Malam tiba,
senja tenggelam di samudera. Tersedot palung samudra dan malam yang gelap. Maka
hilanglah wajahnya dalam waktu sekejap saja. Meninggalkan pacar senja yang
masih megap-megap oleh ciuman senja. Seperti ikan nila yang mencari oksigen di
daratan. Pandangannya berpendar ke cakrawala. Pacar senja linglung seperti
kehilangan sukma. Bagai pohon bunga yang ranggas di musim gugur, daun-daun
melayang tertiup angin, jatuh ke permukaan langit yang hening lalu pandangnya
berpendar di sana. Menunggu hujan yang membawa benih-benih semi. Senja, esok
pasti kita berjumpa.
wajah-wajah aneh
Hari sudah gelap, langit masih tampak mendung. Bulan yang bundar hanya terlihat samar-samar menembus awan. Tak ada bintang. Hanya terlihat satu-dua di celah-celah langit malam. Sehingga bulan dan bintang menjadi keindahan yang mewah. Sesekali kilat terlihat menjilati bukit sebelah timur. Satu-persatu dari kami bergantian mengambil mandi. Sementara antrian yang lain menyalakan api sambil menyanyikan lagu-lagu pramuka. “Api kita sudah menyala, api kita sudah menyala..horay horay!” Ini adalah acara keluar-camping yang pertama kali bersama teman kelas. Jadi, kami bisa untuk lebih saling mengenal. Memang kebersamaan semestinya telah tumbuh mengingat umur kami sudah empat semester bersama dalam satu kelas. Api menyala; kayu bakar, batok kelapa, dan potongan bambu sedikit demi sedikit terkikis oleh api menjadi abu. Hingga tiba giliran para pembuat api untuk mengambil mandi. Setelah badan wangi, kembali mendekat ke lingkaran api. Tubuh jadi sangit lagi, haha.. Jarum jam mulai memanjat naik ke ujung malam, perut mulai merasakan lapar. “Tenang, kita masih punya ikan bakar.”
Kami mengambil
ikan yang telah dipesan di ibu penyedia fasilitas pantai. Dua belas ekor ikan
berukuran sedang, dan satu ekor berukuran besar. “Mantab.” Untuk semua
fasilitas yang sudah disediakan, kami hanya membayar dengan dua ratus ribu saja; kami sudah dapat
lima kamar mandi, listrik, empat buah gazebo, ikan bakar dan arang, penjepit
ikan, dua wakul nasi, lalapan, dan sambal. “Kalau ada Imam, semuanya
beresss...” Ikan-ikan dijepit, berjajar rapi dan masuk ke bakaran arang. Kami
semua guyub mengerubungi bakaran ikan; ada yang memegang jepitan, mengolesi ikan
dengan bumbu, ada yang menipasi arang, ada yang memegang kamera, ada yang hanya
menonton sambil tangisan; semua mata tercuci oleh asap, air mata meleleh. Umbel juga ikut naik turun seiring
tarik-hembusan napas lewat hidung, menahannya agar tidak menetes di bakaran
ikan.
Tak perlu waktu
yang lama untuk membakar ikan karena sebelumnya ikan telah direbus dan di bakar
setengah matang oleh si ibu. Kami hanya tinggal membumbui dan tak sampai lama
ikan sudah matang. Bau bakaran tercium harum, menciutkan hidung. Ikan yang
besar adalah ikan yang berhasil ditangkap oleh dua orang nelayan sore tadi.
Jadi daging ikan masih segar.
Setelah semua
ikan siap, kami naik ke gazebo untuk makan bersama. Mantab. Kami makan dengan
lahapnya. Ini adalah camping termewah yang pernah saya alami,
sebelum-sebelumnya hanya makan nasi dan mie instan, tapi untuk kali ini adalah
makan yang paling enak menurut saya.
Angin pantai
berlari kesana berlari kesini menghampiri pohon-pohon; daun pandan
terangguk-angguk dijawil angin. Suara desiran ombak terdengar sibuk menghantam
karang, memcah sunyi. Di pantai tak pernah sepi. Kenyang makan, ikan berenang
di dalam perut yang jadi bunting. Kami tak mampu menghabiskan dua wakul nasi,
perut sudah menolak apa saja yang terlihat enak untuk dimakan. Perut telah
berbahagia. Di kota makan seperti ini tak mampu terbeli oleh saku anak kost
seperti kami. Semua senang. “Dan yang paling nikmat setelah makan adalah minum
kopi.” Saya segera mencari kompor untuk mendidihkan air. Teman-teman saya tidak
ada yang suka kopi bubuk. Mereka hanya kenal kopi sasetan. Terbungkus, waktu
kadaluarsa di dalam kemasan plastik kopi. Orang-orang kopi rumahan. “Coba
keluar, jangan banyak belajar, biar tahu rasanya warung kopi! Ah, sepertinya
kalian adalah orang-orang yang merugi karena tak pernah merasakan nikmatnya
kopi.” “Kopiku adalah kopi-mu yang pernah kita nikmati bersama, betapa gelasku
penuh rindu. Maaf, aku menyimpan kopi-mu yang kini perlahan-lahan ku sruputi.”
Kami sedang santai di pasir sambil menunggu perut melonggar saat itu,
duduk-duduk, berbaring sambil bercerita tentang pengalaman apa saja, berbagi.
Beginilah anak kuliahan, banyak hal-hal baru yang bisa didapatkan dari kisah
kita yang berbeda-beda; cerita di kampung halaman, cerita masa SMA, sampai
cerita tentang hati-hati yang terlantarkan sendiri. Dan dari situlah muncul
nama “Panti Jomblo”.
Setelah perut
longgar, kira-kira ada space untuk makanan kecil, kami putuskan untuk bakar
jagung. Bara api yang mati di hidupkan kembali, adek pramuka yang paling pandai
membuat api. Satu persatu jagung ditusuki dengan bambu, di guling-gulingkan di
atas panggangan, terakhir diolesi margaris dan saus. jadilah jagung bakar pedas
manis. Saya membawa jagung bakar ke pinggir pantai, berbaring, menikmati di
bawah sinar bulan yang berusaha menembus malam. Tak lama, teman-teman yang lain
menyusul. Kami ramai-ramai di bibir pantai. Saya mengambil matras dan remi, kami
ramai main kartu. Main minuman. Yang kalah dapat clorengan bedak. Sial. Saya
dua kali kena bedak. Wajahku rata dengan bedak, putih, tebal. Lelah bermain
kartu; ada yang tidur, mendekat ke api unggun, mencari ikan. Jarum jam berada
di puncak malam. Langit masih mendung, kilat masih rajin bersilat menjulurkan
lidah. Saya mencari tempat sepi. Selalu ada waktu untuk menyendiri;
nyanyi-nyanyi, memandang langit; bulan-bintang meredup, malam menjadi muram.
Sungguh melankholis sekali aku ini.
sungguh, anak olahraga itu aneh-aneh
Saya lebih memilih tidur di atas pasir, daripada di atas gazebo yang keras, atau di dalam tenda bersama ciwik-ciwik cantik. Pasir lebih menyedihkan bagi diriku yang nelangsa ini. Nyaman, rasanya ada yang kurang jika tidak mencoba untuk tidur, semalam di atas pasir. “Aduh, saya tidak bisa tidur.” Mungkin karena kopi, atau karena ciuman senja, atau karna kamu yang paling menyedihkan dari semua itu. Oh, bukan. Mungkin hanya karena dingin malam. Angin pantai sangat kencang. Saya mengigil kedinginan; kucoba mengubur diri dengan pasir. Angin tambah kencang, ada badai yang lewat. Aku nyingkring di atas matras. Jauh di laut sana tampak sangat gelap, mungkin sedang hujan deras, ditambah angin. Seberapapun badai, pasti akan berlalu. Langit tampak lebih cerah setelahnya; bintang-bintang mulai bermunculan. “Hey, bintang berjajajr tiga itu selalu nampak.” Saya terlelap juga akhirnya. Walau sebentar-sebentar bangun dan tidur lagi. Di tengah bangunku, nampak bulan sangat indah di antara dua bukit karang di sebelah barat. “Terang menjadi milik malam.” Matahri masih malu-malu di belakang bukit yang sebelah timur, ia belum siap disana. Hari sudah pagi. Subuh. “dan, matahari masih sedih bersandar di belakang, mungkin ia belum lelah menanti kedatangan cinta. atau ia sudah bosan, menanti kedatangan apapun. atau teriknya sudah tidak membangunkan kita lagi. bukankah kita sudah berjanji semua selesai ketika ada kita.”- payung teduh.
Indah sekali
pagi itu, hanya aku yang tahu. Bulan yang lelah dalam pertarungan dengan malam,
akhirnya mampu bersinar di hari yang masih dini. Berjalan tunduk menyambut
kedatangan matahari. “Percayalah, pagi menjadi jingga kala itu. Mungkinkah
senja menjelma? Ah, kau juga merinduku rupanya. Bilang saja, akan ku hajar kau
di lain hari.” Bulan berjalan reot, tua-renta. Akhirnya jatuh di pelukan bukit
karang. Sungguh indah pagi itu. Namun semua mata masih terpejam, hanya
sepasangku yang menikmatinya.
Pantai sudah
terang, matahari merangkak mendaki bukit. Orang-orang tenda bangun. Gantian
saya yang masuk ke dalam tenda. Maka tidurlah yang nyenyak. Bangun, pantai
sudah ramai sekali. Baru sekitar jam tujuh saat itu. Saya mengajak wawan untuk
mandi di pantai sekali lagi. Tak lama teman lainpun ikut bergabung dengan kami.
Puas dengan pantai saya langsung bilas, di kamar mandi. Yess pulang! Yang
paling saya suka dari sebuah perjalanan adalah saat perjalanan pulang. Kami
bergegas; melipat tenda, masak mie, dan segera pulang.
melemparkan wajah
pura-pura mati
Mantan!
Perjalanan yang
menyenangkan bersama teman-teman baru. Sangat berharap ini bukan satu-satunya
cerita perjalanan bersama kalian.
Kemanapun
aku kan pergi
ku
kan slalu pulang ke hatimu
Kemanapun
aku kan berjalan
ke
pelukmulah ku kan singgah...
Salam dariku
Bondan
(budi), yang selalu pura-pura gembira.
manusia ha ha :D ! yg pura-pura gembira..
ReplyDeleteselalu menjadi pacar senja, begitulah katanya :)
nice post!
terimakasih sudah membaca. semua boleh jadi pacar senja, tapi izin dulu sama yang punya haha pacar senja adalah sebuah puisi karya joko pinurbo, dan aku sangat suka dengan karya-karyanya :D
ReplyDelete