Thursday 29 May 2014

Gede-Pangrango; Cerita Pertama

Di Kereta

Aku berangkat meninggalkan bosan di kelas yang penuh dengan kursi-kursi besi yang angkuh, kursi berdebu, tua, karatan, kursi dengan busa yang sudah tak utuh lagi, kadang juga tidak simetris, sudah tidak mampu berdiri dengan tegak, kursi yang menjadi duduk berhari-hari, dalam ruang kelas yang pengap, hampa, terlalu banyak ocehan, aku merasa terasing dengan keadaan itu. Di kelas itu (kuliah) membosankan. Aku rindu kursi kayu.

Selasa. Perjalanan ini dimulai ketika senja dibingkai kaca jendela. Kereta berangkat meninggalkan jogja pukul 05.40, saat senja senyum-senyum di etalase jendela. Pemberangkatan telat tiga puluh menit dari jadwal, jam karet! Segenap doa dituju pada Tuhan, manusia menggantungkan segala hidup kepadaNya. Kereta melaju dengan cepat, memburu gelap, berlari ke tempat senja yang dengan santainya masih senyum-senyum ketika mulai ditelan malam. Lampu kota mulai menyala, beramai-ramai merayakan tugasnya. Lanskap menjadi buram, kereta berpacu menyusuri rel yang tertata rapi, terbaring berjajar diatas bantal-bantal beton, beralaskan batu-batu yang sejatinya adalah bongkahan debu.

Album Foto; Gunung Pangrango - Mandalawangi

Hutan;


















Tuesday 27 May 2014

Mati Lampu

Malam benar-benar telah menampakkan wujudnya.
Tanpa cahaya lampu; malam adalah gelap, waktu tentang kesunyian
seperti cangkir kopi tanpa campuran susu.
Bola lampu kehilangan nyawa, melayang-layang di udara
pada tiang-tiang di jalanan menggantungkan rindu,
pada dinding kamar bersandar akan harapan. Selalu berharap.
Lampu tak menyala, malam berkuasa.
Rumah yang menjadi tempat yang hangat kini
menjadi kosong, menganga di larut malam.

Belalang pohon nyaring bunyinya; percakapan tragis dengan malam.
Bola lampu mengapung di kesunyian,
ia tak kuasa, tak bercahaya.
Di kota ini sudah tidak ada matahari lagi,
matahari tidak suka gelap, ia berlari memburu fajar
di timur yang terang. Di sana memang benar terang.

Langit seakan menjadi bidang yang paling terang,
dengan kerlip bintang leluasa bertaburan
di atas rumput ilalang yang bergoyang-goyang.
"Bagaimana jika matahari tiba-tiba datang
dan menerangi kamar gelap ini?"
"Akan kupadamkan cahaya, kupeluk habis tubuhnya.
Ku jaga dia di sini, tak kubiarkan menyusuri jalan pulang".

Kupelihara matahari saat malam datang.

kamar kost. 27-05-2014

Sunday 4 May 2014

Laku ing Gunung Lawu

Gunung, hutan. Ngawi adalah kota kecil yang terletak di sebelah utara gunung lawu. Walau kabupaten ngawi termasuk daerah yang luas, namun aku menyebutnya kota yang kecil karena peradaban manusia di ngawi masih jauh bila dibanding dengan kota-kota seperti madiun, solo dan jogja. Pendidikan, sosial, budaya ngawi masih kalah jauh dengan mereka. Tapi jangan salah, untuk kimcil-kimcil ngawi, aku bilang perkembangannya sangat pesat. Orang ngawi (yang berpendidikan) tak bisa bangga dengan itu. Setiap sore di malam minggu, jalanan di ngawi akan sangat ramai dengan cabe-cabean dengan pakaian yang kupikir para pembaca sudah tahu sendiri bagaimana modelnya. Malamnya akan diganti dengan purel-purel karaokean. Aku prihatin, mau jadi apa kotaku ini.

Sebagian wilayah kabupaten ngawi berada di lereng gunung lawu; di kecamatan kendal, jogorogo, ngrambe dan sine. Dulu waktu masih kecil aku punya keinginan naik gunung dan melihat apa yang ada dibalik bukit-bukit yang tinggi itu. Sempat berpikir bahwa dunia ini dibatasi oleh gunung lawu di sebelah selatan. Namun ilmu pengetahuan tentang alam di sekolah dasar membantahnya. Ternyata dunia itu luas. Tentu membuat semakin penasaran apa yang ada dibalik gunung besar dan hijau itu. Waktu kecil, Bapak sering mengajak piknik ke gunung-gunung dan hutan. Masih dengan kendaraan L2-Super waktu itu. Menyusuri jalanan yang tak pernah berujung mesti telah membelah gunung. Dari situ aku mulai mengenal tentang alam. Mencintai alam, itu alamiah; seperti orang haus dan butuh minum. Maka jatuh cinta itu sah, yang dilarang agama adalah berzina. Jadi sah saja jika aku mencintaimu, sayang padamu. Orang tua tak sepaham dengan ini.