Monday 14 April 2014

Merbabu, berkabut namaMu

Ah, perempuan pendaki. Selalu membuat aku jatuh cinta. Betapa keren-nya perempuan yang menenteng keril di pundaknya itu. Aura wajah yang penuh warna. Menggambarkan bahwa mereka adalah puan-puan yang asyik, selalu rame penuh tawa. Sungguh membuat iri ketika melihat mereka mendaki bersama kekasihnya. “Hey ros, kamu dimana? Kapan kita naik gunung berdua? Biar kita terlihat sepasang kekasih yang penuh mesra” Haha. Melihat perempuan-perempuan gunung; ingin culik satu, masukkan keril, bawa pulang, trus tak rabi. Aku ingin mendaki bersama anak-istri, begitu asyik sepertinya. Alangkah indahnya setiap bunga-bunga edelweis yang mungil itu menjadi bunga kasih yang abadi. Huhu, aku nduwe ukoro anyar mas, “Naik gunung adalah harapan, dan rabi adalah tujuan”. Piye?~ jreng jreng.... Pararararam pararararam uuuuu uu.
Aku menunggu dengan sabar di atas sini melayang-layang. Tergoyang angin, menantikan gugur itu.. Aku.. ingin berdua denganmu, diantara daun gugur..-PayungTeduh.

Jumat 28 Maret. Aku berkesempatan mendaki ke gunung Merbabu. Pendakian yang pertama kalinya di gunung ini. Menjadi gunung keempat yang telah kugapai titik tertingginya. Kentheng Songo 3.142mdpl. Merbabu memiliki dua puncak; Kentheng Songo dan puncak Syarif. Puncak kentheng songo adalah puncak yang tertinggi. Kata orang, merbabu artinya gunung perempuan yang cantik. Gunung merbabu berstatus gunung tidur. Jadi merbabu itu ibarat putri yang sedang tertidur. Awas, jangan dibangunkan. Nanti si cantik marah, bisa very danggerous. Puncak merbabu bisa dicapai dari empat jalur pendakian; yaitu  wekas, selo, thekelan, dan cunthel. Aku mendaki lewat jalur wekas.
Pendakian ini telah direncanakan sejak dua minggu sebelumnya, saat kami mengadakan camping di pantai nguyahan; camping panti jomblo. Awalnya banyak yang setuju dan ingin ikut pendakian. Namun pada hari Ha-nya hanya Aku dan Arif yang berangkat. Kita berangkat berdua. Berdua! Lanang kabeh ki tapi.. Mereka itu banyak alasan; ada yang ke si kunir dieng, ada yang karena pemuda-pemuda nusantara naik kapal(sepertinya naik gunung lebih keren), ada yang mengundurkan diri karena hanya berangkat dua orang, alasan karena erupsi merapi, ada yang tidak mendapat izin orang tua. Memang alasan terakhir ini adalah kunci utama di setiap pendakian; restu orang tua. Jangan seperti saya yang tidak pamitan dengan orang tua ketika berangkat mendaki. Jangan ditiru! Apapun itu, yang terpenting adalah restu dari ibu, orang tua. Sebenarnya aku tidak diperbolehkan oleh ibu, tapi aku nekat. Haha maafkan bondan bu..
Oke, perjalanan kita mulai dengan belanja! Haha belanja. Masuk supermarket. Melihat deret-deret yang selalu tersusun rapi. Waktu terbungkus, kadaluarsa di bungkus roti; kata melbi. Menyeret keranjang; ambil yang dibutuhkan, berkeliling sambil membawa daftar belanja. Memilih roti-roti dengan teliti; dengan pertimbangan masa kadaluarsa, berat roti, isi roti, mencari harga murah dengan tingkat kepuasan tinggi. Semua pilih yang murah untuk menekan biaya seminim mungkin. Begitupun kami sudah kena 120 ribuan. “Ah, sial. Saus Tartar! Kita harus membuat pesta di gunung nanti!”
Setelah semua kebutuhan logistik terpenuhi, kami kembali ke kost-nya arief untuk packing-packing barang. Packing memakan waktu hingga hampir dua jam. Kami berdua juga memasak-membuat jelly untuk bekal selama pendakian. Setelah semua barang masuk tas, kami tinggal ke masjid untuk sholat jumat.  “Iya dumz, katanya wanita itu suka kalau melihat para pria ketika berangkat jumatan ya? Biar tetap jadi pria idaman gitu loh.” Setelah jumatan, lanjut kami mencari makan di padangan. Cari yang murah; nasi ambil sendiri. Setelah perut kenyang, segera berangkat ke magelang, ke basecamp pendakian. Desa wekas. Dari jogja kami berangkat jam dua siang.  Kami berangkat menggunakan satu sepeda motor. Dan, sepanjang perjalanan selalu dibayangi oleh mendung hitam yang menutupi pandangan mata akan perpaduan indahnya merapi dan merbabu. Sesekali kilat memecah kerumunan awan yang menggulung-gulung; awan hitam, menggumpal. Angin yang basah berlari menabrak laju kendaraan kami. Pikiranku sudah kemana-mana, mocar-macir bagai semut yang baru keluar dari lubang sarangnya, kesemutan. “Kami hanya berdua, aku berangkat tidak pamit orang tua. Masih bisa pulangkah aku nanti? Aku janji akan peluk bapak ibu sepulang dari sini.” Benar saja, sesaat setelah masuk ke jalur kopeng; jl raya kopeng, hujan menghentikan perjalanan kami. Berdua berteduh di depan spbu. Tidak ada tanda-tanda ada pendaki yang lewat. Mungkin karena erupsi merapi di hari sebelunya, kamis siang; yang membuat pendakian sepi. Nunut ngiyub, kulo nunut ngiyub. udan lali ra gowo payung.-didi kempot. Sudah setengah empat, kami ingin tiba di basecamp sebelum gelap. Menunggu hujan sekitar setengah jam, saat itu masih gerimis, kami melanjutkan perjalanan. Mantel hujan kami kenakan, kami tak ingin kebasahan di jalan. Dari sebuah pertigaan jalan, kami keluar dari jl raya kopeng. Masuk ke desa-desa menuju basecamp pendakian. Dari pintu gerbang jl raya akan melewati beberapa desa, terlihat beberapa kali melewati gapura-gapura perbatasan desa sebelum sampai di basecamp. Kondisi jalan adalah bekas aspalan dan cor block semen. Jalan berkabut, masuk hutan. Ah, senang sekali rasanya bisa melihat hutan. “Mari mendaki gunung, melihat hutan.” Aku berteriak bahagia beberapa kali di dalam perjalanan. Sampai di basecamp jam lima sore. Senja menggigil dingin berkabut. Kasihan senja, jingganya k-o oleh kabut dalam pertarungan di atas bukit yang sengit. Basecamp sangat sepi, hanya kami berdua dan seorang pria keren (setiap pendaki itu keren) namanya mas yono. He is a good man. Orang gunung selalu seperti itu. Kami banyak ngbrol berbagi pengalaman. Mas yono menunggu teman-teman pendakian masal di basecamp. “Besok ada pendakian masal”, katanya. “sekitar 200an orang” edyan.. untungnya kami naik hari itu, dan bukan besoknya. Jadi kami masih dapat suasana tenang karena gunung masih sepi. Tak terasa obrolan kami sudah sampai di jam tujuh malam, bersama teh melati dan kopi. “Mbah basecamp, kopinya ini pake merk apa? rasanya kurang.” Kami putuskan untuk berangkat mendaki menuju pos dua; kami akan mendirikan tenda di sana. Sambil membawa nasi dari mbah basecamp, kami mulai berjalan. “Sampai bertemu lagi mas yono..”
Perjalanan dimuali dengan berdoa. Dari basecamp jalur pendakian masih di pedesaan, sampai pada batas makam ki..siapa ya, aku lupa. Besok lagi kalau ada kesempatan yang lain akan ku lihat namanya, ki hajar siapa gitu pokonya. Dari situ pendakian yang sebenarnya dimulai. Jalur memasuki hutan. Langit masih mendung, tak ada bulan dan bintang. Lampu senter melaksanakan tugasnya; menunjukkan jalan, menuntun sampai ke pos dua pendakian. Jalur dari basecamp sampai ke pos dua mengikuti pipa air dari air terjun di atas untuk kebutuhan air bersih warga desa. Sebentar-sebentar kami berhenti melangkah, mengatur napas, adaptasi tubuh dengan perjalanan yang berat dan dingin. Kalau perjalanan di lawu dulu kak aw bilang, “Setopp!!” Arief yang menenteng keril, aku membawa daypack. Kerlap-kerlip lampu desa di bawah menyemangati langkah kami. Desa menjelma bintang dalam gelap malam. Benar-benar gelap, semua lenyap. Kami jalan berdua. seberapapun dingin di gunung, saat mendaki pasti tetap berkeringat. Medan lumayan berat. Perut lapar menambah berat kaki untuk melangkah. Namun harus tetap mantap langkah demi langkah. Selama satu jam berjalan, kami melewati Pos Satu. Pos ini merupakan lapang yang cukup luas, cukup untuk mendirikan sekitar 20 tenda. Tanpa mampir di pos satu, kami malanjutkan perjalanan. Perut sudah sangat lapar. Motivasi saat itu adalah “gerih”. Ya, sudah terbayang-bayang masak gerih, makan dengan nasi dan sambal terasi. Betapa nikmatnya makan gerih di gunung, baunya yang membuat orang ngiler, menahan, lalu menelan ludah. Haha. Tapi pos dua masih jauh. Kami istirahat sejenak sambil membuka logistik; roti, untuk mengganjal perut dan mengisi energi untuk melanjutkan perjalanan. Dalam pendakian, managemen nutrisi harus dikuasai oleh seorang pendaki agar tubuh selalu mempunyai tenaga selama pendakian. Setelah sekiranya tubuh siap, kami melanjutkan perjalanan. Tampak sorot lampu senter dari atas punggung bukit seberang, terpisah oleh jurang. “Itu dari jalur kopeng”, kata arief. Mereka berteriak, kami membalas. “Hoe, opo su?” “Pos dua sudah tidak jauh dari sini, vegetasi sudah mulai jarang”, kata arief menyemangatiku. Benar. Sebuah tanah lapang di hadapan kami. Saat itu jam sepuluh malam. Terlihat tenda dua kelompok pendaki sudah berdiri. Penerangan senter terlihat remang-remang di mata kami. Kami berjalan mengelilingi lapang, survei tempat yang enak untuk mendirikan tenda. Kami putuskan untuk mendekat dengan dua kelompok tersebut dengan pertimbangan keamanan barang.
Kami membongkar keril, mengelurakan tenda. Mendirikan dengan tangan-tangan yang kaku dan tubuh mulai menggigil. “Akhirnya tenda-ku berdiri di gunung untuk pertama kalinya haha.” Setelah tenda kokoh di pasak ke tanah, kami masuk, menata barang-barang; mengeluarkan kompor, nesting, nasi, lauk-lauk lain, dan tak lupa gerihnya. Saat itu kami masak gerih dengan margarine, bau yang ditimbulkan semakin menciutkan hidung. “Biar bangun orang-orang yang telah tidur lelap di samping-samping kami.” Satu-persatu gerih masuk ke penggorengan. Suara margarine yang mencair kepanasan, dimasuki gerih, bau gerih. “Yuhu, aku ngiler untuk kedua kalinya saat menulis cerita.” “Dan ketiga saat mengedit, membacanya.” “Begitu seterrusnya.” Kami makan semangkuk berdua, dengan nasi yang dibawa dari basecamp. Sangat lahap. Mangkuk nasi bersih tanpa harus dicuci. Perut kenyang. Moto ngantuk iku tombone opo? Turu. Lha nek tombone wong kangen mas? Arief minta untuk diputarkan lagu-lagu dari payung teduh. Tidurlah. Sepertinya dia sudah kena virus-ku haha.
Akhirnya malam tiba juga...ah preketek
Kami tidur sangat lelap. Hp dialarm jam tiga pagi. Kami berniat summit-sunrise. Tapi malas mengalahkan niat kami. Tidur lagi sampai terang hari tiba. “Memang langit masih mendung, daripada jalan pagi-pagi gak dapat sunrise mendingan kita tidur lagi.” Hastag #SantaiFirst.
Sabtu, 29 Maret. Gelap malam telah digantikan dengan terang matahari, dengan penuh kasih sayang menyampaikan sentuhan lembut kepada bumi melalui sinarnya yang membangunkan pagi. Pagi membangunkan semesta. Suara sahut-sahutan ayam hutan telah membuka dunia dan menyatakan bahwa hari memang benar-benar telah pagi. Matahari terlahir kembali. Kabut pagi terlalu tebal untuk matahari, ia menggigil bersembunyi di dalam dingin. Kabut berdiri di pucuk pepohonan. Menjadi embun, butiran air, menetes ke daun, terpelanting ke ranting-ranting dan akhirnya jatuh menghantam tanah. Cover tenda basah. Sebenarnya aku berharap malam itu akan turun hujan, biar tahu seberapa tangguh tenda ini melindungiku dari derasan hujan.
Pagi yang dingin. Orang-orang tenda sebelah telah ramai, mereka bangun lebih pagi dari kami. Terdengar suara minyak yang mendidih diatas kompor. Mereka ribut membuat sarapan pagi. Di antara bisikan mereka, terdengar lelagu pagi yang mereka putar dengan sound portable. Aku tahu lagunya, Danur- sebuah lagu dari sarasvati. Lagu yang menyatu dengan alam pagi hari. Kami sedang bersiap-siap. Mengisi nutrisi dengan roti dan minuman susu untuk tenaga dalam perjalanan ke puncak. Logistik berlimpah, kami tak khawatir akan kelaparan di gunung yang jarang makanan.
Selanjutnya mempersiapkan barang-barang yang perlu dibawa untuk summit. Kami hanya membawa satu tas kecil ke puncak. Untuk persediaan air; tenang, pos dua adalah sumber air. Saluran pipa yang bocor; sengaja dilubangi oleh pendaki untuk keperluan air sangat melimpah sehingga tak perlu bingung untuk masalah yang satu ini. Jadi, tidak perlu membawa banyak air dari bawah yang akan menambah beban isi tas dan menghambat perjalanan. Tapi jangan pernah untuk membuat lubang baru di saluran pipa. Nanti warga desa minum pakai apa, kalau air tidak mengalir sampai ke desa. Atau aliran air menjadi kotor karena tanah bisa saja masuk melalui lubang yang besar atau yang terlalu banyak.
Dari pos dua kami berangkat menuju puncak sekitar jam setengah delapan. Dari pos dua jalur masih berupa tanah berbatu dengan vegetasi yang masih lebat. Gunung merbabu adalah gunung yang sangat subur. Vegetasi tumbuhan sangat beraneka ragam jenisnya. Pohon-pohon edelwies juga banyak dijumpai. Namun sayang, kami mendaki di waktu yang tidak tepat; edelweis belum berbunga di bulan yang basah. Hanya terlihat kuncup-kuncup bunga yang basah diselimuti kabut.  Dari pos dua terdapat percabangan jalur; jalur ke puncak dan menuju air terjun. Jalur air terjun adalah jalur buntu, artinya; jalur ini tidak bisa sampai puncak. Sebenarnya bisa, tapi harus memutari bukit dan menyeberangi lembah yang cukup ektrem. Kami bertemu dengan beberapa kelompok pendaki, bercerita; katanya mereka melewati jalur terjal itu. Aku terkekeh mendegar cerita mereka. Kami menghela napas pada sebuah batu besar, pemandangan cukup bagus walau kabut menghalangi pandangan. Minum air dan makan roti untuk waktu yang santai. Inilah positif dari pendakian dua orang; bisa santai dan tidak terlalu banyak beban pikiran. Untuk pendaki pemula sebaiknya jangan melakuakan pendakian seperti kami ini. Harus bersama dengan pemandu atau orang yang banyak pengalaman. “Wah, wes koyok pendaki tenan wae we mas.” Kami sedang bersantai menikmati kabut pagi. Hingga kami tak menyadari bahwa batu yang kami santuni adalah titik percabangan kedua jalur tadi. Batu menyembunyikan jalur asli menuju puncak. Yang tampak adalah jalur menuju air terjun, sangat jelas. Kami melanjutkan perjalanan, mengambil jalur kiri karena tak tahu ada jalur puncak di belakang batu. Kami terus berjalan, menyurusi pinggiran bukit. Pemandangan sangat bagus, padang savana meliuk-liuk mengukuti punggungan gunung. Dalam perjalanan arief bilang, “Aku kok gak pernah lihat jalur seperti ini ya?” Jreng-jreng...kami mulai berpikir, benarkah jalur ini. Saat-saat seperti ini kita bisa menggunakan logika jika buta dengan arah atau tidak menguasai ilmu navigasi. Pikirkan saja dimana letak puncak, kemana arah kita berjalan, bagaimana medan yang kita temuai; naik atau justru turun. Kita juga bisa mempelajarai tanda-tanda atau jejak yang ditinggalkan oleh pendaki sebelumnya. Jika tidak ada, berarti jalur kita salah. Bisa dikatakan bahwa mendaki gunung itu bisa melatih seseorang untuk berpikir logis dan berani mengambil keputusan dengan pertimbangan yang matang. “Haha selamat rif, kita telah tersesat.” Suara air terjun telah terdengar dari atas bukit. “Berarti jalur ini salah, ayo balik.” Kami teringat perbincangan dengan mas yono di basecamp. Dia bilang, “Jangan ambil jalur yang kiri, buntu. Ambil yang kanan mas.”
Setelah kembali menyusuri jalur, ternyata diketemukan percabangan jalur di belakang batu tempat kami bersantai tadi. Haha ranjungan! Mungkin batu itu terkekeh-kekeh melihat rupa kami. Selamat batu, kamu berhasil menyesatkan kami. Setelah kembali ke jalan yang benar dari jalur kesesatan, akhirnya kami sampai di pos persimpangan antara jalur wekas dan kopeng. Pos Watu Tulis. Dari pos ini menuju Pos Halipad hanya dibutuhkan waktu lima belas menit. Kondisi jalur sudah terbuka, sudah jarang vegetasi, padang savana.
Pemandangan dari pos helipad ini sangat bagus. Terlihat padang savana yang indah dan gunung kukusan di sebelah kiri jalur pendakian. Jika beruntung cuaca sedang cerah, akan bisa dinikmati keindahan alam merbabu ini. namun sekali lagi kabut masih kuat menutupi. Hanya sesaat saja ada panas, pandangan cerah, lalu dengan cepat kabut kembali menguasai. Dapat dilihat sumber air di sebelah kanan, namun jangan diminum karena itu adalah air belerang dari kawah. Bau belerang menyengat hidung dalam perjalanan.
Perjalanan berlanjut melewati sebuah tebing yang terjal dengan jurang disisi kiri dan kanannya. Jalur ini bernama jembatan setan. “Awas, hati-hati menyeberang. Jangan terganggu oleh bisikan setan, nanti bisa jatuh ke dalam jurang bumi yang sangat panas. Ya, neraka jahanam. Lalu kau yang menjadi setannya, mebujuki setiap pendaki yang menyebari jembatan.” Terus berjalan, kemudian kami sampai di persimpangan puncak syarif dan kentheng songo.
Kenteng songo ditandai dengan sebuah batu berlubang yang dikeramatkan oleh warga merbabu. Katanya, jika kita bisa melihat; akan terdapat sembilan batu berlubang. Namun hanya terlihat hanya empat batu dengan kasap mata biasa. Jika cuaca cerah, dari merbabu akan akan terlihat merapi, si-ndoro ayu, sumbing, mas slamet, gunung ungaran dan lawu disebelah timur. Haha kami hanya dapat kabut. Namun dengan itu kami merasakan pengalaman spiritual yang sangat luar biasa. Hanya kami berdua di puncak saat itu, sepi. Kabut. Terasa di dalam ruang hampa sebelum Adam turun di hutan bersama kekasihnya. Kabut tebal menyelimuti puncak. Tak ada yang terlihat. Hanya gambar putih yang menjadi dinding di puncak saat itu. Mereka tak berbisik, bicara tanpa bersuara, seperti hadirmu yang selalu meninggalkan rindu. Sangat dekat sekali, aku bisa merasakan hubungan antara diriku dan Tuhan, yang juga nyawiji didalamku. Manunggal kawulo ing Gusti. Begitu terasa damai, tentram. Kalau boleh, aku ingin tetap disana dan tak ingin pulang. Sangat tenang. Seperti inilah titik tertinggi yang dicapai manusia di dalam pendakian. Perjalanan spiritual hingga bisa merasa manunggal. Selamat, aku bisa mencapainya.
Kami berdua duduk di batu berlubang. Ingat pada Gie, Arief membuka handphonnya dan membacakan puisi sambil makan coklat di puncak. Aku juga tak ingin kehilangan kesempatan untuk membacakan puisi Gie. Sebuah Tanya. Sungguh moment yang sangat luar biasa.
Satu jam di puncak, dan kami belum ingin meninggalkan suasana tentram itu. Aku bernyanyi, beberapa lagu. Sebagai wujud rasa bahagiaku waktu itu. Kabut yang sebelumnya tenang, saat itu ia mulai mengusik ketentraman kentheng songo. Mungkin terusik dengan suara nyanyiku. Kabut menunjukkan kuasanya. Menunjukkan wajahnya, sentuhannya. Kabut menjelma menjadi hujan. Yang mengusir duduk santai kami. Kami bergegas, terpaksa turun menghindari hujan. Kami berlari. Dalam lari itu, aku teringat dengan sebuah puisi karya  Sapardi.  Aku suka dengan puisi-puisi karnyanya.
Seperti Kabut.

aku akan menyayangimu seperti kabut
yang raib di cahaya matahari

aku akan menjelma awan
hati-hati mendaki bukit
agar bisa menghujanimu

pada suatu hari baik nanti.

Tubuh ini aku paksa untuk masuk ke dalam sajak kecil itu. Yang telah disusun rapi oleh penerbit buku. Puisi abadi di dalam buku. Hey, ini perbuatan percetakan buku. Mereka suka menciptakan lembaran kertas; menyatukan halaman-demi-halaman, dimasukkannya berjuta cahaya, etalase jendela, hingga segelas soda. Aku mencoba masuk kedalam kabut, di sela-sela huruf, di antara barisan kata, di dalam larik-larik kalimat yang menjadi sajak,  atau sebuah mantara. Menjadikanku kabut, menjelma awan dengan pelan mendaki bukit itu. Aku akan menghujanimu, sekali saja dalam seumur hidupku. Itu cukup bagiku. Cakrawala adalah tempat bagi penantianku. Penantian yang teguh. Di cakrawala; aku akan mengira-ira jarak, melipatnya, hingga hari yang baik tiba. Hujan adalah jasadku, mengalir ke dalam ranjangmu. Dalam sajak itu, aku mensimulasikan kejadian-kejadian yang kira-kira akan kualami dalam penantian yang mungkin akan menjadi satu penantian amat panjang. Satu yang panjang. Begitu panjang hingga aku mampu menjejakkan kaki di puncak-puncak gunung yang tinggi. Itupun belum cukup, mungkin. *
Kami masih berlari. Hujan semakin deras. Langkah kaki mantul-terpantul seperti bola pingpong yang tak pernah mendarat di meja dengan sempurna, pada batuan yang licin. Yang sangat hati-hati, namun masih berlari. Sesekali kaki tergelincir dari batu pijakan, masuk ke dalam aliran air yang deras. Berkecipak di parit-parit dadakan. Jika hujan, jalanan setapak menjadi aliran air yang berkejaran menuruni gunung. Tergelincir bagai waktu yang jatuh dari kalender di dinding kamar. Dan dengan cepat akan jatuh ke lantai yang berdebu. Satu-persatu dan terus begitu dan seterusnya. Hingga kalender berwajah baru. Waktu tercecer di atas lantai yang berdebu. Saking tebalnya, debu mampu mengubur waktu. Saat angin, debu-debu di lantai akan terbang tanpa tujuan, menghantam rak buku. Begitu juga dengan waktu. Jika manusia memungutinya, maka waktu dinamakan masa lalu. Disitu; manusia akan terjerembab di dalam kenangan yang menyesatkan. Begitu cepatnya, waktu cepat berlalu.
Kaki masih berlari, mata dengan jeli mencari pijakan batu. Kami saling balap dengan aliran air yang menggulung turun. Aku melihat pohon-pohon edelweis yang basah, tersiram hujan. Ternyata; daun edelweis terlihat indah saat hujan seperti itu. Bentuknya yang lancip-lancip menantang langit, warnanya yang hijau membiru oleh siraman air hujan; butiran air menetes dari setiap pucuknya. Terangguk-angguk menerima air dari langit. Oh, edelweis. Begitu indahnya setiap ranting-rantingmu. Tuhan telah berhasil menciptakan makhluk indah sepertimu, yang hanya bisa ditemui di gunung. Pada ketinggian. Menantang keberanian. Tugas manusia adalah mengapresiasi seluruh ciptaan Tuhan.
Hujan bertambah deras, sebabnya tubuhku basah luar dalam. Puret kemaluanku. Nyingkruk di dalam sangkar burung yang ngecombang, kebanjiran. Aku lupa membawa mantel hujan. Ada jaket, namun kualitas waterprofnya sungguh mengecewakan. Dia malah senang menghisap air hujan. Arief aman-aman saja. Jaket yang dipakainya telah teruji. Butiran air terpental-pental saat menghantam badannya. Kualitas yang setimpa dengan harga setengah juta. Aku tak peduli dengan basahku. Biar kaki terus kencang berlari. Nanti di tenda bisa cari baju ganti. Aku juga cemas, bagaimana kondisi tendaku saat hujan deras seperti itu. Sudah hanyut kah? Atau telah menjadi kolam yang ngecombang? “Semoga tendaku strong.” Selama satu jam berlari, kami telah sampai di camping ground pos dua. Sekitar jam sebelas. Kedatangan kami disambut oleh dua ekor kera yang sangat besar, mungkin pemimpin kelompok. Mereka berusaha mencuri makanan dari tenda-tenda yang masih berdiri. Untungnya ada seseorang yang tidak ikut dengan kelompoknya ke puncak. Dia pilih menjaga tenda, mungkin terlalu sering bermain ke puncak. Usahanya mengusir kera mungkin dengan meneriaki, “Kera jangan mencuri! Kera jangan mencuri! Kera jangan mencuri!” Lalu kera menjawab, “Sial!” Mungkin jika tidak ada mas-mas berjaket merah itu, tendaku sudah hanjur oleh kera-kera itu. mereka pandai mencuri makanan, juga menghancurkan tenda dengan menyobekinya. Ada seorang lagi, laki-laki, berteduh di bawah pohon. Tubuhnya basah. Merasa kasihan padanya, arif mengajaknya masuk ke dalam tenda. “lah, rif??” Dia adalah orang yang kami temui dalam perjalanan ke puncak pagi tadi. Dia menunggu teman-temannya yang masih berjuang melawan hujan. Aku langsung mencari baju ganti, peduli dengan kenari yang mengkerut menjadi pleci. Arief dengan sangat baik hati membuatkannya minuman hangat; susu. Saat temannya tiba; tiga orang yang lainnya, arief malah merebus mie untuk mereka. Ditambah suguhan jelly. Mereka sangat lahap. Pendaki yang kelaparan. Buruk. Mungkin baru pemula. Lihatlah tulisan di punggung bajunya, “Tuhan bersama orang-orang yang berjiwa ekstrem.” “Matamu wi! Ngono carane yo raenek seng gelem munggah kaji, sembahyang, sholat ngaji, malah do penekan neng tebing, turut gua, jajah alas. Lak yo malah repot engko agamane, duh mas.” Mungkin mereka baru seneng-senengnya mendaki.
Ketika keempat orang itu pergi, saatnya giliran kami untuk membuat makan siang. Masak-masak. Menu makan siang adalah masih dengan gerih, sambal terasi, kering tempe dan mie. Sebenarnya kami ingin menu yang lain, tapi apadaya, kami tak punya koki. Kali ini kami memasak nasi. Gunung telah mengajarkan seseorang untuk hidup mandiri. Kami tak begitu selera dengan makan, mungkin sedang lelah. Atau kenyang dengan roti-roti yang masih berlimpah. Kami tak mampu menghabiskan nasi yang telah dimasak. Masih sisa, dan kami membawanya pulang. Dibuang di rumah saja. Walau tak mampu mengurangi jumlah sampah di bumi, minimal kita jangan menambah-nambahi.
Perut merasa kenyang, mata yang lelah tak tertahan untuk terpejam. Kami turuti, tidur sampai sore hari. Terdengar hujan beberapa kali. Namun keseluruhan, kabut masih mendominasi. Terasa lelah, tidur menjadi segalanya. Tenda tertutup rapat. Dingin AC meniupi lubang ventilasi. Udara yang alami, sangat alami. Bukan seperti di dalam ruangan perkantoran atau mobil-mobil yang pengap, udara di sana palsu. Aku membenci manusia yang menciptakan alat seperti itu. Bukankah orang dulu telah menemukan kipas yang lebih menentramkan? Lebih baik dan ramah lingkungan. Adapula yang menjadikannya sebagai senjata sakti, seperti di dalam drama kera sakti. Akan tercipta angin yang luar biasa dari kibasan kipasnya, mampu menghancurkan apa saja, mengalahkan musuhnya. Apa gunanya pendingin ruangan? Selain suara dengungya yang menciptakan suasana di pelabuhan kapal. Atau mainan kapal api di pasar malam, yang selalu melaju, berputar mengelilingi ember digenangi air yang lumer? Aku membenci itu, udara palsu hanya membuat hidung flu.
Tak terasa hari sudah mulai senja, matahari menuruni bukit, jam setengah empat sore. Kami bangun dan segera bersiap untuk turun, dan pulang. Dalam suatu perjalanan, yang paling aku suka adalah saat pulang. Kami merobohkan tenda, melipatnya, dimasukkan dalam keril, juga semua peralatan lainnya. Kami turun dari pos dua jam setengah lima. Kembali berlari, berharap tidak bertemu dengan hujan lagi. Dalam perjalanan pulang, kami bertemu dengan mas yono beserta rombongan pendakian masal. Mas yono minta tukeran nomer. “Kapan-kapan kita jalan bareng mas.” Sampai di basecamp jam setengah enam. Hanya dalam satu jam untuk turun. Jika dijumlah dari puncak hanya dengan waktu dua jam. Sangat tidak sebanding dengan perjalanan naik yang membutuhkan waktu berjam-jam lamanya, juga dengan tenaga yang sangat besar. Basecamp saat itu sangat ramai. Saat itu memang bertepatan dengan tanggal merah di akhir pekan. Ternyata manusia sangat butuh liburan. Tak lama, kami langsung meninggalkan basecamp dan pulang ke jogja. Ucapan terimakasih kepada merbabu yang telah memberikan pengalaman baru. Terima kasih Tuhan, sungguh beruntung aku bisa menikmati keindahan ciptaanmu.
Minggu, 30 Maret. Aku pulang ke Ngawi, dan memeluk bapak ibu.

andai saja aku awan
\
cokelat dan Gie yang lain, hehe *guyon cah,

aku setrong cah,

foto selfpie 

mungil

\
salah satu batu di kentheng songo

loh, fotone mbak nadine nyasarr rene ki
(sumber: instagram)



April 2014.

Salam, Budi.

No comments:

Post a Comment