Ah, perempuan
pendaki. Selalu membuat aku jatuh cinta. Betapa keren-nya perempuan yang
menenteng keril di pundaknya itu. Aura wajah yang penuh warna. Menggambarkan bahwa
mereka adalah puan-puan yang asyik, selalu rame penuh tawa. Sungguh membuat iri
ketika melihat mereka mendaki bersama kekasihnya. “Hey ros, kamu dimana? Kapan kita
naik gunung berdua? Biar kita terlihat sepasang kekasih yang penuh mesra” Haha.
Melihat perempuan-perempuan gunung; ingin culik satu, masukkan keril, bawa
pulang, trus tak rabi. Aku ingin mendaki
bersama anak-istri, begitu asyik sepertinya. Alangkah indahnya setiap
bunga-bunga edelweis yang mungil itu menjadi bunga kasih yang abadi. Huhu, aku
nduwe ukoro anyar mas, “Naik gunung adalah harapan, dan rabi adalah tujuan”.
Piye?~ jreng jreng.... Pararararam pararararam uuuuu uu.
Aku menunggu dengan sabar di atas sini
melayang-layang. Tergoyang angin, menantikan gugur itu.. Aku.. ingin berdua
denganmu, diantara daun gugur..-PayungTeduh.
Jumat 28 Maret.
Aku berkesempatan mendaki ke gunung Merbabu. Pendakian yang pertama kalinya di
gunung ini. Menjadi gunung keempat yang telah kugapai titik tertingginya. Kentheng
Songo 3.142mdpl. Merbabu memiliki dua puncak; Kentheng Songo dan puncak Syarif.
Puncak kentheng songo adalah puncak yang tertinggi. Kata orang, merbabu artinya
gunung perempuan yang cantik. Gunung merbabu berstatus gunung tidur. Jadi
merbabu itu ibarat putri yang sedang tertidur. Awas, jangan dibangunkan. Nanti
si cantik marah, bisa very danggerous. Puncak merbabu bisa dicapai dari empat
jalur pendakian; yaitu wekas, selo, thekelan,
dan cunthel. Aku mendaki lewat jalur wekas.
Pendakian ini
telah direncanakan sejak dua minggu sebelumnya, saat kami mengadakan camping di
pantai nguyahan; camping panti jomblo. Awalnya banyak yang setuju dan ingin
ikut pendakian. Namun pada hari Ha-nya hanya Aku dan Arif yang berangkat. Kita
berangkat berdua. Berdua! Lanang kabeh ki
tapi.. Mereka itu banyak alasan; ada yang ke si kunir dieng, ada yang
karena pemuda-pemuda nusantara naik kapal(sepertinya naik gunung lebih keren),
ada yang mengundurkan diri karena hanya berangkat dua orang, alasan karena
erupsi merapi, ada yang tidak mendapat izin orang tua. Memang alasan terakhir
ini adalah kunci utama di setiap pendakian; restu orang tua. Jangan seperti
saya yang tidak pamitan dengan orang tua ketika berangkat mendaki. Jangan
ditiru! Apapun itu, yang terpenting adalah restu dari ibu, orang tua.
Sebenarnya aku tidak diperbolehkan oleh ibu, tapi aku nekat. Haha maafkan
bondan bu..
Oke, perjalanan
kita mulai dengan belanja! Haha belanja. Masuk supermarket. Melihat deret-deret
yang selalu tersusun rapi. Waktu terbungkus, kadaluarsa di bungkus roti; kata melbi. Menyeret keranjang; ambil yang
dibutuhkan, berkeliling sambil membawa daftar belanja. Memilih roti-roti dengan
teliti; dengan pertimbangan masa kadaluarsa, berat roti, isi roti, mencari
harga murah dengan tingkat kepuasan tinggi. Semua pilih yang murah untuk
menekan biaya seminim mungkin. Begitupun kami sudah kena 120 ribuan. “Ah, sial.
Saus Tartar! Kita harus membuat pesta di gunung nanti!”
Setelah semua
kebutuhan logistik terpenuhi, kami kembali ke kost-nya arief untuk
packing-packing barang. Packing memakan waktu hingga hampir dua jam. Kami
berdua juga memasak-membuat jelly untuk bekal selama pendakian. Setelah semua
barang masuk tas, kami tinggal ke masjid untuk sholat jumat. “Iya dumz, katanya wanita itu suka kalau
melihat para pria ketika berangkat jumatan ya? Biar tetap jadi pria idaman gitu
loh.” Setelah jumatan, lanjut kami mencari makan di padangan. Cari yang murah;
nasi ambil sendiri. Setelah perut kenyang, segera berangkat ke magelang, ke basecamp
pendakian. Desa wekas. Dari jogja kami berangkat jam dua siang. Kami berangkat menggunakan satu sepeda motor.
Dan, sepanjang perjalanan selalu dibayangi oleh mendung hitam yang menutupi
pandangan mata akan perpaduan indahnya merapi dan merbabu. Sesekali kilat
memecah kerumunan awan yang menggulung-gulung; awan hitam, menggumpal. Angin
yang basah berlari menabrak laju kendaraan kami. Pikiranku sudah kemana-mana, mocar-macir bagai semut yang baru keluar
dari lubang sarangnya, kesemutan. “Kami hanya berdua, aku berangkat tidak pamit
orang tua. Masih bisa pulangkah aku nanti? Aku janji akan peluk bapak ibu
sepulang dari sini.” Benar saja, sesaat setelah masuk ke jalur kopeng; jl raya
kopeng, hujan menghentikan perjalanan kami. Berdua berteduh di depan spbu.
Tidak ada tanda-tanda ada pendaki yang lewat. Mungkin karena erupsi merapi di
hari sebelunya, kamis siang; yang membuat pendakian sepi. Nunut ngiyub, kulo nunut ngiyub. udan lali ra gowo payung.-didi kempot. Sudah setengah empat, kami
ingin tiba di basecamp sebelum gelap. Menunggu hujan sekitar setengah jam, saat
itu masih gerimis, kami melanjutkan perjalanan. Mantel hujan kami kenakan, kami
tak ingin kebasahan di jalan. Dari sebuah pertigaan jalan, kami keluar dari jl
raya kopeng. Masuk ke desa-desa menuju basecamp pendakian. Dari pintu gerbang
jl raya akan melewati beberapa desa, terlihat beberapa kali melewati
gapura-gapura perbatasan desa sebelum sampai di basecamp. Kondisi jalan adalah
bekas aspalan dan cor block semen. Jalan berkabut, masuk hutan. Ah, senang
sekali rasanya bisa melihat hutan. “Mari mendaki gunung, melihat hutan.” Aku
berteriak bahagia beberapa kali di dalam perjalanan. Sampai di basecamp jam
lima sore. Senja menggigil dingin berkabut. Kasihan senja, jingganya k-o oleh
kabut dalam pertarungan di atas bukit yang sengit. Basecamp sangat sepi, hanya
kami berdua dan seorang pria keren (setiap pendaki itu keren) namanya mas yono.
He is a good man. Orang gunung selalu seperti itu. Kami banyak ngbrol berbagi
pengalaman. Mas yono menunggu teman-teman pendakian masal di basecamp. “Besok
ada pendakian masal”, katanya. “sekitar 200an orang” edyan.. untungnya kami naik hari itu, dan bukan besoknya. Jadi kami
masih dapat suasana tenang karena gunung masih sepi. Tak terasa obrolan kami
sudah sampai di jam tujuh malam, bersama teh melati dan kopi. “Mbah basecamp,
kopinya ini pake merk apa? rasanya kurang.” Kami putuskan untuk berangkat
mendaki menuju pos dua; kami akan mendirikan tenda di sana. Sambil membawa nasi
dari mbah basecamp, kami mulai berjalan. “Sampai bertemu lagi mas yono..”
Perjalanan
dimuali dengan berdoa. Dari basecamp jalur pendakian masih di pedesaan, sampai
pada batas makam ki..siapa ya, aku lupa. Besok lagi kalau ada kesempatan yang
lain akan ku lihat namanya, ki hajar siapa gitu pokonya. Dari situ pendakian
yang sebenarnya dimulai. Jalur memasuki hutan. Langit masih mendung, tak ada
bulan dan bintang. Lampu senter melaksanakan tugasnya; menunjukkan jalan,
menuntun sampai ke pos dua pendakian. Jalur dari basecamp sampai ke pos dua
mengikuti pipa air dari air terjun di atas untuk kebutuhan air bersih warga
desa. Sebentar-sebentar kami berhenti melangkah, mengatur napas, adaptasi tubuh
dengan perjalanan yang berat dan dingin. Kalau perjalanan di lawu dulu kak aw
bilang, “Setopp!!” Arief yang menenteng keril, aku membawa daypack.
Kerlap-kerlip lampu desa di bawah menyemangati langkah kami. Desa menjelma
bintang dalam gelap malam. Benar-benar gelap, semua lenyap. Kami jalan berdua.
seberapapun dingin di gunung, saat mendaki pasti tetap berkeringat. Medan
lumayan berat. Perut lapar menambah berat kaki untuk melangkah. Namun harus
tetap mantap langkah demi langkah. Selama satu jam berjalan, kami melewati Pos Satu.
Pos ini merupakan lapang yang cukup luas, cukup untuk mendirikan sekitar 20
tenda. Tanpa mampir di pos satu, kami malanjutkan perjalanan. Perut sudah
sangat lapar. Motivasi saat itu adalah “gerih”. Ya, sudah terbayang-bayang
masak gerih, makan dengan nasi dan sambal terasi. Betapa nikmatnya makan gerih
di gunung, baunya yang membuat orang ngiler, menahan, lalu menelan ludah. Haha.
Tapi pos dua masih jauh. Kami istirahat sejenak sambil membuka logistik; roti,
untuk mengganjal perut dan mengisi energi untuk melanjutkan perjalanan. Dalam
pendakian, managemen nutrisi harus dikuasai oleh seorang pendaki agar tubuh
selalu mempunyai tenaga selama pendakian. Setelah sekiranya tubuh siap, kami
melanjutkan perjalanan. Tampak sorot lampu senter dari atas punggung bukit
seberang, terpisah oleh jurang. “Itu dari jalur kopeng”, kata arief. Mereka
berteriak, kami membalas. “Hoe, opo su?” “Pos dua sudah tidak jauh dari sini,
vegetasi sudah mulai jarang”, kata arief menyemangatiku. Benar. Sebuah tanah
lapang di hadapan kami. Saat itu jam sepuluh malam. Terlihat tenda dua kelompok
pendaki sudah berdiri. Penerangan senter terlihat remang-remang di mata kami.
Kami berjalan mengelilingi lapang, survei tempat yang enak untuk mendirikan
tenda. Kami putuskan untuk mendekat dengan dua kelompok tersebut dengan
pertimbangan keamanan barang.
Kami membongkar
keril, mengelurakan tenda. Mendirikan dengan tangan-tangan yang kaku dan tubuh
mulai menggigil. “Akhirnya tenda-ku berdiri di gunung untuk pertama kalinya
haha.” Setelah tenda kokoh di pasak ke tanah, kami masuk, menata barang-barang;
mengeluarkan kompor, nesting, nasi, lauk-lauk lain, dan tak lupa gerihnya. Saat
itu kami masak gerih dengan margarine, bau yang ditimbulkan semakin menciutkan
hidung. “Biar bangun orang-orang yang telah tidur lelap di samping-samping
kami.” Satu-persatu gerih masuk ke penggorengan. Suara margarine yang mencair
kepanasan, dimasuki gerih, bau gerih. “Yuhu, aku ngiler untuk kedua kalinya
saat menulis cerita.” “Dan ketiga saat mengedit, membacanya.” “Begitu
seterrusnya.” Kami makan semangkuk berdua, dengan nasi yang dibawa dari
basecamp. Sangat lahap. Mangkuk nasi bersih tanpa harus dicuci. Perut kenyang. Moto ngantuk iku tombone opo? Turu. Lha nek
tombone wong kangen mas? Arief minta untuk diputarkan lagu-lagu dari payung
teduh. Tidurlah. Sepertinya dia sudah kena virus-ku haha.
Akhirnya malam tiba juga...ah preketek
Kami tidur
sangat lelap. Hp dialarm jam tiga pagi. Kami berniat summit-sunrise. Tapi malas
mengalahkan niat kami. Tidur lagi sampai terang hari tiba. “Memang langit masih
mendung, daripada jalan pagi-pagi gak dapat sunrise mendingan kita tidur lagi.”
Hastag #SantaiFirst.
Sabtu, 29 Maret. Gelap malam
telah digantikan dengan terang matahari, dengan penuh kasih sayang menyampaikan
sentuhan lembut kepada bumi melalui sinarnya yang membangunkan pagi. Pagi
membangunkan semesta. Suara sahut-sahutan ayam hutan telah membuka dunia dan
menyatakan bahwa hari memang benar-benar telah pagi. Matahari terlahir kembali.
Kabut pagi terlalu tebal untuk matahari, ia menggigil bersembunyi di dalam
dingin. Kabut berdiri di pucuk pepohonan. Menjadi embun, butiran air, menetes
ke daun, terpelanting ke ranting-ranting dan akhirnya jatuh menghantam tanah.
Cover tenda basah. Sebenarnya aku berharap malam itu akan turun hujan, biar
tahu seberapa tangguh tenda ini melindungiku dari derasan hujan.
Pagi yang
dingin. Orang-orang tenda sebelah telah ramai, mereka bangun lebih pagi dari
kami. Terdengar suara minyak yang mendidih diatas kompor. Mereka ribut membuat
sarapan pagi. Di antara bisikan mereka, terdengar lelagu pagi yang mereka putar
dengan sound portable. Aku tahu lagunya, Danur- sebuah lagu dari sarasvati.
Lagu yang menyatu dengan alam pagi hari. Kami sedang bersiap-siap. Mengisi
nutrisi dengan roti dan minuman susu untuk tenaga dalam perjalanan ke puncak.
Logistik berlimpah, kami tak khawatir akan kelaparan di gunung yang jarang
makanan.
Selanjutnya
mempersiapkan barang-barang yang perlu dibawa untuk summit. Kami hanya membawa
satu tas kecil ke puncak. Untuk persediaan air; tenang, pos dua adalah sumber
air. Saluran pipa yang bocor; sengaja dilubangi oleh pendaki untuk keperluan
air sangat melimpah sehingga tak perlu bingung untuk masalah yang satu ini. Jadi,
tidak perlu membawa banyak air dari bawah yang akan menambah beban isi tas dan
menghambat perjalanan. Tapi jangan pernah untuk membuat lubang baru di saluran
pipa. Nanti warga desa minum pakai apa, kalau air tidak mengalir sampai ke
desa. Atau aliran air menjadi kotor karena tanah bisa saja masuk melalui lubang
yang besar atau yang terlalu banyak.
Dari pos dua
kami berangkat menuju puncak sekitar jam setengah delapan. Dari pos dua jalur
masih berupa tanah berbatu dengan vegetasi yang masih lebat. Gunung merbabu
adalah gunung yang sangat subur. Vegetasi tumbuhan sangat beraneka ragam
jenisnya. Pohon-pohon edelwies juga banyak dijumpai. Namun sayang, kami mendaki
di waktu yang tidak tepat; edelweis belum berbunga di bulan yang basah. Hanya
terlihat kuncup-kuncup bunga yang basah diselimuti kabut. Dari pos dua terdapat percabangan jalur;
jalur ke puncak dan menuju air terjun. Jalur air terjun adalah jalur buntu,
artinya; jalur ini tidak bisa sampai puncak. Sebenarnya bisa, tapi harus
memutari bukit dan menyeberangi lembah yang cukup ektrem. Kami bertemu dengan
beberapa kelompok pendaki, bercerita; katanya mereka melewati jalur terjal itu.
Aku terkekeh mendegar cerita mereka. Kami menghela napas pada sebuah batu
besar, pemandangan cukup bagus walau kabut menghalangi pandangan. Minum air dan
makan roti untuk waktu yang santai. Inilah positif dari pendakian dua orang;
bisa santai dan tidak terlalu banyak beban pikiran. Untuk pendaki pemula
sebaiknya jangan melakuakan pendakian seperti kami ini. Harus bersama dengan
pemandu atau orang yang banyak pengalaman. “Wah,
wes koyok pendaki tenan wae we mas.” Kami sedang bersantai menikmati kabut
pagi. Hingga kami tak menyadari bahwa batu yang kami santuni adalah titik
percabangan kedua jalur tadi. Batu menyembunyikan jalur asli menuju puncak.
Yang tampak adalah jalur menuju air terjun, sangat jelas. Kami melanjutkan
perjalanan, mengambil jalur kiri karena tak tahu ada jalur puncak di belakang
batu. Kami terus berjalan, menyurusi pinggiran bukit. Pemandangan sangat bagus,
padang savana meliuk-liuk mengukuti punggungan gunung. Dalam perjalanan arief
bilang, “Aku kok gak pernah lihat jalur seperti ini ya?” Jreng-jreng...kami
mulai berpikir, benarkah jalur ini. Saat-saat seperti ini kita bisa menggunakan
logika jika buta dengan arah atau tidak menguasai ilmu navigasi. Pikirkan saja
dimana letak puncak, kemana arah kita berjalan, bagaimana medan yang kita
temuai; naik atau justru turun. Kita juga bisa mempelajarai tanda-tanda atau
jejak yang ditinggalkan oleh pendaki sebelumnya. Jika tidak ada, berarti jalur
kita salah. Bisa dikatakan bahwa mendaki gunung itu bisa melatih seseorang
untuk berpikir logis dan berani mengambil keputusan dengan pertimbangan yang
matang. “Haha selamat rif, kita telah tersesat.” Suara air terjun telah terdengar
dari atas bukit. “Berarti jalur ini salah, ayo balik.” Kami teringat
perbincangan dengan mas yono di basecamp. Dia bilang, “Jangan ambil jalur yang
kiri, buntu. Ambil yang kanan mas.”
Setelah kembali
menyusuri jalur, ternyata diketemukan percabangan jalur di belakang batu tempat
kami bersantai tadi. Haha ranjungan! Mungkin batu itu terkekeh-kekeh melihat
rupa kami. Selamat batu, kamu berhasil menyesatkan kami. Setelah kembali ke
jalan yang benar dari jalur kesesatan, akhirnya kami sampai di pos persimpangan
antara jalur wekas dan kopeng. Pos Watu Tulis. Dari pos ini menuju Pos Halipad
hanya dibutuhkan waktu lima belas menit. Kondisi jalur sudah terbuka, sudah
jarang vegetasi, padang savana.
Pemandangan dari
pos helipad ini sangat bagus. Terlihat padang savana yang indah dan gunung
kukusan di sebelah kiri jalur pendakian. Jika beruntung cuaca sedang cerah,
akan bisa dinikmati keindahan alam merbabu ini. namun sekali lagi kabut masih
kuat menutupi. Hanya sesaat saja ada panas, pandangan cerah, lalu dengan cepat
kabut kembali menguasai. Dapat dilihat sumber air di sebelah kanan, namun
jangan diminum karena itu adalah air belerang dari kawah. Bau belerang
menyengat hidung dalam perjalanan.
Perjalanan
berlanjut melewati sebuah tebing yang terjal dengan jurang disisi kiri dan kanannya.
Jalur ini bernama jembatan setan. “Awas, hati-hati menyeberang. Jangan
terganggu oleh bisikan setan, nanti bisa jatuh ke dalam jurang bumi yang sangat
panas. Ya, neraka jahanam. Lalu kau yang menjadi setannya, mebujuki setiap
pendaki yang menyebari jembatan.” Terus berjalan, kemudian kami sampai di
persimpangan puncak syarif dan kentheng songo.
Kenteng songo
ditandai dengan sebuah batu berlubang yang dikeramatkan oleh warga merbabu.
Katanya, jika kita bisa melihat; akan terdapat sembilan batu berlubang. Namun
hanya terlihat hanya empat batu dengan kasap mata biasa. Jika cuaca cerah, dari
merbabu akan akan terlihat merapi, si-ndoro ayu, sumbing, mas slamet, gunung
ungaran dan lawu disebelah timur. Haha kami hanya dapat kabut. Namun dengan itu
kami merasakan pengalaman spiritual yang sangat luar biasa. Hanya kami berdua
di puncak saat itu, sepi. Kabut. Terasa di dalam ruang hampa sebelum Adam turun
di hutan bersama kekasihnya. Kabut tebal menyelimuti puncak. Tak ada yang terlihat.
Hanya gambar putih yang menjadi dinding di puncak saat itu. Mereka tak
berbisik, bicara tanpa bersuara, seperti hadirmu yang selalu meninggalkan
rindu. Sangat dekat sekali, aku bisa merasakan hubungan antara diriku dan Tuhan,
yang juga nyawiji didalamku.
Manunggal kawulo ing Gusti. Begitu terasa damai, tentram. Kalau boleh, aku
ingin tetap disana dan tak ingin pulang. Sangat tenang. Seperti inilah titik
tertinggi yang dicapai manusia di dalam pendakian. Perjalanan spiritual hingga
bisa merasa manunggal. Selamat, aku bisa mencapainya.
Kami berdua
duduk di batu berlubang. Ingat pada Gie, Arief membuka handphonnya dan
membacakan puisi sambil makan coklat di puncak. Aku juga tak ingin kehilangan
kesempatan untuk membacakan puisi Gie. Sebuah Tanya. Sungguh moment yang sangat
luar biasa.
Satu jam di
puncak, dan kami belum ingin meninggalkan suasana tentram itu. Aku bernyanyi,
beberapa lagu. Sebagai wujud rasa bahagiaku waktu itu. Kabut yang sebelumnya
tenang, saat itu ia mulai mengusik ketentraman kentheng songo. Mungkin terusik
dengan suara nyanyiku. Kabut menunjukkan kuasanya. Menunjukkan wajahnya,
sentuhannya. Kabut menjelma menjadi hujan. Yang mengusir duduk santai kami.
Kami bergegas, terpaksa turun menghindari hujan. Kami berlari. Dalam lari itu,
aku teringat dengan sebuah puisi karya Sapardi.
Aku suka dengan puisi-puisi karnyanya.
Seperti Kabut.
aku akan menyayangimu seperti kabut
yang raib di cahaya matahari
aku akan menjelma awan
hati-hati mendaki bukit
agar bisa menghujanimu
pada suatu hari baik nanti.
Tubuh ini aku
paksa untuk masuk ke dalam sajak kecil itu. Yang telah disusun rapi oleh
penerbit buku. Puisi abadi di dalam buku. Hey, ini perbuatan percetakan buku. Mereka
suka menciptakan lembaran kertas; menyatukan halaman-demi-halaman, dimasukkannya berjuta cahaya, etalase jendela, hingga segelas soda. Aku mencoba masuk kedalam kabut, di sela-sela huruf, di antara barisan kata, di dalam larik-larik
kalimat yang menjadi sajak, atau sebuah
mantara. Menjadikanku kabut, menjelma awan dengan pelan mendaki bukit itu. Aku akan
menghujanimu, sekali saja dalam seumur hidupku. Itu cukup bagiku. Cakrawala adalah
tempat bagi penantianku. Penantian yang teguh. Di cakrawala; aku akan
mengira-ira jarak, melipatnya, hingga hari yang baik tiba. Hujan adalah jasadku,
mengalir ke dalam ranjangmu. Dalam sajak itu, aku mensimulasikan
kejadian-kejadian yang kira-kira akan kualami dalam penantian yang mungkin akan
menjadi satu penantian amat panjang. Satu yang panjang. Begitu panjang hingga
aku mampu menjejakkan kaki di puncak-puncak gunung yang tinggi. Itupun belum
cukup, mungkin. *
Kami masih
berlari. Hujan semakin deras. Langkah kaki mantul-terpantul seperti bola
pingpong yang tak pernah mendarat di meja dengan sempurna, pada batuan yang
licin. Yang sangat hati-hati, namun masih berlari. Sesekali kaki tergelincir
dari batu pijakan, masuk ke dalam aliran air yang deras. Berkecipak di
parit-parit dadakan. Jika hujan, jalanan setapak menjadi aliran air yang berkejaran
menuruni gunung. Tergelincir bagai waktu yang jatuh dari kalender di dinding
kamar. Dan dengan cepat akan jatuh ke lantai yang berdebu. Satu-persatu dan
terus begitu dan seterusnya. Hingga kalender berwajah baru. Waktu tercecer di
atas lantai yang berdebu. Saking tebalnya, debu mampu mengubur waktu. Saat angin, debu-debu di lantai akan terbang tanpa tujuan, menghantam rak buku. Begitu juga dengan waktu. Jika manusia
memungutinya, maka waktu dinamakan masa lalu. Disitu; manusia akan terjerembab di
dalam kenangan yang menyesatkan. Begitu cepatnya, waktu cepat berlalu.
Kaki masih
berlari, mata dengan jeli mencari pijakan batu. Kami saling balap dengan aliran
air yang menggulung turun. Aku melihat pohon-pohon edelweis yang basah,
tersiram hujan. Ternyata; daun edelweis terlihat indah saat hujan seperti itu.
Bentuknya yang lancip-lancip menantang langit, warnanya yang hijau membiru oleh
siraman air hujan; butiran air menetes dari setiap pucuknya. Terangguk-angguk
menerima air dari langit. Oh, edelweis. Begitu indahnya setiap
ranting-rantingmu. Tuhan telah berhasil menciptakan makhluk indah sepertimu,
yang hanya bisa ditemui di gunung. Pada ketinggian. Menantang keberanian. Tugas
manusia adalah mengapresiasi seluruh ciptaan Tuhan.
Hujan bertambah
deras, sebabnya tubuhku basah luar dalam. Puret kemaluanku. Nyingkruk di dalam
sangkar burung yang ngecombang, kebanjiran. Aku lupa membawa mantel hujan. Ada jaket,
namun kualitas waterprofnya sungguh mengecewakan. Dia malah senang menghisap air hujan. Arief aman-aman saja. Jaket yang dipakainya telah teruji. Butiran air
terpental-pental saat menghantam badannya. Kualitas yang setimpa dengan harga
setengah juta. Aku tak peduli dengan basahku. Biar kaki terus kencang berlari. Nanti
di tenda bisa cari baju ganti. Aku juga cemas, bagaimana kondisi tendaku saat
hujan deras seperti itu. Sudah hanyut kah? Atau telah menjadi kolam yang
ngecombang? “Semoga tendaku strong.” Selama satu jam berlari, kami telah sampai
di camping ground pos dua. Sekitar jam sebelas. Kedatangan kami disambut oleh
dua ekor kera yang sangat besar, mungkin pemimpin kelompok. Mereka berusaha
mencuri makanan dari tenda-tenda yang masih berdiri. Untungnya ada seseorang
yang tidak ikut dengan kelompoknya ke puncak. Dia pilih menjaga tenda, mungkin
terlalu sering bermain ke puncak. Usahanya mengusir kera mungkin dengan
meneriaki, “Kera jangan mencuri! Kera
jangan mencuri! Kera jangan mencuri!” Lalu kera menjawab, “Sial!” Mungkin jika tidak ada mas-mas berjaket merah itu, tendaku sudah hanjur oleh kera-kera itu. mereka pandai mencuri makanan, juga menghancurkan tenda dengan menyobekinya. Ada seorang
lagi, laki-laki, berteduh di bawah pohon. Tubuhnya basah. Merasa kasihan
padanya, arif mengajaknya masuk ke dalam tenda. “lah, rif??” Dia adalah orang
yang kami temui dalam perjalanan ke puncak pagi tadi. Dia menunggu
teman-temannya yang masih berjuang melawan hujan. Aku langsung mencari baju
ganti, peduli dengan kenari yang mengkerut menjadi pleci. Arief dengan sangat
baik hati membuatkannya minuman hangat; susu. Saat temannya tiba; tiga orang
yang lainnya, arief malah merebus mie untuk mereka. Ditambah suguhan jelly. Mereka
sangat lahap. Pendaki yang kelaparan. Buruk. Mungkin baru pemula. Lihatlah tulisan
di punggung bajunya, “Tuhan bersama orang-orang yang berjiwa ekstrem.” “Matamu wi! Ngono carane yo raenek seng
gelem munggah kaji, sembahyang, sholat ngaji, malah do penekan neng tebing,
turut gua, jajah alas. Lak yo malah repot engko agamane, duh mas.” Mungkin mereka
baru seneng-senengnya mendaki.
Ketika keempat
orang itu pergi, saatnya giliran kami untuk membuat makan siang. Masak-masak. Menu
makan siang adalah masih dengan gerih, sambal terasi, kering tempe dan mie. Sebenarnya kami ingin menu yang lain, tapi apadaya, kami tak punya koki. Kali
ini kami memasak nasi. Gunung telah mengajarkan seseorang untuk hidup mandiri. Kami
tak begitu selera dengan makan, mungkin sedang lelah. Atau kenyang dengan
roti-roti yang masih berlimpah. Kami tak mampu menghabiskan nasi yang telah
dimasak. Masih sisa, dan kami membawanya pulang. Dibuang di rumah saja. Walau tak
mampu mengurangi jumlah sampah di bumi, minimal kita jangan menambah-nambahi.
Perut merasa
kenyang, mata yang lelah tak tertahan untuk terpejam. Kami turuti, tidur sampai
sore hari. Terdengar hujan beberapa kali. Namun keseluruhan, kabut masih
mendominasi. Terasa lelah, tidur menjadi segalanya. Tenda tertutup rapat. Dingin
AC meniupi lubang ventilasi. Udara yang alami, sangat alami. Bukan seperti di
dalam ruangan perkantoran atau mobil-mobil yang pengap, udara di sana palsu. Aku membenci
manusia yang menciptakan alat seperti itu. Bukankah orang dulu telah menemukan
kipas yang lebih menentramkan? Lebih baik dan ramah lingkungan. Adapula yang
menjadikannya sebagai senjata sakti, seperti di dalam drama kera sakti. Akan tercipta
angin yang luar biasa dari kibasan kipasnya, mampu menghancurkan apa saja,
mengalahkan musuhnya. Apa gunanya pendingin ruangan? Selain suara dengungya
yang menciptakan suasana di pelabuhan kapal. Atau mainan kapal api di pasar
malam, yang selalu melaju, berputar mengelilingi ember digenangi air yang
lumer? Aku membenci itu, udara palsu hanya membuat hidung flu.
Tak terasa hari sudah mulai senja, matahari menuruni bukit, jam setengah empat sore. Kami bangun
dan segera bersiap untuk turun, dan pulang. Dalam suatu perjalanan, yang paling
aku suka adalah saat pulang. Kami merobohkan tenda, melipatnya, dimasukkan
dalam keril, juga semua peralatan lainnya. Kami turun dari pos dua jam setengah
lima. Kembali berlari, berharap tidak bertemu dengan hujan lagi. Dalam perjalanan
pulang, kami bertemu dengan mas yono beserta rombongan pendakian masal. Mas yono
minta tukeran nomer. “Kapan-kapan kita jalan bareng mas.” Sampai di basecamp
jam setengah enam. Hanya dalam satu jam untuk turun. Jika dijumlah dari puncak
hanya dengan waktu dua jam. Sangat tidak sebanding dengan perjalanan naik yang
membutuhkan waktu berjam-jam lamanya, juga dengan tenaga yang sangat besar. Basecamp
saat itu sangat ramai. Saat itu memang bertepatan dengan tanggal merah di akhir
pekan. Ternyata manusia sangat butuh liburan. Tak lama, kami langsung
meninggalkan basecamp dan pulang ke jogja. Ucapan terimakasih kepada merbabu
yang telah memberikan pengalaman baru. Terima kasih Tuhan, sungguh beruntung
aku bisa menikmati keindahan ciptaanmu.
Minggu, 30 Maret. Aku pulang ke Ngawi, dan memeluk bapak ibu.
Minggu, 30 Maret. Aku pulang ke Ngawi, dan memeluk bapak ibu.
andai saja aku awan
\
cokelat dan Gie yang lain, hehe *guyon cah,
aku setrong cah,
foto selfpie
mungil
salah satu batu di kentheng songo
loh, fotone mbak nadine nyasarr rene ki
(sumber: instagram)
April
2014.
Salam, Budi.
No comments:
Post a Comment