Friday 13 November 2015

Seperti Batu

(bukan sebuah cerita yang baik)

Hari kerja. Waktu menganga diambang pulang. Jam setengah tiga. Menjelang sore. Senja masih berdandan untuk sebuah pertunjukan yang megah, sore nanti, ketika matahari diletakkan sejengkal dari batas bumi, batas pandangan, sebuah pertunjukkan singkat yang selalu ditunggu-tunggu oleh para pecandu senja, ada juga yang mengaku-ngaku sebagai teman senja, sahabat senja, pacar senja, ah, siapa saja boleh memiliki senja, memiliki makna keindahan, makna sebuah perjalanan; perpisahan. Tentu saja senja tak selamanya jingga dan indah. Begitu juga dengan sebuah perpisahan yang tak selamnya indah untuk di kenang. Sebuah perpisahan yang indah tentu telah melewati suatu proses perjalanan yang panjang dan punya banyak cerita; bermakna. Sebuah cerita bisa diukir, sebuah makna bisa dicerna, semuanya ada dalam sebuah perjalanan. Setiap perjalanan tak mungkin terlewat dari sebuah makna, walau sangat sederhana. Makna akan selalu membangun hidup. Hidup adalah sebuah rangkainan makna yang panjang. Sebuah perjalanan. Jika dalam hidup, manusia tak bisa menemukan maknanya, maka hidupnya akan terasa hampa, rugi sekali. Kau pikir untuk apa hidup itu? Hidup adalah sebuah filsafat yang luas. Saking luasnya, anak kecilpun mampu menemukan filsafat tentang hidupnya. Setiap hari kita selalu bertemu hidup; di rumah bertemu hidup, di jalan bertemu hidup, di sekolah bertemu hidup, di pasar bertemu hidup, di meja makan bertemu hidup, di kamar mandi bertemu hidup, di atas pohon pisang bertemu hidup, di lubang-lubang tanah bertemu hidup, dalam dirimu kau bertemu hidup. Hidup adalah semua ruh, angin yang bertiup santai mengoyangkan daun-daun pohon jambu, cahaya pagi yang membuat bunga-bunga bermekaran, gelap yang selalu menciptakan bayang-bayang.

Thursday 12 November 2015

Hay Televisi, apa kau masih punya berita gembira?



Foto di dalam pigura melamun ketika jam dinding baru saja kehabisan baterai,
waktu seperti mengambang tanpa tik tok dan bunyi alarm.
Jam dinding belum mati, sesaat sebelum kehabisan baterai,
jam sempat berpesan kepada foto di dalam pigura, “Mas, Aku pergi dulu ya.
Mau jalan-jalan ke pasar, sekedar ingin melihat harga cabai dan bawang.”
Foto di dalam pigura hanya mengiyakan saja dalam hati,
lebih asyik dengan lamunanya.

Foto di dalam pigura menyimpan beban yang tak ingin diungkapkan
kepada siapa saja, termasuk jam dinding terdekatnya.
Beban di masa silam yang telah terkubur zaman. Foto adalah
sebuah peristiwa yang diabadikan di dalam sebuah gambar (mati).
Foto yang bagus adalah foto yang bisa menceritakan
suatu kejadiaan yang telah abadi di dalam sebuah gambar (hidup).

Jam dinding pergi ke pasar,
kini yang ada hanya tiga buah
jarum yang berceceran,
detik-detik yang tertata rapi,
dan waktu yang mati.
Di sore hari, menuju senja.

Televisi masih menyala,
menonton majikannya tidur di kursi.

Hari mulai surup ketika jam dinding pulang dari pasar,
rupa-rupanya jam dinding tak lupa membeli baterai.
Jarum sudah bisa berputar, waktu terlahir kembali,
dari luka yang terkulai di lantai. Berdebu.
Lamunan foto di dalam pigura terganggu oleh tik tok dan alarm.
Foto di dalam pigura mengisi pandanganya ketika pertama kali waktu mulai berdetak.
“Lho, sudah pulang dari pasar?”
“Sudah, harga cabai melambung tinggi, aku hanya membeli baterai.”
“Oh, berita itu baru saja muncul di televisi.”
“Apakah televisi itu sejak tadi belum mati?”
“Televisi tak pernah mati, ia senantiasa menyiarkan berita-berita duka.”

Televisi adalah sebuah tabung 14inchi,
seluruh semesta pepat di dalamnya.
Sebuah titik cahaya, ada di dalam genggaman tangan.
Televisi telah mematikan imajinasi.

Halal ! Mamah tahu sendiri.
Diulang tiga kali seperti dzikir para kyai.
Zzzzztttttzztt

Berita di televisi: kebakaran hutan, harga cabai, harga daging, pembunuhan, peradilan, raung, sinabung, olahraga, parpol, kecelakaan, perceraian,  gosip, selebriti, munir, jokowi, ahok, pilgub, kabinet, menteri, dpr, mpr, transportasi, macet, pasar, buruh, pemerkosaan, sawah, sungai, kering, hutan, laut, angin, pendidikaan, penganiayaan, tawuran, penindassan, reklamasi, banjir, kemarau, hidup, sedih, mati, mati, mati, mati, mati, sedih, hidup.

Hay Televisi, apa kau punya kabar gembira?
Tentang ikan paus atau pernikahan jambu dengan pisang atau yang lainnya?

Pagi yang dini, televisi masih menyala.
Majikan belum sadar dari tidurnya,
pulas ditiduri berita duka.
Televisi nyingkruk kedinginan,
muncul pelangi di layar kaca,
basi hingga dirubung semut hitam dan semut putih.
Jam dinding dan foto di dalam pigura tidur
di atas televisi yang terus menyala.
Ketika bangun, jam dinding melihat majikan
sudah dimandikan oleh banyak orang, mandi tangisan.
Bendera putih layu di emperan.

Magelang-Jogja, 2015

Tuesday 13 January 2015

HORE DESEMBER.

Desember, adalah bulan baik untuk para pecinta hujan. Menikmati secangkir teh di pagi hari, O indah sekali ketika hujan rintik menemani. Tanah basah hujan reda dan gerimis sisa, O itu sangat memabukkan ketika muncul bau wangi. Aku suka hujan.

"Apakah yang kautangkap dari swara hujan, dari daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela? Apakah yang kau tangkap dari bau tanah, dari rincik air yang turun di selokan?"
Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan hujan, membayangkan rahasia daun basah serta ketukan yang berulang.
"Tak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendiri yang di balik pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa pinggir hujan, memimpikan bisik yang membersit, dari titik air yang menggelincir dari daun dekat jendela itu. Atau memimpikan semacam suku kata yang akan mengantarmu tidur."
Barangkali sudah terlalu sering ia mendengarkanya, dan tak lagi mengenalnya.

-          - Sapardi Djoko Damono.

Pertemuan Tahun Baru

Senja berjalan-jalan untuk meramaikan malam tahun baru,
ia berjanji akan bertemu Desember di kuburan.

Desember tidak datang, senja hanya menemui
kembang-kembang kering di atas makam.

Desember pilih menyepi di kamar sambil
menikmati saat-saat terakhirnya.
wajahnya layu, sesekali terkelebat terkelebat angin

Senja masih setia menunggu pacarnya di kuburan,
siapa tahu tiba-tiba nongol dari gelap malam.

Tengah malam menemani penantian Senja.
Ia tertidur; dalam dengkur bermimpi dicium
desember di pergantian malam.
"Bangun, ada rombongan jenazah datang."
Tiba-tiba pagi menepuk pipinya,
mengacaukan mimpi.

Desember datang bersama pengiring jenazah.

31 Desember 2014