Thursday, 29 May 2014

Gede-Pangrango; Cerita Pertama

Di Kereta

Aku berangkat meninggalkan bosan di kelas yang penuh dengan kursi-kursi besi yang angkuh, kursi berdebu, tua, karatan, kursi dengan busa yang sudah tak utuh lagi, kadang juga tidak simetris, sudah tidak mampu berdiri dengan tegak, kursi yang menjadi duduk berhari-hari, dalam ruang kelas yang pengap, hampa, terlalu banyak ocehan, aku merasa terasing dengan keadaan itu. Di kelas itu (kuliah) membosankan. Aku rindu kursi kayu.

Selasa. Perjalanan ini dimulai ketika senja dibingkai kaca jendela. Kereta berangkat meninggalkan jogja pukul 05.40, saat senja senyum-senyum di etalase jendela. Pemberangkatan telat tiga puluh menit dari jadwal, jam karet! Segenap doa dituju pada Tuhan, manusia menggantungkan segala hidup kepadaNya. Kereta melaju dengan cepat, memburu gelap, berlari ke tempat senja yang dengan santainya masih senyum-senyum ketika mulai ditelan malam. Lampu kota mulai menyala, beramai-ramai merayakan tugasnya. Lanskap menjadi buram, kereta berpacu menyusuri rel yang tertata rapi, terbaring berjajar diatas bantal-bantal beton, beralaskan batu-batu yang sejatinya adalah bongkahan debu.


Kami berangkat berempat dari jogja, stasiun lempuyangan; aku, arif, siti, dan ryan (unnes, semarang). Pemberhentian akhir adalah stasiun pasar senen, jakarta. Kami duduk saling berhadapan, diatas jok yang tipis, panas di bokong; kereta ekonomi. Keril-keril besar diletakkan di lorong, sebagian di loker atas. Kereta sudah lepas dari jogja. Kami membuka nasi rames yang dibeli di lempuyangan sore itu. Kami lapar, makan dengan lahapnya, di dalam kereta. Semburat jingga sudah lenyap dari cakrawala. Senja mengucap salam sayonara. Awalnya; kupikir perjalanan di dalam kereta akan sangat menyenangkan, sudah lama aku tidak naik kereta. Mungkin terakhir kali naik kereta saat masih duduk di bangku sekolah dasar, dulu aku sering naik kereta ke jakarta. Beberapa tahun telah berlalu, aku kembali merasakan kereta. Namun kini telah berganti masa, aku bukan lagi kanak-kanak, kini sudah menginjak dewasa, aku sudah siap dengan itu, dan di kereta menjadi waktu yang sangat membosankan, membosankan. Aku membenci waktu itu. “Untuk PT.KAI, aku usulkan untuk menyediakan buku bacaan di gerbong kereta, biar kami tidak mati kebosanan. Begitu akan lebih menyenangkan sepertinya, dan jasa kereta akan banyak diminati, aku yakin itu.”

Kami mengisi obrolan malam dengan tema perkuliahan sehari-hari, yang semakin lama sekain terasa memuakkan. Kami bicarakan dosen-dosen yang menurut kami kurang bermutu, tentang teman-teman kelas yang sangat unique, sangat beragam. Kami hanya menertawakan semua itu, menjadi guyonan untuk mengisi gerbong kereta. Kami bahas tentang dosen-dosen yang selalu terlambat masuk jam kuliah, dosen yang tidak pernah mengisi perkuliahan, dosen yang tidak punya mutu mengajar, sampai ke dosen yang punya wajah yang aneh, kami suka rasan-rasan. Fakultasku masih banyak yang harus dibenahi. Ini menjadikan kampus kurang bermutu, coba tanyakan pada diri sendiri; dapat apa saja selama kuliah ini? jawabnya alpa. Kami tidak dapat apa-apa. Lebih baik naik gunung, melihat hutan.

Hari sudah sangat gelap, benar-benar gelap. Sementara bulan belum siap menggantikan matahari yang lelah berlari seharian. Bulan terlambat datang, terlambat terang, tak sanggup menjadi terik pada malam. Pemandangan di luar jendela hanya ada gelap, sesekali lampu kota terlihat kerlap-kerlip di kejauhan, begitupun hanya sesaat, lampu kota cepat melesat bersembunyi dari laju kereta. Suasana dalam gerbong kereta sangat gaduh, humyek, banyak ocehan; kereta ekonomi. Lampu dalam gerbong terlalu terang, cahaya palsu. Menyala di depan pendingin yang tidak begitu berfungsi melawan panas dalam ruangan gerbong kereta. Pendingin palsu, udara palsu. Orang-orang terlalu ramai menyalahkan kondisi gerbong yang mengecewakan. Nada-nada kekecewaan mereka lontarkan dalam gerbong kereta. Sebagian orang memilih tidur di lorong; dengan alas koran, ada yang pakai kardus, ada lagi yang membawa tikar. Orang terakhir inilah yang paling cerdas diantara mereka. Membunuh bosan, aku lebih suka jalan-jalan menyusuri gerbong kereta, sampai ke ujung, pada gerbong dinas. Di sana ruangan sangat dingin, AC berkerja sebagaimana mestinya, mendinginkan ruangan yang pengap. Mampu disulap menjadi satu ruang yang nyaman, untuk para petugas kereta. Berbeda dengan di gerbong penumpang. Para petugas kereta curang, mereka mengkhianati penumpang, aku melihat mereka enak tiduran di gerbong istiwema. Saat itu aku bersama siti, kami coba duduk di gerbong ini, mencari tidur yang telah diburu oleh malam. Kami menemukan tempat enak, kami rebahkan badan di sana. Namun beberapa saat kemudian kami mendapat usiran, “Maaf mas, dari gerbong mana? Di sini tempat untuk istirahat para petugas kereta.” Lalu kami tinggalkan gerbong mewah itu. Aku sempat berhenti sejenak di sambungan kereta, melihat-lihat keadaan, lalu lanjut mundur ke gerbong yang menjadi duduk kami malam itu.

Aku duduk di pinggir, tidak di bawah jendela. Di sana aku kembali kebosanan. Hampir mati, sekarat karena bosan. Aku cari-cari penghibur diri, menyelamatkan imajinasi agar tidak mati-padam. Aku bayangkan buku-buku di rak dalam kamar. Yang kutinggalkan dalam keadaan rapi, berjajar penuh ilmu, penuh dengan pengetahuan, juga inspirasi baru. Terakhir aku membaca buku yang ditulis oleh rekan-rekan terdekat Hok-gie. “Soe Hok-Gie.. sekali lagi” Aku belum sempat menyelesaikannya, hanya baru membaca bagian 1, bagian 2, bagian 3, bagian 5, dan sedikit menginjak di bagian 4. Aku sengaja membaca dulu bagian 5 karena di sana memuat beberapa tulisan Hok-gie yang pernah diterbitkan di surat kabar pada masanya. Aku mulai mengenal sosok Hok-gie melalui beberapa tulisan tersebut. Dia adalah seorang yang berani. Orang yang selalu berkata “Tidak” pada kesewenang-wenangan, dengan tegas, dan kritis, melalui tulisannya yang ia tujukan pada pemerintahan. Gie, teman yang belum pernah ku temui, walau dia telah tiada namun semangat perjuangannya masih kita kenal sampai saat ini.

Aku putuskan untuk kembali ke sambungan gerbong kereta. Aku tidak begitu mempedulikan teman-teman. Sudah terlanjur mati kebosanan, aku lebih senang mencari waktu untuk sendiri. Di sambungan kereta; di depan kamar kecil yang berbau kencing. Kamar mandi palsu. Mumupung perut sedikit bergejolak, aku coba masuk ke dalamnya. Biasanya aku memang suka dengan kamar mandi, nyanyi-nyanyi saat mandi, berlama-lama di kamar mandi, sungguh tempat yang menyenangkan. Kondisi kamar kecil di kereta sangat sederhana. Hanya terdapat satu saluran air, gayung kecil, dan lubang closed yang langsung mengarah ke bawah kereta, di atas rel yang terbaring lesu, diatas batu-batu. Aku coba duduk-duduk disana. Ternyata menyenangkan juga. Bokong bergoyang-goyang mengikuti alur laju kereta, melewati sambungan rel, ketika menyeberangi jembatan; akan terdengar suara yang heboh, seperti suara badai hujan yang menghantam kaca jendela. “Aduhai nikmatnya, bergoyang-goyang sambil membuang rasa mulas, betapa leganya seisi perut.” Sisa-sisa metabolisme pencernaan keluar dari gerbong kereta, melalui lubang bercahaya, jatuh menghantam baja, tercecer di rel kereta, tertinggal jauh oleh laju kereta yang tiada ampun menghajar roda lokomotifnya. Lihatlah keesokan harinya, ketika terang telah tiba, maka akan terlihat nyata. “ Nyengir? Aku tertawa haha”. Aku bersihkan semuanya dengan air dari saluran kecil, air berbau aneh, mengalir hanya itir-itir, air palsu.

Aku keluar dari kamar kecil, kulihat di sambungan sedang sepi, kuputuskan untuk menghabiskan sisa perjalanan di sana. Di sambungan kereta. Aku duduk dengan posisi kedua kaki merapat, menekuk, dengkul mendekat pada dagu, kepala masuk ke dalam sela-sela kaki, tangan menutupi telungkup di atas kepala. Aku coba mencari tidur di sana. Tidur yang kucari-cari akhirnya kudapatkan juga, aku menemukannya di sambungan gerbong kereta, ia duduk bersandar dan terlihat lelah. Namun tidur dengan posisi duduk di sana juga tidak enak, ditambah lagi banyak orang yang berlalu-lalang di sambungan kereta, orang yang keluar-masuk kamar kecil kereta, tidurpun tak enak di sana. Sesekali aku terbangun; ketika kereta berhenti di stasiun, atau saat kereta berhenti untuk menunggu sinyal karena simpang dengan kereta lainnya. Kereta harus berhenti lama sampai kereta dari arah yang berlawanan melewati persimpangan jalur; kereta ekonomi. Aku merasa sangat tidak nyaman di sana. Lalu aku kembali ke gerbong kereta, gerbong semula yang menjadi hak milikku selama perjalanan. Aku lihat ada seat kosong di belakangnya, aku tidur di sana.

Tak terasa selasa telah digantikan rabu yang dini. Masih terlalu pagi. Rabu. Kereta dijadwalkan tiba di stasiun senen jam 01.45. Namun pada saat itu kereta baru keluar dari kota cirebon. Jadwal molor; kereta ekonomi. Orang-orang gerbong kereta mulai ramai ketika kereta sampai di stasiun jatinegara. Memang pasar senen sudah dekat dari jatinegara. Orang-orang mulai bergegas, menyelamatkan barang bawaan mereka, bersiap-siap menyambut pasar senen, jakarta. Umunya memang banyak penumpang yang turun di senen. Termasuk juga kami. Aku sendiri masih menata mata yang masih lengket dengan kantuk, karena lelah. Tiba-tiba handphone bernyanyi; lagu dari white shoes and the couples company, zambrud katulistiwa. Tampak nomer tanpa nama, aku tahu itu panggilan dari Puguh (babon), teman lama, kini dia di jakarta, juga akan bergabung dalam tim pendakian. Kuangkat telepon darinya; dia bilang sudah menunggu di senen dari jam satu bersama tiga orang temannya, kami disuruh menyiapkan uang tiga puluh ribu untuk mengganti bensin. Sampai di jakarta, pasar senen sudah jam setengah tiga. Kami dijemput dengan mobil, jadi total ada delapan orang di dalam mobil yang mengantar kami sampai di terminal kampung rambutan, termasuk keril-keril besar. Dalam mobil terasa sangat sesak. Kaki-kaki tak bergerak. Sampai di kampung rambutan masih sekitar jam empat pagi. Kami berpisah dengan tim penjemput. Selanjutnya tim pendaki (5 orang) akan melanjutkan perjalanan ke cipanas (gunung putri) dengan menggunakan bus. Dari kampung rambutan sampai cipanas kena biaya @Rp.20.000,- Sampai di cipanas sudah pagi, sekitar jam tujuh. Matahari memulai tugasnya. Mengusir kabut pagi yang menyelimuti daerah puncak dan sekitarnya. Kami turun di pasar cipanas, selanjutnya akan di sambung dengan angkot untuk sampai ke gunung putri. Kami kena biaya @Rp.10.000,- Bodohnya kami tidak menawar harga jasa angkot yang mengantar ke gunung putri. Dari pasar cipanas kami melewati kampung pasir, rumah-rumah penduduk desa dan perkebunan yang subur, juga gadis-gadis desa yang tampak gelis-gelis. Untuk ke gunung putri tidak semua angkot jalan sampai ke atas, namun jika ada pendaki yang menggunakan jasanya, sopir angkot bersedia mengantarkan sampai ke pertigaan menuju gerbang. Matahari sudah semakin tinggi, kami putuskan untuk mencari sarapan memenuhi kebutuhan perut yang sudah semalam tidak terisi makanan berat. Juga untuk pemenuhan energi dalam perjalanan pendakian yang berat. Setelah perut bahagia kami lanjutkan berjalan menuju ke gerbang gunung putri. Dari tempat pemberhentian angkot sampai ke gunung putri gate berjalan selama sepuluh menit, melewati rumah penduduk dan ladang perkebunan.

Sekitar setengah sembilan, sampai di gerbang pendakian, kantor cabang gunung putri, kami senang melihat bangunan kayu yang berdiri di sisi kiri jalan, bahagialah hati kami semua.



Kamar kost, mei 2014.

No comments:

Post a Comment