Sebuah cerpen dari puisi Di Restoran, karya: Sapardi
MALAM menyisakan dingin. Sejak sore tadi hari didatangi hujan lebat. Meski kini hujan telah pulang ke rumah, namun dingin yang dibawa ia tinggal sebagai oleh-oleh dari mendung hitam. Jalan-jalan kota telah sepi ditambah genangan-genangan air yang membuat orang lebih senang bermalas-malasan di dalam ranjang. Bergoyang-goyang mencari kehangatan malam. Dengan tubuh mengigil Gatot mengendarai motornya, melaju zig-zag menghindari genangan air yang sesekali ia tembus dan kubangan terbelah ke arah kiri-kanan sisi jalan. Dini, kekasihnya ada di jok belakang. Tangannya melilit pinggang Gatot dengan sangat erat. Lebih erat dari sabuk pengaman atau ikat pinggang celana yang dikenakan Gatot. Sepasang kekasih mengigil kedinginan. Mereka berdua mencari-cari restoran yang berjajar sekitaran di pinggir jalan Godean. Ada banyak restoran yang masih buka namun tak satupun yang menarik selera mereka berdua. Dingin-dingin seperti ini masih bersemangat keluar malam untuk makan berdua apalagi dengan kekasihnya tercinta. Pikir Gatot.
Mereka berdua sudah sangat lama menjalin hubungan asmara. Berdua adalah pasangan sejak pertama masuk di SMA dan kini mereka telah menjadi mahasiswa semester lima di kampus masing-masing. Namun akhir-akhir ini hubungan mereka sedang dalam masalah. Memang wajar dalam sebuah hubungan dijumpai masalah, dan ini bukan untuk pertama kalinya. Mereka lebih sering menjumpai masalah namun segera lerai karena perasaan saling cinta.
Motor telah lama berjalan namun belum menemukan restoran makan yang cocok dengan selera mereka. Lalu kedua mata Gatot menyorot pada sebuah papan nama "Restoran Berdua".
"Din, kamu juga melihat papan nama itu?"
"Iya, aku juga melihat. Yuk coba mampir, sepertinya menyenangkan. Siapa tahu ada menu-menu baru yang belum pernah kita coba sebelumnya."
Mereka telah sepakat untuk berputar arah karena motor telah melewati restoran tersebut sekitar lima puluh meter. Setelah melalui dialog yang singkat akhrinya kedua pasangan itu memilih Restoran Berdua. Motor telah turun dari aspal dan parkir nyaman di halaman restoran. Setelah melepas helm dan sedikit merapikan rambut yang acak-acakan dalam helm dan terderai angin, meleka mulai masuk ke dalam restoran. Para pelayan restoran menyambut mereka dengan sagat ramah. Disiapkannya meja khusus untuk sepasang kekasih yang mengadu cinta ini. Restoran tidak begitu ramai, di dalam tercipta suasana yang romantis untuk sepasangan kekasih. Atap terbuat dari bambu bulat utuh yang diplitur dan dihiasi dengan lampu-lampu kecil yang berwarna-warna. Tepat diatas meja terdapat sebuah lampion berwarna merah kuning yang ditutupi dengan anyaman rotan. Tepat ditengah di ruang utama terdapat air mancur yang dikelilingi tanaman hias dan terdapat ikan-ikan yang berenang di dalam kolam. Di dalam hati mereka. Tambah lagi alunan musik jazz yang bersumber dari teras depan restoran menambah suasana makan menjadi syahdu berdua.
Seorang pelayan tampan mendatangi meja mereka. Pelayan di restoran ini adalah betara-betari yang tampan dan cantik-cantik. Tak ada yang cacat sedikitpun dari wajah para pelayan restoran itu. Seorang pelayan memberikan daftar menu ke meja Gatot dan Dini.
"Silahkan mas." Suara pelayan dengan sikap yang sopan.
"Oh, iya terima kasih." Ucap Gatot
"Kamu pesan apa Din?" Lanjutnya.
"Coba saya lihat daftar menunya." Jawab Dini sambil mengambil daftar menu dari tangan Gatot.
Dini masih bingung memilih menu yang cocok dengan seleranya. Di saat Dini sedang memilah-milih menu, datanglah sepasang kekasih lain masuk ke dalam restoran. Wanita cantik dengan tubuh yang segar dan seorang pria berkacamata dengan sedikit kumis di atas lekuk bibirnya. Keduanya lalu duduk di samping meja Gatot dan Dini. Terlihat seperti pasangan kasih yang aneh; tak ada gambar senyumpun di wajah keduanya. Mereka saling diam. Kedua pasang mata tak ada yang saling berpandangan. Dengan pelayanan yang cepat seorang menyodorkan daftar menu ke atas meja. Wanita itu mengambilnya.
"Kita berdua saja, duduk di satu meja. Kau mau memesan apa?" Tanya wanita.
"Aku memesan ilalang panjang dan bunga rumput liar dari savanah, kau entah memesan apa?" Lanjut wanita.
Restoran ini memang ajaib. Bisa memesan apa saja yang diinginkan, bahkan hal-hal yang absurd sekalipun, restoran mampu menyediakan. Ikan paus yang telah mengelilingi samudra? Bunga mawar yang runcing durinya? Awan-awan mungil di cakrawala? Matahari senja? Bahkan sup dari sayap malaikatpun sanggup disajikan dengan segera. Ajaib.
Laki-laki itu terlihat gugup dengan tawaran wanita. Mulutnya susah untuk mengucapkan kata, padahal kata apa saja mampu dihidangkan oleh restoran ini. Tapi laki-laki seperti kehilangan semua kosa kata.
"Aku memesan batu di tengah sungai terjal yang deras. Batu-batu berumur tua yang masih mampu bertahan dari hantaman aliran sungai yang hebat. Kamu memesan apa? Tapi kita berdua saja. duduk dalam satu meja."
Laki-laki belum mengucap kata, jangankan mengucap, berpikirpun tampaknya tidak bisa. Tubuh laki-laki itu terlihat linglung di depan wanita. Tangan, kaki juga tidak bergerak. hanya kedua bola mata yang lari kesana, lari kesini, ke atas, ke bawah, berputar-putar di dalm kaca mata ingin menjawab pertanyaan dari wanita.
"Kau entah memesan apa? Kita berdua saja, duduk."
"Aku memesan rasa sakit yang tak putus dan nyaring lengkingnya, memesan rasa lapar yang asing itu."
Laki-laki tetap bisu, tampak tambah gugup. Tak sampai tahu lelaki menjawab apa, Gatot dan Dini telah selesai makan dan meninggalkan restoran.
04-03-2014
No comments:
Post a Comment