Sunday 4 May 2014

Laku ing Gunung Lawu

Gunung, hutan. Ngawi adalah kota kecil yang terletak di sebelah utara gunung lawu. Walau kabupaten ngawi termasuk daerah yang luas, namun aku menyebutnya kota yang kecil karena peradaban manusia di ngawi masih jauh bila dibanding dengan kota-kota seperti madiun, solo dan jogja. Pendidikan, sosial, budaya ngawi masih kalah jauh dengan mereka. Tapi jangan salah, untuk kimcil-kimcil ngawi, aku bilang perkembangannya sangat pesat. Orang ngawi (yang berpendidikan) tak bisa bangga dengan itu. Setiap sore di malam minggu, jalanan di ngawi akan sangat ramai dengan cabe-cabean dengan pakaian yang kupikir para pembaca sudah tahu sendiri bagaimana modelnya. Malamnya akan diganti dengan purel-purel karaokean. Aku prihatin, mau jadi apa kotaku ini.

Sebagian wilayah kabupaten ngawi berada di lereng gunung lawu; di kecamatan kendal, jogorogo, ngrambe dan sine. Dulu waktu masih kecil aku punya keinginan naik gunung dan melihat apa yang ada dibalik bukit-bukit yang tinggi itu. Sempat berpikir bahwa dunia ini dibatasi oleh gunung lawu di sebelah selatan. Namun ilmu pengetahuan tentang alam di sekolah dasar membantahnya. Ternyata dunia itu luas. Tentu membuat semakin penasaran apa yang ada dibalik gunung besar dan hijau itu. Waktu kecil, Bapak sering mengajak piknik ke gunung-gunung dan hutan. Masih dengan kendaraan L2-Super waktu itu. Menyusuri jalanan yang tak pernah berujung mesti telah membelah gunung. Dari situ aku mulai mengenal tentang alam. Mencintai alam, itu alamiah; seperti orang haus dan butuh minum. Maka jatuh cinta itu sah, yang dilarang agama adalah berzina. Jadi sah saja jika aku mencintaimu, sayang padamu. Orang tua tak sepaham dengan ini. 


Tuhan Maha Pencipta. Dengan "kun fayakun" telah tercipta alam yang indah. Diciptakan sebelum manusia turun ke bumi. Mungkin jika Adam tidak melanggar larangan Tuhan; mencuri sebuah apel dari kebun dan memakannya, manusia akan hidup di surga untuk selamanya. Hingga Adam beranak pinak, banyak-banyak, menjadi sekawanan adam dan sekawanan hawa, dan peranakan merka terus berkembang biak hingga terlahirlah generasi kita. Mungkin hidup kita akan enak, semua tinggal minta dan telah tersedia. Begitu kata guru-guru agama menjelaskan tentang surga. Seandainya iya, kamu mau minta apa? Kalau aku ingin minta kamu selalu ada di sisihku, itu saja cukup. Tenanan lho iki yu. Ayo piye? haha. Namun Adam terlena oleh bisikan setan yang tak pernah setuju jika Tuhan menyuruh mereka untuk menyembah manusia. Manusia diciptakan dari tanah, setan dari api. Mereka tak terima dengan itu. "Sebuah apel jatuh dari lubang di celananya. Apel itu, apelmu Adam."* Adam telah mewariskan sifat manusia yang sangat lekat dengan dirinya. Hawa nafsu. Adam diturunkan ke dunia, ke hutan-hutan yang telah mengabung dalam dongengan. Kasihan anak cucu kita ketika hutan menjadi dongeng belaka tanpa pernah mereka melihatnya, tengadah ke langit yang kosong. Sepi.

Saat ini, manusia sedang berlomba membunuh nafsu yang menguasai jiwa, raga, dan sukma. Manusia berlomba meninggikan derajatnya. Semua ingin kembali diangkat ke surga. Tapi, apakah manusia tahu caranya?
***
Hutan telah ada sebelum manusia lahir di bumi. Mestinya; ada atau tak ada manusia, hutan itu tetap tumbuh dan lestari. Tak pernah ada yang tahu kapan dan siapa yang menanamnya, yang kita tahu adalah yang menebangnya. Aku bayangkan betapa hijaunya warna bumi jika tak satupun pohon mati atau dibunuh. Ya, sebenarnya ini juga termasuk pembunuhan. Tuhan punya hukuman. Pohon juga hidup, dan mereka butuh hidup; makan, minum, bernapas layaknya manusia. Yang kita tahu, peradaban manusia ada karena manusia mampu menundukkan alam. Itu yang salah. Mestinya manusia dan alam hidup bersama, berdampingan, karena mereka saling membutuhkan. Tapi manusia sangat sombong dan arogan. Ingat, sebelum ada sekolah manusia berguru pada alam. Ada falsafah minang, "Alam terkembang jadi guru." Ada pula pepatah mengatakan, "Bagai ilmu padi, makin tua makin merunduk." "Setiap tempat adalah sekolah, dan alam adalah kitab Tuhan yang harus dipelajari keindahannya." Masih banyak lagi tentunya, ilmu-ilmu alam yang tak kenal sekolahan. Malah sering kali ilmu alam dianggap nol oleh sekolah. Yang terjadi saat ini adalah manusia menggunakan ilmu alam untuk menundukkan alam. Guru dan Ibunya sendiri yang memberikan pendidikan, kebutuhan, dan kehidupan. Mungkin itulah karakter bangsa kita, yang dengan bangga kita sebut dengan nama Indonesia. Tapi aku lebih senang menyebutnya Nusantara. Sepertinya negara ini tak pernah maju. Dari era Suharto sampai SBY rasa-rasanya negara ini tak ada perkembangan.
***
Di gunung, hutan tumbuh dengan sendirinya. Menghasilkan oksigen dan akarnya menyimpan air. Ketika musim kemarau mestinya manusia tak bakal kekurangan air. Air itu seni, mengalir ke sungai hingga kita temui di cangkir kopi kita. Sadarlah, itu air dari gunung yang banyak hutannya. Perusahaan air mineral telah mengekploitasinya. Dikemas dalam gelas plastik, botol-botol berbagai ukuran, dan dalam galon. Air gunung yang mestinya bisa langsung diminum, telah ditambahi dengan bahan-bahan penjernih yang justru membuat orang masuk rumah sakit. Manusia itu aneh.
***
Jumat lalu, 18 april. Aku mendaki gunung lawu. Pendakian yang ke-lima untuk gunung ini. "Summit lawu mean at home". Sayang, kau tidak ikut denganku ros. Maaf, memang kali ini aku tidak mengajakmu. Pendakian ini sedikit berbeda. Niatku mendaki adalah ingin mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Aku mendapat restu dari bapak dan ibu. "Ati-ati ya nak, doakan bapak ibu supaya cepat sembuh dan bisa bekerja." Kata-kata ibu menggugah hatiku. Aku berangkat dengan penuh semangat.

Menurut cerita, dulu di gunung lawu merupakan kerajaan yang pertama di tanah jawa. Gunung memang selalu mempunyai cerita mistis dibalik keindahan alam dan hutan yang lestari. Termasuk juga gunung lawu di sini. Lawu dianggap gunung yang angker oleh masyarakat lereng dan juga masih banyak misteri yang selama ini belum terungkap kebenarannya. Atau tak akan pernah terungkap dengan kemampuan manusia, karena ini adalah misteri gaib yang tidak bisa dibuktikan dengan fakta. Jika mendaki ke gunung lawu, tentu akan banyak menjumpai burung jalak warna hitam sedikit kecoklatan, warna gading. Jalak Lawu, penunjuk jalan bagi para pendaki yang akan ke puncak gunung lawu. Burung mistis penunggu sekaligus pemandu jalan bagi pendaki yang tersesat. Menurut cerita, jalak lawu adalah jelmaan salah satu abdi setia Prabu Brawijaya V yang ditugaskan untuk menjaga gunung lawu. Sunan lawu. Ada yang menyebutnya sebagai raja iblis dan siluman. Pantangan bagi para pendaki adalah mengganggu jalak lawu, Sunan lawu menemui pendaki untuk menjaga dan mengantarkannya sampai ke puncak lawu. Ini sebagai tugasnya menjaga dan melindungi orang yang akan mendaki ke puncak lawu. Dalam perjalanan jika menjumpai kupu-kupu berarna hitam dan terdapat warna biru di sayap bagian dalamnya, itu pertanda bahwa kita telah mendapatkan ijin untuk mendaki gunung lawu. Dalam perjalanan, aku ditemui oleh kupu-kupu itu. Di antara pos 1 dan pos 2, sekitar mendekati watu jago.

Dalam okezone.com Maret 2014, gunung lawu merupakan salah satu poros di pulau Jawa. Banyak masyarakat yang mempercayai bahwa gunung lawu menjadi tempat persinggahan Brawijaya V yang merupakan raja Majapahit yang terakhir yang menghilang bersama raganya alias muksa.

Sebab itu, gunung lawu dijadikan tempat spiritual yang dipercaya masih berhubungan erat dengan keraton Solo dan Yogyakarta. Pada malam 1 suro, banyak orang akan berziarah ke gunung lawu untuk mengadakan upacara labuhan di bulan suro.

Gunung lawu mempunyai tiga puncak; Hargo Dalem, Hargo Dumiling, dan Hargo Dumilah. Ketiganya menjadi tempat sakral di tanag Jawa. Hargo Dalem dianggap sebagai tempat pamoksan Prabu Brawijaya V. Hargo Dumiling sebagai tempat pamoksan Ki Sabdopalon, abdi setia Brawijaya V. Puncak tertinggi Hargo Dumilah menjadi tempat meditasi bagi penganut kejawen.

Sabtu dini hari, 19 april sekitar pukul 00.05 aku bangun dari tidur. Keluar tenda dan berniat untuk melakukan meditasi di hargo dalem. Awalnya masih ragu, namun karena niat untuk kedua orang tua maka ku lakukan dengan kepercayaan yang kuat. Saat keluar dari tenda aku melihat sekelibat orang wujudnya hitam, berlari masuk ke dalam bangunan untuk spiritual di hargo dalem. Pikirku itu adalah orang biasa. Namun setelah saya pikir lagi, mana mungkin ada orang duduk santai di tengah malam, lalu berlari begitu saja tanpa menimbulkan suara. Ah, aku buang pikiran negative pada saat itu.

Aku mulai berjalan ke sebuah bangunan yang di dalamnya terdapat sebuah petilasan. Tempat inilah yang sering digunakan orang untuk bermeditasi atau melakukan laku spriritual. Kulangkahkan kaki dengan penuh keyakinan; pelan-pelan menaiki tangga, melepas sandal, lalu duduk bersila di atas karpet hijau yang terasa sedikit hangat. Lumayan. Aku mulai meditasi. Di awal, tubuhku serasa bergoyang-goyang ketika aku mengucap salam kepada Sunan Lawu, lalu merinding setelahnya. Meditasi yang sangat khusuk saat itu, terasa begitu nyaman, damai, dan ringan.

Ini adalah pengalaman pertamaku melakukan aktivitas spiritual di gunung. Dan aku ingin kembali mengulanginya. Mulai saat itu, sepertinya ibu sudah mengizinkan aku untuk mendaki gunung manapun. Agenda selanjutnya adalah Gede-Pangrango. Suryakencana-Mandalawangi.

"Mari mendaki gunung, melihat hutan."

*apel adam. lagu dari Melancholic Bitch di album Balada Joni dan Susi






pura-pura ilalang dan bunga rumput

pura-pura pohon


pohon; butuh bahu? peluk aku. #FreeHugs

bersembunyi dari serangan musuh



Entah, akhir-akhir ini aku suka dengan hutan.

minggu, 4 mei 2014. kamar kost.

No comments:

Post a Comment