Friday, 13 November 2015

Seperti Batu

(bukan sebuah cerita yang baik)

Hari kerja. Waktu menganga diambang pulang. Jam setengah tiga. Menjelang sore. Senja masih berdandan untuk sebuah pertunjukan yang megah, sore nanti, ketika matahari diletakkan sejengkal dari batas bumi, batas pandangan, sebuah pertunjukkan singkat yang selalu ditunggu-tunggu oleh para pecandu senja, ada juga yang mengaku-ngaku sebagai teman senja, sahabat senja, pacar senja, ah, siapa saja boleh memiliki senja, memiliki makna keindahan, makna sebuah perjalanan; perpisahan. Tentu saja senja tak selamanya jingga dan indah. Begitu juga dengan sebuah perpisahan yang tak selamnya indah untuk di kenang. Sebuah perpisahan yang indah tentu telah melewati suatu proses perjalanan yang panjang dan punya banyak cerita; bermakna. Sebuah cerita bisa diukir, sebuah makna bisa dicerna, semuanya ada dalam sebuah perjalanan. Setiap perjalanan tak mungkin terlewat dari sebuah makna, walau sangat sederhana. Makna akan selalu membangun hidup. Hidup adalah sebuah rangkainan makna yang panjang. Sebuah perjalanan. Jika dalam hidup, manusia tak bisa menemukan maknanya, maka hidupnya akan terasa hampa, rugi sekali. Kau pikir untuk apa hidup itu? Hidup adalah sebuah filsafat yang luas. Saking luasnya, anak kecilpun mampu menemukan filsafat tentang hidupnya. Setiap hari kita selalu bertemu hidup; di rumah bertemu hidup, di jalan bertemu hidup, di sekolah bertemu hidup, di pasar bertemu hidup, di meja makan bertemu hidup, di kamar mandi bertemu hidup, di atas pohon pisang bertemu hidup, di lubang-lubang tanah bertemu hidup, dalam dirimu kau bertemu hidup. Hidup adalah semua ruh, angin yang bertiup santai mengoyangkan daun-daun pohon jambu, cahaya pagi yang membuat bunga-bunga bermekaran, gelap yang selalu menciptakan bayang-bayang.

Thursday, 12 November 2015

Hay Televisi, apa kau masih punya berita gembira?



Foto di dalam pigura melamun ketika jam dinding baru saja kehabisan baterai,
waktu seperti mengambang tanpa tik tok dan bunyi alarm.
Jam dinding belum mati, sesaat sebelum kehabisan baterai,
jam sempat berpesan kepada foto di dalam pigura, “Mas, Aku pergi dulu ya.
Mau jalan-jalan ke pasar, sekedar ingin melihat harga cabai dan bawang.”
Foto di dalam pigura hanya mengiyakan saja dalam hati,
lebih asyik dengan lamunanya.

Foto di dalam pigura menyimpan beban yang tak ingin diungkapkan
kepada siapa saja, termasuk jam dinding terdekatnya.
Beban di masa silam yang telah terkubur zaman. Foto adalah
sebuah peristiwa yang diabadikan di dalam sebuah gambar (mati).
Foto yang bagus adalah foto yang bisa menceritakan
suatu kejadiaan yang telah abadi di dalam sebuah gambar (hidup).

Jam dinding pergi ke pasar,
kini yang ada hanya tiga buah
jarum yang berceceran,
detik-detik yang tertata rapi,
dan waktu yang mati.
Di sore hari, menuju senja.

Televisi masih menyala,
menonton majikannya tidur di kursi.

Hari mulai surup ketika jam dinding pulang dari pasar,
rupa-rupanya jam dinding tak lupa membeli baterai.
Jarum sudah bisa berputar, waktu terlahir kembali,
dari luka yang terkulai di lantai. Berdebu.
Lamunan foto di dalam pigura terganggu oleh tik tok dan alarm.
Foto di dalam pigura mengisi pandanganya ketika pertama kali waktu mulai berdetak.
“Lho, sudah pulang dari pasar?”
“Sudah, harga cabai melambung tinggi, aku hanya membeli baterai.”
“Oh, berita itu baru saja muncul di televisi.”
“Apakah televisi itu sejak tadi belum mati?”
“Televisi tak pernah mati, ia senantiasa menyiarkan berita-berita duka.”

Televisi adalah sebuah tabung 14inchi,
seluruh semesta pepat di dalamnya.
Sebuah titik cahaya, ada di dalam genggaman tangan.
Televisi telah mematikan imajinasi.

Halal ! Mamah tahu sendiri.
Diulang tiga kali seperti dzikir para kyai.
Zzzzztttttzztt

Berita di televisi: kebakaran hutan, harga cabai, harga daging, pembunuhan, peradilan, raung, sinabung, olahraga, parpol, kecelakaan, perceraian,  gosip, selebriti, munir, jokowi, ahok, pilgub, kabinet, menteri, dpr, mpr, transportasi, macet, pasar, buruh, pemerkosaan, sawah, sungai, kering, hutan, laut, angin, pendidikaan, penganiayaan, tawuran, penindassan, reklamasi, banjir, kemarau, hidup, sedih, mati, mati, mati, mati, mati, sedih, hidup.

Hay Televisi, apa kau punya kabar gembira?
Tentang ikan paus atau pernikahan jambu dengan pisang atau yang lainnya?

Pagi yang dini, televisi masih menyala.
Majikan belum sadar dari tidurnya,
pulas ditiduri berita duka.
Televisi nyingkruk kedinginan,
muncul pelangi di layar kaca,
basi hingga dirubung semut hitam dan semut putih.
Jam dinding dan foto di dalam pigura tidur
di atas televisi yang terus menyala.
Ketika bangun, jam dinding melihat majikan
sudah dimandikan oleh banyak orang, mandi tangisan.
Bendera putih layu di emperan.

Magelang-Jogja, 2015

Tuesday, 13 January 2015

HORE DESEMBER.

Desember, adalah bulan baik untuk para pecinta hujan. Menikmati secangkir teh di pagi hari, O indah sekali ketika hujan rintik menemani. Tanah basah hujan reda dan gerimis sisa, O itu sangat memabukkan ketika muncul bau wangi. Aku suka hujan.

"Apakah yang kautangkap dari swara hujan, dari daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela? Apakah yang kau tangkap dari bau tanah, dari rincik air yang turun di selokan?"
Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan hujan, membayangkan rahasia daun basah serta ketukan yang berulang.
"Tak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendiri yang di balik pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa pinggir hujan, memimpikan bisik yang membersit, dari titik air yang menggelincir dari daun dekat jendela itu. Atau memimpikan semacam suku kata yang akan mengantarmu tidur."
Barangkali sudah terlalu sering ia mendengarkanya, dan tak lagi mengenalnya.

-          - Sapardi Djoko Damono.

Pertemuan Tahun Baru

Senja berjalan-jalan untuk meramaikan malam tahun baru,
ia berjanji akan bertemu Desember di kuburan.

Desember tidak datang, senja hanya menemui
kembang-kembang kering di atas makam.

Desember pilih menyepi di kamar sambil
menikmati saat-saat terakhirnya.
wajahnya layu, sesekali terkelebat terkelebat angin

Senja masih setia menunggu pacarnya di kuburan,
siapa tahu tiba-tiba nongol dari gelap malam.

Tengah malam menemani penantian Senja.
Ia tertidur; dalam dengkur bermimpi dicium
desember di pergantian malam.
"Bangun, ada rombongan jenazah datang."
Tiba-tiba pagi menepuk pipinya,
mengacaukan mimpi.

Desember datang bersama pengiring jenazah.

31 Desember 2014

Friday, 5 December 2014

Journal Liburan “Summer Time”



Juni 2014

“Tapi yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu. Kita abadi. (Sapardi, 1978)

Masa perkuliahan semester empat berakhir di bulan juni. Setelah menjalani aktivitas kuliah yang membosankan dan melewati ujian akhir praktik-teori yang melelahkan, akhirnya malam tiba juga, malam yang kunantikan sejak awal, malam yang menjawab akhir kita, inikah akhir yang kita ciptakan...sek sek, salah fokus haha. Akhirnya liburan tiba. School out, holiday in! Liburan musim panas kali saya awali dengan pendakian ke gunung merbabu, ini adalah kali kedua saya ke merbabu “Langkah Kecil Nyotho Ing Merbabu.” Ya, setiap perjalanan yang saya lakukan akan saya namai Langkah Kecil, nama baru yang saya temukan dalam perjalanan. Saya memang suka dengan perjalanan. Tuhan beri kita jalan dan waktu, maka berjalanlah jauh, bawa langkahmu tersesat ke dalam tanda tanya (?)

“tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni....”

14-15 Juni 2014, Langkah Kecil Merbabu ini dijalani oleh tiga orang peserta; Saya, Wahyu, dan Singgih. Langkah Kecil mendaki melalui jalur Selo yang pada saat itu ketiga peserta belum ada pengalaman di jalur itu. Dengan niat dan hati yang bersih, Langkah Kecil berhasil mencapai puncak trianggulasi dengan trek pendakian yang lumayan berat. Untuk sampai menuju puncak dari jalur selo akan menyebrangi beberapa bukit dan melewati jalur punggungan sapi, trek kelas berat untuk pendaki pemula seperti kami ini.

Perjalanan dimulai sekitar pukul setengah sembilan malam waktu bagian boyolali dan sekitarnya. Sampai di camp area sabana II sudah sekitar pukul setengah satu dini hari. Pagi yang dini, matahari masih nyingkruk di pelukan bumi. Kami harus mendirikan tenda dalam keadaan tubuh menggigil dan melawan angin yang kencang waktu itu. Urung niat kami untuk menaklukkan puncak sebelum matahari membangunkan pagi.

“Dingin pak, bapak mau mati membiru di puncak?”
“Iya, dingin. Mending melanjutkan tidur yang berharga ini.”
Treking ke puncak dilakukan setelah matahari mulai meninggi, mlangkring di pinggiran bukit menghangatkan pagi. Dari sabana II sudah terlihat puncak yang terpisah jarak. Ah, berapapun jarak jika dijalani dengan hati yang ikhlas dan semangat hanya akan terasa selangkah.
Pendakian sukses, dan Langkah Kecil Merbabu berakhir dengan bahagia. Nyotho Ing Merbabu.











































merbabu edisi ramadhan.



























Juli 2014
Tidak ada perjalanan keluar di bulan Juli karena bertepatan dengan bulan Ramadhan sehingga waktu tidak mengijinkan. Di bulan Juli mungkin hanya ada beberapa acara kecil; ngangkring (setiap hari), buka bersama, kumpul handai taulan, dan halal bihalal.

19 Juli. Buber bigfamz CORO; Saya, Rosi, Kak AW, Momo, Tyas, Nias, Iwed, dan ketambahan Wening. Buber di rumah makan Suminar, spesial gurami bakar. Dalam Kebersamaan yang mewah

25 Juli, Buber coro. Teman kelas SMA. Orang-orang yang selalu saya rindukan walau waktu masih sering mempertemukan tangan-tangan kita. Buka bersama tahun ini digelar di rumah makan. Untuk pertamakalinya setelah dua tahun sebelumnya selalu di rumah Momo. Buber dihadiri hanya 19 pesrta dari 32 jumlah keluarga kelas. Umur semakin tua, waktu semakin langka, kebersamaan dalam cangkir kopi semakin purba. Ya, memang susah untuk mengumpulkan seluruh anggota keluarga kelas dengan segala kesibukan dan kepentingan hidup yang berbeda-beda. Pada akhirnya, hiduplah yang akan memisahkan kita. Namun seiring berjalannya waktu, akan menyisakan beberapa kepala yang itu akan selalu saya rangkul dalam ikatan sahabat. Saya sangat berterima kasih kepada sahabat, hadirnya menemani perjalanan saya.
Setelah acara buber selesai, rombongan pindah ke angkringan depan diknas Ngawi. Angkringan tetap sedjak masa remadja, SMA.
Thanks for Momo, Rosi, dan Kak Aw















































































27 Juli. Buber SD. Buber digelar di rumah Iis. K. Yang ini malah lebih parah, hanya 8 orang yang hadir. Teman seangkatan SD sudah memiliki kehidupan yang lebih kompleks; ada yang kerja di luar jawa, ada yang sudah menikah, punya anak, dan ada pula yang sudah jadi janda haha. Ndocill..rondho cilik.


















Agustus 2014


2 Agustus. Halal Bihalal MAYAPADA

4-6 Agustus. Agenda liburan BigFamz Coro musim panas ini ke Pantai Goa Cina, Malang. Pantai ini dinamakan GoCin karena dahulu ada seorang pertapa cina yang melakukan aktivitas pertapaan di sebuah gua pantai tersebut. Kemudian dia muksa bersama raganya di gua tersebut.  Peserta Langkah Kecil GoCin; Saya, Kak AW, Rosi, Tyas, Zaki, Babon, dan Bayu. Berangkat dari Ngawi menggunakan sepeda motor dengan perjalanan jauh dan sangat melelahkan. Total waktu dari Ngawi kira-kira 7-8 jam jalan. Saat itu tiba di GoCin sudah malam. Rencana awal kami hanya camp semalam saja, namun karena kami merasa tersakiti oleh perjalanan yang jauh, akhirnya kami putuskan untuk menambah satu malam lagi. Jadi dua malam di pantai, yess!

Malam pertama hanya terisi oleh klemah-klemah di pasir dan tenda karena terlalu lelah dalam perjalanan. Tidak ada api unggun, Saya dan Babon mencari kayu untuk menambah kehangatan suasana malam. Api menyala, percakapan kayu dengan api dimulai, sebelum hangus menjadi abu. Bintang-bintang bagai pasir terbang ke langit, berkerlap-kerlip-berjatuhan. Suara ombak menyatakan bahwa kami memang benar-benar di pantai selatan. Tak ada yang tahu seberapa karang yang terkikis oleh ombak pada malam itu. Semua larut dalam lelah, hanya Saya dan Babon yang tertinggal di depan api. Semua telah lelap.

Malam terasa sangat panjang. Satu-persatu mereka bergabung dengan kami di api unggun. Semua kembali menyala. Kami membuat permainan “jawab jujur”. Sembari mengisi curhatan malam. Dan, saya mendapat mata pisau dari babon. Dia ingin aku bercerita tentang kejelasan hubungan saya dengan rosi. Ya, semua itu ada prosesnya. Dan saya tidak mau memaksa. Semakin lama permainan itu terasa membosankan, dan mata mulai layu.

Saya memilih untuk tidur di atas pasir seperti biasa, nyaman. Perkelahian malam dengan bulan telah melahirkan pagi yang dini. Angin berhembus kencang, dini hari kedinginan. Tak ada dialog yang sederhana kecuali nyingkruk mencari kehangatan. Akhirnya saya memutuskan untuk tidur di dalam masjid. Di sana saya mendapatkan tidur dan mimpi mistis pantai selatan.

Pagi berkicau; matahari membangunkan seisi alam semesta. Siang membuntutinya di belakang. Pantai semakin ramai. Banyak tante-tante, ciwai-ciwai seksi. Ini pantai! Sehari itu saya mandi di pantai tiga kali, pagi siang, sore. Lengkap. Teman-teman membeli ikan di TPI untuk dimasak dan bakar malam. Kami makan enak hari itu. Sore cumi, malam ikan bakar. Malam kedua berlalu begitu saja. Pagi berkemas segera meninggalkan pantai dan kembali ke Malang. Sampai di malang istirahat sejenak lalu melanjutkan perjalanan ke Ngawi. Begitupun sampai di Ngawi sudah jam 1 pagi. “Aku Lelah”.




























































14-19 Agustus. Asu. Babon mengajak ke Arjuna-Welirang. Gass! “Langkah Kecil Arjuna” dengan peserta; Saya, Babon, dan dua teman Babon dari Jakarta, Kribo dan Gudel. Langkah Kecil kali ini adalah yang paling menyesakkan. Ya, kami gagal melihat puncak gunung. Perih memang, namun Saya mendapatkan pelajaran yang luar biasa dari perjalanan ini. Gunung adalah tempat sakral, jangan sekali-kali mendaki dengan hati yang kotor. Sebetulnya perjalanan ini bukanlah sebuah kegagalan, karena tidak ada kegagalan dalam mendaki gunung. Semua pendakian adalah sebuah keberhasilan jika kita bisa menggambil himah dari perjalanan yang kita lakukan. Langkah Kecil jee..





















Setelah turun dari gunung, Kribo mengajak kami untuk mencari hiburan ke pantai. “Yaelah bo, pantai lagi.” Yasudah, saya menuruti. Kasian mereka datang jauh dari jakarta tidak dapat apa-apa.


Next destination adalah Pulau Sempu. Wilayah “Cagar Alam” yang masih masuk daerah Sendang Biru, Malang. Kami dua malam di Sempu, camp di Segara Anakan. Sempu, segara anakan; pantai tanpa ombak itu membosankan. Namun yang menyenangkan dari segara anakan adalah tebing karangnya yang bisa digunakan untuk terjun langsung ke air dengan kedalaman sampai 3 meter. Kawasan sempu masih dihuni oleh berbagai macam hewan-hewan liar; kera, lutung, siamang, burung, kijang, kancil, badak, dan harimau, dan lain-lainnya. Vegetasi hutan juga masih terjaga. Namun seiring dengan semakin banyaknya wisatawan yang masuk ke kawasan cagar alam ini, saya tidak jamin kelestarian hutan tidak akan bertahan lama. #SaveSempu #SempuCagarAlam #SempuBukanWisata. “Lha awakmu kok dolan rono mas?”























September 2014.

2-3 September. Langkah Kecil Lawu. Niat pendakian ini adalah untuk menutup masa liburan yang akan segerai usai. Napas panjang telah berlalu dengan segala susah senang di dalamnnya. Setiap perjalanan akan selalu memberikan makna. Maka berjalanlah jauh dari rumah.

Anggota Langkah Kecil Lawu adalah teman-teman kampung halaman; deni, gading, imam, titis, saya. Sedikit cerita dari pendakian ini, sampai di Hargo Dalem kami mendapati pintu warung Mbok Yem terkunci. Yah, mbok yemnya turun. Lawu kwok kwok, sepi. Untungnya kami membawa peralatan lengkap, saya tidak pernah menganggap remeh gunung, lawu sekalipun yang ada warung nasi di puncak.

Lawu malam itu sangat dingin, angin lumayan kencang. Kami mendirikan tenda di rumah seng-sengan di Hargo Dalem. Niat saya untuk meditasi di hargo dalem urung karena dingin. Malam terasa begitu panjang, matahari terlambat datang. Kami menikmati malam dengan gigil. Yey, saya selalu suka ketika mengigil di puncak. saya suka sensasi ketika malam tak habis-habisnya dan pagi tak kunjung tiba, dalam malam terjaga menunggu pagi. Tidak bisa tidur. Namun ada yang indah pagi itu, walau mata melewatkan lahirnya matahari. Pandangan cerah, gunung-gunung timur semua tampak; kelud, arjuna, welirang, mahameru. Gunung-gunng barat; merapi, merbabu, sumbing, sindoro, slamet. Kami dapat untung sepagi itu.

Dalam perjalanan turun, saya dapat sms dari heri, “bud alat mendakimu mau saya pinjam, ke merbabu.” “oke, saya ikut.” Gasss!!


6-7 September. Langkah Kecil Merbabu Part II. Saya, heri, siti, arif, lantip, mas joko. Melalui jalur yang sama, Selo, Boyolali. Belum bosan dengan punggungan sapi dan bukit-bukit brutall. Ketika itu minggu terakhir masa liburan semester. Senin mulai masuk kuliah. Yah. Tidak ada cerita yang menarik. Kali ini saya memilih tidur di puncak daripada foto-foto dengan awan. Sudah mulai bosan. Ingin lebih merasakan kedamainan puncak, resapan angin, belaian dingin, tenang, damai, and i want to feel like i am free, to be me. Yak, menjadi diriku sendiri adalah hal besar yang ingin selalu saya lakukan.

Kuliah mulai jalan. Namun “summer time” tidak berhenti disini. :D Saya masih ingin habiskan matahari sampai ia purba di penghujan.

Next; 20-21 September. Langkah Kecil Camp di Sepanjang. Saya, siti, wawan, sarkum, arif, imam, dan dua teman arif. Agenda ini hanya untuk mengisi kekosongan waktu karena saya tidak pulang ke Ngawi gegara ada test pro-tefl untuk yang ketiga kalinya. Saya sudah bawa peralatan; panci, kompor, flysheet dan sebagainya ketika test. Rodokenthir. Tapi hasil test saya lulus :D akhirnya.
Kami hanya santai-santai di pantai; api-api, tidur di pasir, main air. Tak ada cerita yang spesial di perjalanan kali ini.


Oktober 2014
11-12 Oktober. Langkah Kecil Sumbing.  Sudah, ini yang terakhir. Menutup “Summer Time” dalam tulisan ini. walau selanjutnya masih ada agenda Lawu. Saya, heri, siti, dan topan. Pendakian dilakukan lewat jalur Garung, Wonosobo. Kami jalan dengan persiapan yang matang. Jadi, tenang..saya telah siap dalam pendakian, semua telah dipersiapkan dan dipertimbangkan secara matang.

Start dimulai pukul sebelas pagi. Dari basecamp stick pala, kami lewat jalur lama. Keluar dari desa melewatu perkebunan warga. Jalur ini yang memutuskan asa, tak terkecuali untuk topan yang baru pertama kali melakukan aktivitas pendakian. Jalur berupa jalan batu yang biasa dilewati oleh pengantar pupuk kebun dan ojek-ojek gunung.motornya sangar pak, mereka kebut-kebutan di gunung. Mirip balapan MTB kelas dunia.
Dari basecamp, kami sampai di pos 1 Malim pukul setengah satu siang. Pos 1 berupa tanah lapang dengan vegetasi yang rimbun, sejuk.  Mulai dari pos 1 naik trek sudah mulai tanah yang berdebu di musim kemarau seperti ini. Namun trek sudah sedikit enak dibanding sebelumnya, landai dan hanya sedikit nanjak sebelum sampai di pos 2 Genus, pukul dua siang. Kami mengisi tenaga dengan nata de coco dan roti, bekal untuk melanjutkan perjalanan. Setelah genus akan mendaki bukit dengan pasir berdebu. Lumayan berat, namun hanya satu jam dari Genus. Pos 3 Seduplak Roto pukul empat lewat duapuluh menit. Sore. Sedikit naik dari pos 3 akan langsung bertemu dengan tanah lapang, sebelum pestan. Saya putuskan untuk mendirikan camp di sini, karena pertimbangan di atas, pestan akan sangat rawan terhadap badai. Di watu kotak hanya ada sedikit tanah lapang, daripada tidak dapat tempat mendingan kami membuat tenda di bawah pestan.

Tenda berdiri, Senja muncul di batas cakrawala. Saya tak ingin kehilangan moment ketemu senja. Senja dan pacar senja kembali bersama. Cium cium senja. Kali ini saya tak linglung oleh senyuman senja, malah ia habis di ujung bibir pacar senja.

Senja, kan ku tebas semua jarak di cakrawala. Agar aku bisa mencintaimu selamanya.
Malam datang, kami menyiapkan makan malam. Walau hanya mie instan, namun makan wakyu itu terasa berbeda. Mungkin karna senja yang menyiapkannya. Malam berlalu begitu saja; api-api dan tidur yang nyenyak ditimang-timang senja. Pacar senja tidur memimpikan senja. Senja berkelana menemui pacar senja. Uopotopak, duh-,-

Pagi menyambut matahari yang mulai meninggi, kami segera meninggalkan tidur dan bersiap summit puncak. Mengingat puncak masih tiga jam dari pestan. Dari camp start pukul enam pagi. Mendaki trek yang lumayan tajam, sampai di pasar watu pukul tujuh pagi. Banyak batu, 360 batu. Tertawalah kawan... dari pasar watu ke watu kotak satu jam jalan. Kami sampai puncak sekitar pukul setengah sepuluh pagi. Kami kurang beruntung, dapat kabut. Sindoro malu di kabut-kabut yang sepi. Kami tak bisa menikmati waktu, diburu waktu karena kami sewa alat. Harus kembali tepat waktu

Turun ke camp, masak, packing, lalu PULANGGGGG...




Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari (Sapardi, 1971)
waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan.

-Oktober 2014

Tuesday, 7 October 2014

Cerita Gede-Pangrango (Kedua) - Puncak Gede

Budi meletakkan tas keril di teras sebuah warung makan, kemudian diikuti oleh Babon dan teman-teman lainnya. Perut mereka sudah merasa sangat lapar. Belum diisi sejak sore. Hari baru telah lahir kembali. Dan saat itu masih pagi. Kabut dingin membuat perut semakin merasakan lapar. Suasana desa sangat sepi. Beberapa warga bergotong royong membenahi jalan yang berlubang di sana-sini, menurunkan material tanah dari mobil pick-up warna hitam. Jalan menuju Gunung Putri Gate sudah nampak di depan; makadam, menanjak, jalan kecil yang membelah perumahan, tampak sepi dengan kabut yang menyelimuti bukit di belakang. Mereka simpan dulu pandangan. Perut sudah tak bisa dibujuk, mereka memutuskan untuk makan pagi di warung, satu-satunya warung makan di pagi itu. “Kita makan dulu di sini sambil rehat sejenak mengenakkan badan setelah perjalanan panjang di kereta semalam.” Ajak Budi kepada teman-teman dengan nada bahagia karena telah sampai di desa terakhir sebelum memulai pendakian. Mereka cukup lelah dalam kereta semalam, mata tak mendapat tidur, hanya sebentar terhibur di dalam bus dari Kampung Rambutan menuju Cipanas. Namun, rasa senang mengalahkan mata lelah. Kantuk tak mampu menguasai mata mereka, walau terasa perih dan merah kering. Suasana makan sangat dingin, nasi yang baru keluar dari magic com tidak begitu terasa panas. Mereka makan dengan cepat saja, walau porsi makan masih kurang untuk ukuran perut para pejalan malam ini. Di  daerah itu, makan  termasuk barang yang mahal, harus pikir-pikir dahulu ketika memilih tempat makan, itu pun kalau ada pilihan, kalau tidak, terpaksa bayar dengan harga mahal. Memperjuangkan hidup di kota itu memang susah. Semua yang berbicara adalah uang. Setelah makan, mereka santai-santai di warung sambil membagi obrolan dengan pagi.

Thursday, 19 June 2014

Lalu Pulang

Jarum jam berlomba dengan waktu;
saling membunuh, sepi tak pernah terbunuh,
malam mengeluh; hatinya peluh bercucuran, rindu
tak mampu berbicara tentang rasa, karena jauh.

Dan. Lalu..

Kaki terseret langkah, pulang bersama rindu;
jarak merengkuh, mendekap tempat berlabuh,
perjalanan di tempuh; menikmati lara, pudar biru
menyusuri jalan pulang, rumah tempat berteduh.

Dan. Lalu..

Waktu terus melaju, deru menderu biduk jalanku;
sepi mengaduh, rindu mulai dengan gaduh,
tak mampu meringkas jauh; betapa laraku,
hati menyimpan rindu, pulang bersama keluh.

Dan. Lalu..
Dan. Lalu..

Jangan lagi pulang,
jangan lagi datang,
rindu; pergi jauh.

*Pulang - Float.
Jogja, 4 juni 2014