(bukan sebuah cerita yang baik)
Hari kerja. Waktu menganga diambang pulang. Jam
setengah tiga. Menjelang sore. Senja masih berdandan untuk sebuah pertunjukan
yang megah, sore nanti, ketika matahari diletakkan sejengkal dari batas bumi,
batas pandangan, sebuah pertunjukkan singkat yang selalu ditunggu-tunggu oleh
para pecandu senja, ada juga yang mengaku-ngaku sebagai teman senja, sahabat
senja, pacar senja, ah, siapa saja boleh memiliki senja, memiliki makna
keindahan, makna sebuah perjalanan; perpisahan. Tentu saja senja tak selamanya jingga
dan indah. Begitu juga dengan sebuah perpisahan yang tak selamnya indah untuk
di kenang. Sebuah perpisahan yang indah tentu telah melewati suatu proses
perjalanan yang panjang dan punya banyak cerita; bermakna. Sebuah cerita bisa
diukir, sebuah makna bisa dicerna, semuanya ada dalam sebuah perjalanan. Setiap
perjalanan tak mungkin terlewat dari sebuah makna, walau sangat sederhana.
Makna akan selalu membangun hidup. Hidup adalah sebuah rangkainan makna yang
panjang. Sebuah perjalanan. Jika dalam hidup, manusia tak bisa menemukan
maknanya, maka hidupnya akan terasa hampa, rugi sekali. Kau pikir untuk apa
hidup itu? Hidup adalah sebuah filsafat yang luas. Saking luasnya, anak
kecilpun mampu menemukan filsafat tentang hidupnya. Setiap hari kita selalu bertemu
hidup; di rumah bertemu hidup, di jalan bertemu hidup, di sekolah bertemu
hidup, di pasar bertemu hidup, di meja makan bertemu hidup, di kamar mandi
bertemu hidup, di atas pohon pisang bertemu hidup, di lubang-lubang tanah
bertemu hidup, dalam dirimu kau bertemu hidup. Hidup adalah semua ruh, angin
yang bertiup santai mengoyangkan daun-daun pohon jambu, cahaya pagi yang
membuat bunga-bunga bermekaran, gelap yang selalu menciptakan bayang-bayang.
Di perpustakaan sekolah; buku-buku mengantuk di
bawah kipas angin yang tampak lelah seharian kerja, berputar. Bunyinya kemretek
menoleh ke kanan menoleh ke kiri. Seperti bunyi gerendel jendela di pagi hari.
Bunyi dengkul para pria sholat jumat berjamaah. Kipas angin tua; sarang
laba-laba melekat di jari-jarinya, laba-laba sudah minggat ke dalam gua
menyelamatkan Muhammad dari kejaran Quraish. Perpustakaan sepi, sesekali sampul
majalah terkelebat ditiup kipas. Buku-buku tidur di rak yang selalu tertata
rapi, sedikit berdebu. Rak buku selalu terkunci. Buku-buku di dalamnya tampak
lusuh, terlihat dari kaca yang bening. Buku-buku di dalam perpustakaan adalah
pengangguran yang tak pernah ada pembaca. Pengangguran yang paling menyedihkan.
Lebih dari sarjana-sarjana muda yang terkatung-katung di rumah orang tua
mereka. Buku-buku sudah tidak diminati. Untuk apa belajar dan menulis di jaman
sekarang ini? Generasi muda lebih suka selfie daripada membaca karya fiksi. Di
perpustakaan, buku-buku baru didatangkan. Ada sekitar tiga puluh kardus paket
buku pelajaran dari kementrian pendidikan dan kebudayaan. Mereka suka
membagi-bagikan buku baru. Matematika, Seni Budaya, Bahasa Indonesia, Agama
Islam, Sejarah, Pendidikan Pancasila, Prakarya, Kewirusahaan, dan
kawan-kawannya. Buku adalah pengetahuan baru. Ilmu baru. Buku-buku ini dibagikan
secara gratis kepada seluruh sekolah di segala penjuru nusantara. Kemudian
sekolah meminjamkan kepada siswa. Di tangan siswa, nasib buku-buku itu sungguh mengenaskan.
Tidak terawat, kembali sudah rusak. Sebenarnya anak-anak sekolah itu suka membaca,
buktinya mereka ngebut sehari sebelum ujian, satu buku dibaca dalam sekali
waktu. Pintar betul anak-anak sekolah itu, wong namanya mereka juga sekolah,
dalam sehari mampu mengingat semua isi buku. Tidak hanya satu buku. Nyatanya,
hasil ujian mereka semuanya baik. Semua lulus. Bisa melanjutkan menuntut ilmu
di perguruan tinggi. Bagaimana jika setiap hari ada ujian? Betapa tambah
pintarnya generasi muda Indonesia. Semua buku habis dibaca dalam waktu semalam.
Hebat.
Perpustakaan sedang sepi. Bu Linda, penjaga
perpustakaan sedang pergi ke kantor Dinas. Oh ya, Ibu penjaga muda ini sudah
tiga tahun bekerja di perpustakaan sekolah. Nyambi kuliah, belum wisuda lho,
sepertinya juga masih singgle gemes gitu. Warga sekolah memanggilnya Mbak Linda,
kalau aku memanggil Bu Linda, biar tambah gemes, ibu guru cantik. Tubuhnya
mungil, kulitnya halus, wajahnya bersih, putih bagai gerumbulan awan cantik di
pagi hari. Pancaran cahaya gilang gemilang dari balik kerudungnya. Senyumnya,
wuh! Tobat. Di sekolah ini masih banyak guru-guru muda, kebanyankan perempuan.
Rata-rata lulus kuliah tahun dua ribuan kebelakang. Banyak yang belum menikah.
Kalau cantik? Tak perlu ditanya. Oh ya, Namaku Batu, aku adalah seorang guru
olahraga di sekolah ini. Sekolah kejuruan ekonomi dan akuntansi. Jelas saja
siswaku cantik-cantik. Haha sedikit saja perkenalan dariku, sebab aku sendiri
tak tahu kenapa ibuku dulu memberi nama aku Batu. Biar tidak menjadi anak
dorhaka kepada orang tua mungkin, atau aku lahir di jaman batu, atau memang
lahir dari batu, ditemukan di balik batu, atau biar ngehits kaya batu?? Embuh
wes. Aku belum sempat menanyakannya kepada kedua orangtuaku. Dari kecil memang
aku hidup terpisah dari mereka. Jangan tanya umurku ya?
Sore yang begitu panas tiba-tiba turun hujan. Entah
itu hujan datang dari negeri apa. Hujan memang makhluk gaib. Ketika diharapkan,
hujan tidak kunjung datang. Ketika hujan dihayati, hujan muncul bagai kenyataan.
Mungkin hujan itu datang dari buku yang sedang aku baca. Hujan dari sajak
Sapardi. Aneh, hujan datang ditengah musim kemarau kering. Wujudnya sama persis
dengan hujan di bulan Desember. Mula-mula tercium bau yang khas ketika angin
pelan-pelan menyusup dari jendela dan masuk ke perpustakaan. Butir-butir air
berjatuahan menghantam genting, mengalir jatuh ke tanah membentuk lubang-lubang
kecil di teras perpustakaan. Ada yang yang menerpa pohon mangga di depan,
kemudian mengalir dari ujung-ujung daun mengalir ke tanah. Rumput-rumput kering
mandi hujan. Membentuk aliran dan gelembung-gelembung udara di genangan.
Kemudian aliran air itu masuk ke dalam selokan dan hilang. Hujan ini indah
sekali, aku teringat istriku. Namanya Rintik. Ia cantik mirip gerimis di sore
hari. Aku ingin mengambil hujan ini. Kubawa pulang dan kuberikan kepada istriku
tercinta. Ia senantiasa menungguku di rumah. Secangkir kopi selalu siap di
meja. Ia pasti akan bahagia ketika aku pulang membawa hujan ini.
Baru aku menyadari; ketika aku membaca sajak
Sapardi, hujan akan bertambah deras.
tak
ada yang lebih tabah
dari
hujan bulan juni
dirahasiakannya
rintik rindunya
kepada
pohon berbunga itu
tak
ada yang lebih bijak
dari
hujan bulan juni
dihapusnya
jejak jejak kakinya
yang
ragu-ragu di jalan itu
tak
ada yang lebih arif
dari
hujan bulan juni
dibiarkannya
yang tak terucapkan
diserap
akar pohon bunga itu
Aku keluar dari perpustakaan. Sejenak memandangi
hujan dan suasana hujan. Aku selalu jatuh cinta pada hujan. Hujan dan Rintik
sama saja, selalu membuat jatuh cinta. Walau Rintik telah menjadi istriku,
namun tetap saja aku selalu jatuh cita setiap memandangnya. Aku teringat ketika
kita berdua duduk di teras menikmati hujan. Berbicara tentang penghasilan,
harga-harga kebutuhan di pasar, listrik, dan juga anak yang belum dikaruniakan.
Kita selalu merayakan hujan sambil ngopi santai di teras rumah. Sungguh waktu
yang selalu indah untuk di kenang. Aku sudah meminta ijin kepada Sapardi untuk
mengambil hujannya. Dengan pisau lipat yang selalu kubawa kemana-mana, aku
memotong hujan empat sisi persegi, kemudian aku mengambilnya, kumasukkan ke
dalam botol kaca bekas fas bunga di perpustakaan. Aku telah mengambil hujan.
Bel sekolah berbunyi empat kali. Hujan buru-buru
pulang. Reda. Menghilang begitu saja. Meninggalkan genangan air di tanah dan
bau wangi. Siswa sekolah keluar dari kelasnya. Berghamburan. Seperti burung
walet ribut keluar dari sarang. Dengan menenteng kedua sepatu, mereka berlarian
ke halaman sekolah menikmati sisa-sisa hujan. Kaki-kaki menari di dalam
genangan air menciptakan percikan-percikan yang indah. Mereka telah lupa dengan
apa yang telah didapat di sekolah hari ini. Anak sekolah suka merayakan jam
pulang.
Semua orang suka sehabis hujan. Ya. Orang-orang
melanjutkan aktivitasnya ketika hujan reda. Melanjutkan perjalanan. Orang-orang
keluar rumah menyapu daun-daun kering yang jatuh dihantam air hujan di halaman.
Ayam kembali mencari makan setelah bulu-bulunya basah. Burung-burung terbang
rendah di halaman sekolah. Aku menuntun sepeda keluar dari gerbang. Suasana
jalan hiruk pikuk dengan aktivitas manusia. Jam pulang. Langit cerah. Senja
mintip-mintip di atas rerumbunan daun pohon trembesi. Pertunjukan sebetar lagi
di mulai. Sepeda mulai kugayuh dengan kaki telanjang. Pegawai ya gitu, kalau
tak ingin sepatunya basah dan besok tak bisa bekerja. Botol hujan kugenggam di
tangan kiri melingkar di perut, tangan kanan mengatur jalannya sepeda. Orang-orang
jalan memandangiku dengan tatapan curiga, pandangan mereka berpusat di
genggaman tanganku. Dengan kaki jinjit-jinjit melewati genangan air, mereka
mengerutkan dahi melihat botol yang kugenggam. Aku selalu teringat istriku dan
ingin cepat pulang. Barangkali sudah ada kopi di meja depan.
Orang-orang curiga. Hujan dalam botol ini juga hujan
mereka. Orang-orang suka hujan. Kini mereka kehilangan hujan. Kugayuh kebut
pedal sepedaku, takut jika ada yang menghadangku di jalan dan merebut hujanku.
Di persawahan, senja tepat sejengkal dari batas
permukaan bumi. Sawah menjadi ladang jingga. Dengan petak-petak pematang yang
berbaris membentuk garis-garis waktu. Luas sekali. Lebih luas dari cakrawala
yang tak mengenal jarak. Senja sehabis hujan. Bagaimana menurutmu?
Itu bagianmu saja, selamat menikmati. Aku sudah
punya hujan.
O langit berubah menjadi gelap. Senja yang begitu
indah, dengan sekejap berubah menjadi senja yang menakutkan. Aku melihat senja
membawa pisau yang tajam. Diacungkan ke arahku. Tubuhku gemeteran.
“Senja, apa yang kau minta dariku?” Tanyaku sambil menghentikan
sepedaku.
“Aku ingin hujanmu!”. Pisau tajam teracungkan,
cahaya jingga memanjang di bilah mata pisau itu.
“Hujan ini sudah menjadi milikku. Senja yang selalu
ku kagumi, bukankah kau adalah labuh dari perjalanan waktu? Yang selama ini
selalu di kagumi oleh setiap orang, semua orang, bahkan pohon pisang, juga
binatang-binatang malam. Keindahanmu selalu dinantikan, candu yang selalu
dirindukan. Kenapa kau menanyakan hujan?”
“Itu pandangan kalian saja, manusia. Aku senja,
lahir dari sebuah sajak, kata-kata, senja yang telah kehilangan hujan. Hujan
dan senja abadi di dalam cerita. Apakah kau pernah membaca cerita Hujan, Senja, dan
Cinta? Akulah senja. Kini aku menjadi murahan. Lihatlah, sinarku
menjadi kuning meredup. Senja tak melulu soal pantai, dan gunung. Ombak
bergemuruh. Gelombang pantai nestapa, yang selalu indah di kala senja, semua itu
hanyalah kebohongan. Coba saja kau perhatikan diriku dari sudut pemukiman yang
kumuh. Masihkah senja itu mengagumkan? Bagaimana jika kau menikmati lanskap
senja dari sungai yang mampat oleh bangkai-bangkai sampah terbungkus kantung
plastik? Sungai comber dengan bau anyir busuk darah, bagaimana? Jika dari
kuburan bagaimana? Kematian. Ya itulah senja. Hujan adalah bagian dari
perjalanan waktu. Musim dari iklim waktu. Kau tak bisa seenaknya mengambil
hujan dengan mengatasnamakan cinta dan kasih sayang. Cinta adalah kegelapan,
malam, kematian. Cinta hanya ada dalam kematian. Tidak di kehidupan.”
“Hujan turun dengan penuh cinta, butir-butir air
yang suci, datang dari langit, menyapa bumi, tanah basah, menyejukkan. Orang
menulis cerita hujan dan senja untuk dibaca siapa saja. Pembaca juga berhak
memilikinya. Pengarang tak pernah melarang orang membaca tulisannya. Aku tak
pernah melihat orang terluka oleh hujan. Hujan itu cinta. Kehidupan.”
“Tidak. Itu salah kaprah. Manusia terlalu mendalami
perasaan. Hujan tak lebih dari suatu siklus alam. Ada kering ada basah, ada
hidup ada mati. Tak lebih dari itu. Tak usah berpikir tentang cinta. Itu urusan
Tuhan terhadap semua ciptaannya. Tugas kita hanyalah mencintaiNya. Bukan
tentang hujan atau senja. Orang akan seenaknya saja menulis cerita. Sedangkan
aku, Senja, selalu menjadi background cerita yang bahagia, selalu diperdebatkan
keindahannya, di cerita Hujan, Senja, dan Cinta? Sama saja. Di novel Negeri
Senja? Sama saja. Apa mereka mengenal betul tentang diriku? Kau ini juga sama
saja.”
“Perasaan dan cintalah yang membuat manusia bisa
hidup berdampingan dengan alam. Manusia membutuhkan kelestarian alam, dan alam
membutuhkan manusia agar tetap lestari. Sebuah hubungan yang berjalan
berdampingan dari Adam hingga anak cucunya.”
“Sudah tak usah banyak omong, kau bocah. Jika kau
tidak mau menyerahkan hujan itu, maka aku akan memaksa. Aku ini sang surya, cahaya
dengan kecepatan 300.000 kilometer per detik, aku bisa melakukan apa saja yang
aku inginkan. Aku bisa meledakan pasar atau supermarket dengan kekuatan cahaya.
Aku bisa saja berhenti di sini dan mengakhiri kehidupan, dan malam bernar-benar
menjadi kegelapan, kematian, bisa saja. Tapi aku hanya ingin hujan.”
Dengan cepat aku berusaha lari dari senja. Rumahku
sudah dekat. Aku akan aman di sana, pikirku. Senja terus memburuku di belakang.
Sinar jingganya bertambah mentereng nylurit tepat di atas kepala. Tiba-tiba
cahaya jingga itu menghantam sepedaku dengan keras. Sepeda peyok, aku terpental
ke aspal. Hujan tetap kugenggam dengan erat. Genggaman ketakutan. Aku mencoba
berdiri, lalu berlari. Senja terus mengikuti, hari sudah hampir gelap. Senja
tak ingin menyerah. Tak seperti biasanya, senja tak ingin tenggelam oleh laskap
gelap. Malam sengaja ditunda. Aku bersembunyi di balik pepohonan. Memikirkan
bagaimana caranya untuk lolos dari senja yang mencoba membunuhku ini. Dengan
tekat, aku tantang senja dalam pertarungan, senjataku adalah tekat dan cinta.
Pertarungan terjadi. Sawah dan perkebunan terbakar,
rumah terbakar, jalan terbakar, pasar terbakar, bank terbakar, dunia terbakar.
Hancur seperti desa konoha ketika diserang oleh akatsuki. Seperti negara api
ketika melenyapkan kerajaan tanah. Aku dan senja saling balas hantam. Berguling-guling
di rerumputan. Pertarungan sengit di batas malam. Satu pukulan berat menyasar
ke wajahku, dua pukulan balasan ku hantamkan ke wajahnya yang merona. Senja
tampak mulai kualahan. Aku mulai kehabisan tenaga. Pertarungan itu berlangsung
sangat lama. Malam sudah mendesak senja. Sinarnya semakin redup, senja hampir
kehilangan nyawa. Dengan kekuatan cinta, dan dengan kekuatan bulan aku akan
menghukum senja, aku berhasil mengalahkan senja dengan pukulan tepat di
wajahnya. Senja k.o. Selanjutnya adalah malam yang benderang dengan sinar bulan
dan bintang. Ini memang sudah malam. Gelap sempat tertunda. Bintang-bintang
mengumpulkan cahaya dari senja. Di dalam gelap, senja melayang-layang menunggu
pagi. Malam hadir penuh cinta. Akulah Batu. Aku telah membunuh senja. Jika esok tak ada lagi Senja, jangan salahkan batu. Akulah Batu. Kini menjadi Permata. *he, ini cerita apa?
Aku melanjutkan pulang dengan gontai, menyeret kaki,
memangkas jarak jalan pulang. Aku membayangkan Rintik dengan wajahnya yang
jelas cemas menungguku pulang. Terlambat pulang. Walau bagaimanapun, aku akan
tetap pulang ke dalam pelukannya.
Di depan rumah. Kopi sudah keburu dingin di meja.
Tinggal ampasnya saja. Malam telah mendahuluiku. Ia telah meminum kopiku. Woh
dasar malam. Tak akan kuat begadang tanpa kopi. Kalau malam belum ngopi, pagi
akan datang dengan cepat. Ketemu lagi dengan matahari.
Sudah malam. Kali ini tidak ada obrolan di emperan.
aku terlalu lelah setelah bertarung dengan senja dan membawa pulang hujan. Aku
menceritakan kejadian sore tadi kepada Rintik, Hujan, Senja, dan Cinta, sambil tiduran di kamar. Bersama Rintik, hujan turun sepanjang malam
di atas ranjang- ah, untung besok adalah minggu.
Jogjakarta,
Oktober 2015.
No comments:
Post a Comment