Desember,
adalah bulan baik untuk para pecinta hujan. Menikmati secangkir teh di pagi
hari, O indah sekali ketika hujan rintik menemani. Tanah basah hujan reda dan
gerimis sisa, O itu sangat memabukkan ketika muncul bau wangi. Aku suka hujan.
"Apakah yang kautangkap dari
swara hujan, dari daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela?
Apakah yang kau tangkap dari bau tanah, dari rincik air yang turun di
selokan?"
Ia membayangkan hubungan gaib
antara tanah dan hujan, membayangkan rahasia daun basah serta ketukan yang
berulang.
"Tak ada. Kecuali
bayang-bayangmu sendiri yang di balik pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan
sapa pinggir hujan, memimpikan bisik yang membersit, dari titik air yang
menggelincir dari daun dekat jendela itu. Atau memimpikan semacam suku kata
yang akan mengantarmu tidur."
Barangkali sudah terlalu sering ia
mendengarkanya, dan tak lagi mengenalnya.
- - Sapardi Djoko Damono.
Untuk
bulan yang menyenangkan ini aku punya beberapa cerita kecil, ya walau hanya
untuk mengisi postingan blog biar tetap terawat, juga untuk merayakan hujan di
bulan desember ini. :p
Mari
kita mulai cerita pertama desember yang hore ini.
Rafting Sungai Elo
Perjalanan
dimulai ketika aku harus bangun pagi-pagi. Ah, aku benci bangun pagi. Sementara
matahari masih kriyip-kriyip di bawah genteng, aku sudah terpaksa mandi.
Seindah-indahnya kamar mandi menjadi benci oleh mandi pagi. Dan,
seburuk-buruknya pagi adalah bangun pagi; ketika pertama kali membuka mata tak
ada Raisa di sini. *kwok (koor; seisi kamar). Aku merelakan tidur malasku
karena jejalan yang membangunkanku. Jejalan pertama di bulan desember ini kita
ke sungai elo, magelang. Tahu? Ya, kita akan rafting di sungai elo. Piye?
*piyapiye koyo pak harto wae. Well to? Keren to? Gak pengen yasudah, aku akan tetap
bercerita.
Ini
adalah pengalaman pertama aku memegang dayung, menaiki perahu karet, mendayung,
menyusuri sungai, mengarungi jeram, menghindari batu-batu, dan mandi di arus
sungai yang deras. Pengalaman yang menyenangkan, aku ingin coba lagi lain kali
di jeram sungai yang lebih menantang. Oh, progo. Oh, serayu.
Jalanan
masih sepi pagi itu, kami berjajar tiga motor depan belakang. Meliak-liuk
melewati mobil-truk yang lengang bagai ular yang sedang mengejar mangsa. Kami
mengejar waktu. Kami harus sampai di rumah Fuad Hasan sekitar jam 8 pagi, empat
puluh lima menit dari jogja. Arif dan Chita paling depan, belakangnya Sarkum
sendirian, kemudian aku menyusul paling belakang dengan Siti. Perjalanan lancar
sampai di rumah Fuad walau sempat salah jalan dan harus balik arah untuk
beberapa kali.
Di
rumah Fuad, kami di sambut dengan hangat. Teh hangat dan jajanan lodongan sisa
lebaran mungkin, lumayan untuk menilap perut yang belum terisi sepagi itu.
Rumah fuad sangat sederhana, keluarga yang sederhana. Ayahnya bekerja sebagai
tukang foto di candi borobudur, dan punya kerja sampingan sebagai juragan
tembakau. Daun kering yang punya banyak hasil tentunya. Ibu adalah seorang
rumah tangga yang baik hati. Ruang tamu duduk kursi kayu dengan busa yang
nyaman. Suasana rumah yang dingin dan asri. Sebuah sertifikat burung pleci
dibingkai ukiran kayu melekat di dinding. Bersebelahan dengan foto keluarga
yang sudah berumur tua. Fuad memang penggila pleci. Aset berharga, katanya.
Beberapa sangakar burung berjemur di depan rumah. Ocehan pleci saling
bersahutan mirip suasana di perlombaan kicau burung. Kami bercakap-cakap di
ruang tamu sambil mempersiapkan diri sebelum berangkat ke start rafting elo.
Sungai elo sendiri mengalir di samping rumah fuad. Dekat dengan rumah. Itu
sebuah anugerah bagi masyarakat sekitar yang tak pernah susah mencari air. Di
sana banyak mata air sepanjang musim dengan aliran air yang sangat bersih dan
segar, bisa langsung di konsumsi. Betapa tak adilnya hidup ketika orang-orang
gunung kidul dan bantul harus memeras air keringat untuk menyambung hidup, di
daerah dataran tinggi sleman dan magelang mereka mebuang-buang air. mungkin
Tuhan menghadirkan keadilan dengan caraNya sendiri di balik kenyataan itu.
Tuhan Maha Adil. Bersyukurlah.
Cukup
lama kami bercakap-cakap dengan teh hangat, fuad memanggil dari ruang makan.
Cak bondan, ayo sini sarapan dulu, ayo rif, ayo kum, teman yang lain diajak.
Mendengar panggilan itu seketika hatiku bungah, perut tersenyum,
cacing-cacacing perut siap berbaris di meja makan sambil memegang sendok dan
garpu. Panggilan yang lebih sakti daripada panggilan sholat. Adzan itu
panggilan tak terjawab, katanya. Ya Allah. Terima kasih Fuad, “Cumi goreng
tepungnya enak sekali” Sebelum berdoa dan mulai makan, kami selfie-selfie dulu.
*prekk
Tak
lama kami langsung diangkut ke sungai. Colt yang mengankut kami adalah pickup
yang sudah dimodifikasi khusus untuk kendaraan keperluan rafting. Mirip colt
sayur di gunung-gunung. Kami berenam di belakang, di depan pemandu kapal
menemani sopir meneliti jalanan. Kapal karet ditumpang ke atap colt sehingga
tampak keren di jalanan. “Wah, apa itu kok ada kapal temangsang di atas colt.”
Mungkin kata seorang tua di rombongan mobil pengiring temanten. Wajahnya
sumringah dari jendela kaca.
Start
rafting tak jauh dari pemberangkatan angkutan. Setelah sampai lokasi semua
peralatan diturunkan. Helm dan pelampung mulai dipasang di badan. Kami sudah
nampak seperti petarung jeram yang ganas dan menakutkan. Sementara perahu masih
disiapkan; ditambah angin agar kuat menahan arus dan batu, kami berjalan
mendekat sungai. Start di sini adalah sebuah pertemuan sungai kecil dengan elo
yang berair coklat pekat, tampak seram namun arus sungai aman.
Pemandu
perahu memberikan intruksi mengenai teknis penyusuran sungai dan dayung perahu.
Kami memperhatikan bapak pemandu dengan canda, imajinasi sudah lari
kemana-mana; jeram ganas, perahu terbalik mungkin, atau kepala menghantam batu
lalu masuk tv. Oh tarik kembali imajinasi kami. Pengarungan dimulai.
Pertama-tama kami mencoba teknis mendayung; maju, kanan, kiri. Ketika itu bapak
pemandu sengaja menghantamkan perahu ke dinding sungai berupa padas setinggi
tiga meter. Perahu terpental dalam posisi mundur. Fuad terjatuh ke sungai. Kami
semua memtertawakannya. Fuad berwajah mungil seperti banyi, tapi tua. Unyu. Aku
membayangkan wajah mungilnya itu panik terjebur di arus sungai yang deras.
Hingga tubuhnya terseret, pelampung membuatnya aman di permukaan. Sambil
memegangi perahu Fuad berteriak minta tolong. “Tidak usah panik”, kata bapak
pemandu. “Katanya sudah bisa berenang?” Mendengarnya, sekilas wajah Fuad tampak
tenang. Ia baru menyadari bahwa ia aman dengan pelampung.
Fuad
kembali naik. Kami masih tertawa-tawa di atas perahu. Perjalanan berlanjut.
Hingga km pertama arus masih biasa-biasa saja. Barulah selanjutnya kami
merasakan jeram yang lumayan menghibur untuk pemula. Kalau boleh bilang,
sebenarnya selama pengarungan saya sempat merasa bosan. Ya, jarak tempuh 11km
selama 3 jam, sedangkan jeram masih biasa-biasa saja. Itupun sudah dalam
kondisi air tinggi. Selama pengarungan aku hanya memaksa tawa kesenangan. Ya
itulah. Satu hal yang penting, di sungai itu tidak seperti yang kita bayangkan
selama ini. Bahwa di sungai banyak “kuning-kuning kemampul, nek disaring
ambyar” itu tidak ada. Sungai di daerah jogja dan sekitarnya rata-rata adalah
sungai bersih. Selama pengarungai aku melihat beberapa orang yang memancing,
malah ada ibu-ibu yang sedang mandi air kali. Pemandian kali terbuat dari
anyaman bambu yang memagarai pancuran dari sumber air. Selembar kain jarit
membungkus tubuh ibu-ibu di pinggiran sungai sedang mencucui baju. Di sana
sudah menjadi pemandangan yang biasa. Bagiku?
Dalam
pengarungan hanya beberapa saja ketemu dengan jeram yang lumayan menantang,
berbatu. Dan selebihnya, “biasa”. Setiap jeram punya nama, Fuad yang rajin
bertanya kepada bapak pemandu, “Jeram ini namanya apa pak?” Entah, aku tidak
hafal dengan namanya satu-satu. Aku juga tak yakin bapak pemandu juga menghafal
semuanya, mungkin dia baru menamainya ketika fuad bertanya. Bapak pemandu
sering memainkan perahu kami. Membuat kami jatuh ke sungai, itu berarti
kesempatan untuk bunag kencing. Setiap perahu terbalik, jatuh; aku buang
kencing. Maaf. Bapak pemandu sangat menguasai kapal, ya wajar saja sudah
puluhan tahun bekerja di atas kapal. Dia bisa memutar-mutar perahu sampai
terbalik, membuat kami jatuh. Terima kasih bapak.
Tiga
perempat perjalanan perahu parkir di peristirahatan. Disana kita sudah di
sambut kelapa muda, tepatnya tua yang sudah siap minum. Segar, lebih segar dari
air sungai yang cokelat pekat. Selain kelapa juga tersedia jajanan pasar siap
makan.
Sepertiga
bagian selanjutnya hanya berupa bantaran sungai berarus deras sebelum sampai di
garis finish.
Pengarungan
sungai selesai. Selanjutnya kita diangkut kendaraan yang sama ke tempat
restoran kami berangkat. Dalam perjalanan pulang ketemu hujan, lumayan deras.
Kami menikmati nila bakar dalam keadaan basah. Iki enak cuk, sumpah.
Dalam
perjalanan pulang ke rumah Fuad, hujan bertambah derah, aku bertambah senang.
Aku suka hujan. Sesampai di rumah Fuad kami satu-persatu bergantian mengambil
mandi kemudian gas pulang ke jogja. Rencana awal sore hari kita mau ke
borobudur karena jika bersama Fuad kami bisa masuk gratis. Tetapi planing gagal
karena hujan.
Merbabu.
Kami
berangkat tanggal 25 desember turun 26. Selama di gunung hanya bertemu kabut
tebal dan hawa dingin. Namun tetap menyuguhkan suasana magis yang mungkin dalam
rombongan hanya aku yang bisa menikmatinya. Aku lebih suka sepi dan sunyi.
Belaian dingin gunung itu “ngangeni”. Aku suka sensasi ketika mengigil di
puncak. Dalam pendakian ini aku juga merangkap proyek “Coffee Everywhere –
Mangan ora mangan waton ngopi”. Sebuah proyek pribadi, ngopi di tempat-tempat
damai, atau hanya sekedar melamun menikmati keindahan ciptaan Tuhan. Aku
berhasil ngopi di puncak kentheng songo. Yeeyy!
Dalam
pendakian juga sempat bertemu pacar, senja. Aku di cium oleh senja *mukamerah.
Wajah ayunya mentereng di atas awan yang tampak mengambang dari ketinggian,
sebelum angslup ditelan cakrawala.
Dalam
perjalanan turun kami dijumpai dengan hujan, ya ini lagi musimnya, jadi sudah
sepaket dengan perjalanan. Terima kasih hujan.
Merapi.
Ini
kedua kalinya aku mendaki ke merapi. Dulu waktu pertama ke merapi puncaknya
masih bernama puncak garuda, untuk yang kedua ini sudah jadi puncak barameru.
Kami berangkat dari basecamp 27 pagi tanpa sarkum yang tidak sanggup meneruskan
pendakian, tidak ada semangat. Aku juga tidak mau memaksa. Aku lebih memilih
jalan dengan orang yang sakit tapi punya semnagat mengalahkan diri yang tinggi,
daripada orang yang fisiknya sehat tapi tak punya semangat. Sarkum ditinggak di
basecamp, menunggu kami turun sambil menjaga barang yang tidak dibawa treking.
Daahh!
Kami berangkat mendaki mendahului matahari
yang masih selimutan di dalam kabut. Dari jam 7 strat sampai puncak jam 12.
Lumayan. Dari basecamp sampai puncak hanya ada kabut. Jalur pendakian yang
berat jadi tidak begitu terasa dengan absennya cahaya matahari yang membakar
semangat kami. Syukurlah. Untuk merapi aku juga membawa Coffee Everywhere.
Sukses ngopi di puncak barameru. Yeeyy!
Tak
ada cerita yang menarik, sama-saja (malas bercerita). Kami hanya naik ke puncak
lalu langsung turun ke basecamp. tidak camp di gunung. Dalam perjalanan turun
ketemu hujan deras sepanjang gunung. Sampai di jogja pun.
Desember 2014
No comments:
Post a Comment