Tuesday, 13 January 2015

HORE DESEMBER.

Desember, adalah bulan baik untuk para pecinta hujan. Menikmati secangkir teh di pagi hari, O indah sekali ketika hujan rintik menemani. Tanah basah hujan reda dan gerimis sisa, O itu sangat memabukkan ketika muncul bau wangi. Aku suka hujan.

"Apakah yang kautangkap dari swara hujan, dari daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela? Apakah yang kau tangkap dari bau tanah, dari rincik air yang turun di selokan?"
Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan hujan, membayangkan rahasia daun basah serta ketukan yang berulang.
"Tak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendiri yang di balik pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa pinggir hujan, memimpikan bisik yang membersit, dari titik air yang menggelincir dari daun dekat jendela itu. Atau memimpikan semacam suku kata yang akan mengantarmu tidur."
Barangkali sudah terlalu sering ia mendengarkanya, dan tak lagi mengenalnya.

-          - Sapardi Djoko Damono.





















Untuk bulan yang menyenangkan ini aku punya beberapa cerita kecil, ya walau hanya untuk mengisi postingan blog biar tetap terawat, juga untuk merayakan hujan di bulan desember ini. :p

Mari kita mulai cerita pertama desember yang hore ini.

Rafting Sungai Elo

Perjalanan dimulai ketika aku harus bangun pagi-pagi. Ah, aku benci bangun pagi. Sementara matahari masih kriyip-kriyip di bawah genteng, aku sudah terpaksa mandi. Seindah-indahnya kamar mandi menjadi benci oleh mandi pagi. Dan, seburuk-buruknya pagi adalah bangun pagi; ketika pertama kali membuka mata tak ada Raisa di sini. *kwok (koor; seisi kamar). Aku merelakan tidur malasku karena jejalan yang membangunkanku. Jejalan pertama di bulan desember ini kita ke sungai elo, magelang. Tahu? Ya, kita akan rafting di sungai elo. Piye? *piyapiye koyo pak harto wae. Well to? Keren to? Gak pengen yasudah, aku akan tetap bercerita.

Ini adalah pengalaman pertama aku memegang dayung, menaiki perahu karet, mendayung, menyusuri sungai, mengarungi jeram, menghindari batu-batu, dan mandi di arus sungai yang deras. Pengalaman yang menyenangkan, aku ingin coba lagi lain kali di jeram sungai yang lebih menantang. Oh, progo. Oh, serayu.

Jalanan masih sepi pagi itu, kami berjajar tiga motor depan belakang. Meliak-liuk melewati mobil-truk yang lengang bagai ular yang sedang mengejar mangsa. Kami mengejar waktu. Kami harus sampai di rumah Fuad Hasan sekitar jam 8 pagi, empat puluh lima menit dari jogja. Arif dan Chita paling depan, belakangnya Sarkum sendirian, kemudian aku menyusul paling belakang dengan Siti. Perjalanan lancar sampai di rumah Fuad walau sempat salah jalan dan harus balik arah untuk beberapa kali.

Di rumah Fuad, kami di sambut dengan hangat. Teh hangat dan jajanan lodongan sisa lebaran mungkin, lumayan untuk menilap perut yang belum terisi sepagi itu. Rumah fuad sangat sederhana, keluarga yang sederhana. Ayahnya bekerja sebagai tukang foto di candi borobudur, dan punya kerja sampingan sebagai juragan tembakau. Daun kering yang punya banyak hasil tentunya. Ibu adalah seorang rumah tangga yang baik hati. Ruang tamu duduk kursi kayu dengan busa yang nyaman. Suasana rumah yang dingin dan asri. Sebuah sertifikat burung pleci dibingkai ukiran kayu melekat di dinding. Bersebelahan dengan foto keluarga yang sudah berumur tua. Fuad memang penggila pleci. Aset berharga, katanya. Beberapa sangakar burung berjemur di depan rumah. Ocehan pleci saling bersahutan mirip suasana di perlombaan kicau burung. Kami bercakap-cakap di ruang tamu sambil mempersiapkan diri sebelum berangkat ke start rafting elo. Sungai elo sendiri mengalir di samping rumah fuad. Dekat dengan rumah. Itu sebuah anugerah bagi masyarakat sekitar yang tak pernah susah mencari air. Di sana banyak mata air sepanjang musim dengan aliran air yang sangat bersih dan segar, bisa langsung di konsumsi. Betapa tak adilnya hidup ketika orang-orang gunung kidul dan bantul harus memeras air keringat untuk menyambung hidup, di daerah dataran tinggi sleman dan magelang mereka mebuang-buang air. mungkin Tuhan menghadirkan keadilan dengan caraNya sendiri di balik kenyataan itu. Tuhan Maha Adil. Bersyukurlah.

Cukup lama kami bercakap-cakap dengan teh hangat, fuad memanggil dari ruang makan. Cak bondan, ayo sini sarapan dulu, ayo rif, ayo kum, teman yang lain diajak. Mendengar panggilan itu seketika hatiku bungah, perut tersenyum, cacing-cacacing perut siap berbaris di meja makan sambil memegang sendok dan garpu. Panggilan yang lebih sakti daripada panggilan sholat. Adzan itu panggilan tak terjawab, katanya. Ya Allah. Terima kasih Fuad, “Cumi goreng tepungnya enak sekali” Sebelum berdoa dan mulai makan, kami selfie-selfie dulu. *prekk















Selesai makan, kita bergegas bersiap diri ganti baju siap basah dan-sebagainya dan segera gas ke sungai. Kami sudah ditunggu biro dan saudara fuad di sebuah restoran. Kita masuk lewat fuad, dia banyak kenalan orang dalam. Jadi kami enak dapat potongan. Untuk refting elo paket ekonomi harga standart enam ratus ribu rupiah untuk setiap kapal, minimal empat – maksimal enam orang. Sudah sepaket dengan degan segar dan makan siang di restoran. Untuk sewa jasa dokumentasi tambah dua ratus ribu rupiah, dan kita gratis tapi bawa kamera sendiri. Sialnya kita orang gak punya kamera handal. Camdig dan hp jadi harapan.

Tak lama kami langsung diangkut ke sungai. Colt yang mengankut kami adalah pickup yang sudah dimodifikasi khusus untuk kendaraan keperluan rafting. Mirip colt sayur di gunung-gunung. Kami berenam di belakang, di depan pemandu kapal menemani sopir meneliti jalanan. Kapal karet ditumpang ke atap colt sehingga tampak keren di jalanan. “Wah, apa itu kok ada kapal temangsang di atas colt.” Mungkin kata seorang tua di rombongan mobil pengiring temanten. Wajahnya sumringah dari jendela kaca.

Start rafting tak jauh dari pemberangkatan angkutan. Setelah sampai lokasi semua peralatan diturunkan. Helm dan pelampung mulai dipasang di badan. Kami sudah nampak seperti petarung jeram yang ganas dan menakutkan. Sementara perahu masih disiapkan; ditambah angin agar kuat menahan arus dan batu, kami berjalan mendekat sungai. Start di sini adalah sebuah pertemuan sungai kecil dengan elo yang berair coklat pekat, tampak seram namun arus sungai aman.

Pemandu perahu memberikan intruksi mengenai teknis penyusuran sungai dan dayung perahu. Kami memperhatikan bapak pemandu dengan canda, imajinasi sudah lari kemana-mana; jeram ganas, perahu terbalik mungkin, atau kepala menghantam batu lalu masuk tv. Oh tarik kembali imajinasi kami. Pengarungan dimulai. Pertama-tama kami mencoba teknis mendayung; maju, kanan, kiri. Ketika itu bapak pemandu sengaja menghantamkan perahu ke dinding sungai berupa padas setinggi tiga meter. Perahu terpental dalam posisi mundur. Fuad terjatuh ke sungai. Kami semua memtertawakannya. Fuad berwajah mungil seperti banyi, tapi tua. Unyu. Aku membayangkan wajah mungilnya itu panik terjebur di arus sungai yang deras. Hingga tubuhnya terseret, pelampung membuatnya aman di permukaan. Sambil memegangi perahu Fuad berteriak minta tolong. “Tidak usah panik”, kata bapak pemandu. “Katanya sudah bisa berenang?” Mendengarnya, sekilas wajah Fuad tampak tenang. Ia baru menyadari bahwa ia aman dengan pelampung.















Fuad kembali naik. Kami masih tertawa-tawa di atas perahu. Perjalanan berlanjut. Hingga km pertama arus masih biasa-biasa saja. Barulah selanjutnya kami merasakan jeram yang lumayan menghibur untuk pemula. Kalau boleh bilang, sebenarnya selama pengarungan saya sempat merasa bosan. Ya, jarak tempuh 11km selama 3 jam, sedangkan jeram masih biasa-biasa saja. Itupun sudah dalam kondisi air tinggi. Selama pengarungan aku hanya memaksa tawa kesenangan. Ya itulah. Satu hal yang penting, di sungai itu tidak seperti yang kita bayangkan selama ini. Bahwa di sungai banyak “kuning-kuning kemampul, nek disaring ambyar” itu tidak ada. Sungai di daerah jogja dan sekitarnya rata-rata adalah sungai bersih. Selama pengarungai aku melihat beberapa orang yang memancing, malah ada ibu-ibu yang sedang mandi air kali. Pemandian kali terbuat dari anyaman bambu yang memagarai pancuran dari sumber air. Selembar kain jarit membungkus tubuh ibu-ibu di pinggiran sungai sedang mencucui baju. Di sana sudah menjadi pemandangan yang biasa. Bagiku?

Dalam pengarungan hanya beberapa saja ketemu dengan jeram yang lumayan menantang, berbatu. Dan selebihnya, “biasa”. Setiap jeram punya nama, Fuad yang rajin bertanya kepada bapak pemandu, “Jeram ini namanya apa pak?” Entah, aku tidak hafal dengan namanya satu-satu. Aku juga tak yakin bapak pemandu juga menghafal semuanya, mungkin dia baru menamainya ketika fuad bertanya. Bapak pemandu sering memainkan perahu kami. Membuat kami jatuh ke sungai, itu berarti kesempatan untuk bunag kencing. Setiap perahu terbalik, jatuh; aku buang kencing. Maaf. Bapak pemandu sangat menguasai kapal, ya wajar saja sudah puluhan tahun bekerja di atas kapal. Dia bisa memutar-mutar perahu sampai terbalik, membuat kami jatuh. Terima kasih bapak.















Tiga perempat perjalanan perahu parkir di peristirahatan. Disana kita sudah di sambut kelapa muda, tepatnya tua yang sudah siap minum. Segar, lebih segar dari air sungai yang cokelat pekat. Selain kelapa juga tersedia jajanan pasar siap makan.

Sepertiga bagian selanjutnya hanya berupa bantaran sungai berarus deras sebelum sampai di garis finish.
Pengarungan sungai selesai. Selanjutnya kita diangkut kendaraan yang sama ke tempat restoran kami berangkat. Dalam perjalanan pulang ketemu hujan, lumayan deras. Kami menikmati nila bakar dalam keadaan basah. Iki enak cuk, sumpah.

Dalam perjalanan pulang ke rumah Fuad, hujan bertambah derah, aku bertambah senang. Aku suka hujan. Sesampai di rumah Fuad kami satu-persatu bergantian mengambil mandi kemudian gas pulang ke jogja. Rencana awal sore hari kita mau ke borobudur karena jika bersama Fuad kami bisa masuk gratis. Tetapi planing gagal karena hujan.

Desember Ke Jogja

Cerita selanjutnya berawal ketika nias mengajak camping di pantai. Oke, kita ke jogja. #DesemberKeJogja. Ada beberapa obyek wisata yang sudah masuk dalam planning kunjungan jogja. Pantai, candi, hutan. Ah kita akan bersenang-senang. Agenda ini telah direncanakan sejak lama hari. Mulai dari tanggal, peserta dan lokasi telah di agendakan. Namun seperti biasanya jika planning dibuat jauh-jauh hari pasti banyak yang gagal. Dan (GOONGG!!) Acara batal karena salah seorang teman tidak bisa di hari yang telah direncanakan. Kakean kowar-kowar seh. #DesemberGakSidoKeJogja.
Aku sempat tanya ke nias, “Apakah ada agenda pengganti?” Dia gak jawab. Yasudah, agenda gunung saya ajukan.

Merbabu.

Bermula ketika Arif mengajak aku di kampus, “Cak, mau tak ajakin naik lagi? Dua gunung merbabu-merapi cak, gimana?” Oh siap boss. Gass. Merbabu lagi, tidak cerita yang menarik dari pendakian karena kami lewat jalur Selo yang sudah beberapa kali aku jajaki.

Sarkum kala itu menjadi satu-satunya pemula di rombongan; aku arif siti imam ican. Langkahnya agak terseret. Namun begitu sarkum bisa sampai puncak walau dengan berbagai cara kami lakukan.

Kami berangkat tanggal 25 desember turun 26. Selama di gunung hanya bertemu kabut tebal dan hawa dingin. Namun tetap menyuguhkan suasana magis yang mungkin dalam rombongan hanya aku yang bisa menikmatinya. Aku lebih suka sepi dan sunyi. Belaian dingin gunung itu “ngangeni”. Aku suka sensasi ketika mengigil di puncak. Dalam pendakian ini aku juga merangkap proyek “Coffee Everywhere – Mangan ora mangan waton ngopi”. Sebuah proyek pribadi, ngopi di tempat-tempat damai, atau hanya sekedar melamun menikmati keindahan ciptaan Tuhan. Aku berhasil ngopi di puncak kentheng songo. Yeeyy!















Dalam pendakian juga sempat bertemu pacar, senja. Aku di cium oleh senja *mukamerah. Wajah ayunya mentereng di atas awan yang tampak mengambang dari ketinggian, sebelum angslup ditelan cakrawala.
Dalam perjalanan turun kami dijumpai dengan hujan, ya ini lagi musimnya, jadi sudah sepaket dengan perjalanan. Terima kasih hujan.




















Merapi.

Ini kedua kalinya aku mendaki ke merapi. Dulu waktu pertama ke merapi puncaknya masih bernama puncak garuda, untuk yang kedua ini sudah jadi puncak barameru. Kami berangkat dari basecamp 27 pagi tanpa sarkum yang tidak sanggup meneruskan pendakian, tidak ada semangat. Aku juga tidak mau memaksa. Aku lebih memilih jalan dengan orang yang sakit tapi punya semnagat mengalahkan diri yang tinggi, daripada orang yang fisiknya sehat tapi tak punya semangat. Sarkum ditinggak di basecamp, menunggu kami turun sambil menjaga barang yang tidak dibawa treking. Daahh!

 Kami berangkat mendaki mendahului matahari yang masih selimutan di dalam kabut. Dari jam 7 strat sampai puncak jam 12. Lumayan. Dari basecamp sampai puncak hanya ada kabut. Jalur pendakian yang berat jadi tidak begitu terasa dengan absennya cahaya matahari yang membakar semangat kami. Syukurlah. Untuk merapi aku juga membawa Coffee Everywhere. Sukses ngopi di puncak barameru. Yeeyy!

Tak ada cerita yang menarik, sama-saja (malas bercerita). Kami hanya naik ke puncak lalu langsung turun ke basecamp. tidak camp di gunung. Dalam perjalanan turun ketemu hujan deras sepanjang gunung. Sampai di jogja pun.

Kami turun sampai di basecamp jam 5 sore. Langsung turun dan kembali ke jogja sesampainya jam 9 malam.

Desember 2014

No comments:

Post a Comment