Tuesday, 7 October 2014

Cerita Gede-Pangrango (Kedua) - Puncak Gede

Budi meletakkan tas keril di teras sebuah warung makan, kemudian diikuti oleh Babon dan teman-teman lainnya. Perut mereka sudah merasa sangat lapar. Belum diisi sejak sore. Hari baru telah lahir kembali. Dan saat itu masih pagi. Kabut dingin membuat perut semakin merasakan lapar. Suasana desa sangat sepi. Beberapa warga bergotong royong membenahi jalan yang berlubang di sana-sini, menurunkan material tanah dari mobil pick-up warna hitam. Jalan menuju Gunung Putri Gate sudah nampak di depan; makadam, menanjak, jalan kecil yang membelah perumahan, tampak sepi dengan kabut yang menyelimuti bukit di belakang. Mereka simpan dulu pandangan. Perut sudah tak bisa dibujuk, mereka memutuskan untuk makan pagi di warung, satu-satunya warung makan di pagi itu. “Kita makan dulu di sini sambil rehat sejenak mengenakkan badan setelah perjalanan panjang di kereta semalam.” Ajak Budi kepada teman-teman dengan nada bahagia karena telah sampai di desa terakhir sebelum memulai pendakian. Mereka cukup lelah dalam kereta semalam, mata tak mendapat tidur, hanya sebentar terhibur di dalam bus dari Kampung Rambutan menuju Cipanas. Namun, rasa senang mengalahkan mata lelah. Kantuk tak mampu menguasai mata mereka, walau terasa perih dan merah kering. Suasana makan sangat dingin, nasi yang baru keluar dari magic com tidak begitu terasa panas. Mereka makan dengan cepat saja, walau porsi makan masih kurang untuk ukuran perut para pejalan malam ini. Di  daerah itu, makan  termasuk barang yang mahal, harus pikir-pikir dahulu ketika memilih tempat makan, itu pun kalau ada pilihan, kalau tidak, terpaksa bayar dengan harga mahal. Memperjuangkan hidup di kota itu memang susah. Semua yang berbicara adalah uang. Setelah makan, mereka santai-santai di warung sambil membagi obrolan dengan pagi.