Tuesday, 26 November 2013

NDELEDEK

JANCUUK! Keluar begitu saja dari mulut pak tua yang sejak pagi duduk tersungkur murung di bawah pohon kelapa menyandarkan beban hidupnya seolah-olah lebih berat dari isi perutnya yang kempes telah lama ditinggalkan makan dan minum, suaranya yang spontan memecah sepi senjakala meresapi kesedihan kehilangan warna-warna indahnya bagai petir yang menyambar membelah batu karang dari dua awan yang melaju pesat, bagai dua anak panah yang berlawanan arah, berbeda bentuk, positif dan negatif, saling berbenturan satu sama lain menimbulkan suara yang terdengar pedih oleh pohon kelapa, batu-batu, dan pasir di dataran gersang itu walau air selalu merayu sisi tepinya, namun tak pernah dirasakan air sebagai sumber air minum dan kehidupan. Mereka di pesisir yang jarang-jarang dihidupi oleh tumbuhan. Ada, namun sedikit dan hanya tumbuh kecil-kecil. Kaktus-kaktus dan pandan berduri. Berwajah perih, runcing durinya.
    Pak tua seorang nelayan yang kesepian, meratapi nasib setelah ditinggal istri dan dua orang anaknya. Mereka lenyap bersama abrasi air laut yang berlebihan enam tahun yang lalu. Tuhan telah melebih-lebihkannya. Bencana itu telah membawa lebih dari separuh nyawa penduduk desa beserta raga yang tak pernah ditemukan oleh ikan paus, hiu, dan lumba-lumba sekalipun. Sungguh tragis nasib orang-orang yang ditinggalkannya dan bahagialah mereka yang lebih dulu meninggalkan dunia. Anak-anak pak tua keduanya masih kecil, cantik dan tampan, yang perempuan delapan tahun dan laki-laki lima tahun. Istrinya adalah seorang wanita yang cantik di desanya, tentunya setelah Ponirah, Wagiyem, Suprapti, Misri, Jahenah dan beberapa wanita lainnya. Sebelumnya mereka adalah keluarga yang bahagia. Sederhana. Selalu ada cinta kasih di setiap perjalan hidup mereka, dari suami ke istri, istri ke suami, bapak ke anak, ibu ke anak, anak ke bapak, anak ke ibu, anak ke anak semuanya adalah cinta dan kasih sayang.
    Pak tua sudah jarang sekali melaut, bahkan bisa dibilang sudah tidak pernah. Kalau cuaca tidak benar-benar aman dia tidak pernah berani mencari seekor ikanpun sendirian di laut. Kini hari-harinya hanya duduk di pohon kelapa yang sama, tak ada yang megagas apa yang ada di lamunannya: Istrinya yang cantik? Anak-anak? Ingin melautKapal tua? Perut yang lapar? Memikirkan makanan restoran? Ikan-Ikan? Uang? Umur panjang? Istri baruMembayangkan tubuh wanita telanjang? Gadis perawan? Buah-buahan yang segar? Kematian? Menggapai-gapai TuhanYa, sudah tidak ada lagi yang peduli dengan pak tua. Umur dan tubuh yang tua memaksanya hanya bisa meminta-minta dan terkadang dia memungut sisa-sisa makanan pengunjung yang berwisata ke pantai. Itupun masih kalah gesit oleh pak tua pak tua yang lainnya.
    Matahari berenang di atas permukaan laut yang tenang, wajah jingganya semakain condong ke barat melambai-lambaikan tangannya kepada laki-laki tua. "Hey pak tua, untuk apa larut-larut di dalam kesedihan? Kalau kau ingin bersedih, kau tak akan pernah bisa merasakan kesedihan. Bukankah hidup sendiri adalah kesedihan?" Seketika batara senja menyelam dalam-dalam ke dasar laut yang gelap. Kata-kata itu membangkitkan tubuh laki-laki tua itu, lalu dia meninggalkan lamunannya di bawah pohon kelapa. Langkah kakinya berjalan gontai sayu membelah pasir-pasir menuju pondokannya. Pak tua berkemah di sebuh bukit di dalam celah dua batu karang besar yang mampu menahan angin yang setiap saat selalu berusaha merobohkan pondok bambu dengan tiang penyangga kopong diranggas rayap. Tempat berkemah juga masjid juga rumah Tuhan. Dia tak pernah meninggalkan ritual lima waktu kepada-Nya. Juga sholat malam-malam. Kali ini dia mandi keramas, tubuhnya suci lahir batin. Kedua kaki bersila, tangan menengadah memohon ampunan dari Yang Maha Kuasa. Ya hanya itulah yang bisa dilakukan umur tua selain penyesalan. Sementara dingin malam menjadi selimut dalam tidur di atas galar bambu beralas tikar bolong-bolong dan lampu teplok yang menyala siap membakar dirinya kapan saja. Tubuhnya yang kering dan gapuk itu mudah sekali untuk terbakar. Pak tua tidur dengan perut yang lapar. Perutnya yang keroncongan, oh tidak, dangdutan, ya dangdutan, menjadi lagu hiburan tersendiri bersama mimpinya. Krucuk-krucuk.
    Sementara di bawah, batu dan pasir masih bercengkrama dengan langit malam. Mereka juga hidup, tapi tidak merasakan kehidupan. Pasir pantai memandang wajah pasir langit, mereka saling bertatapan, bertemu dalam jarak dengan hitungan tahun cahaya. Sesekali pasir langit berjatuhan, namun tak sampai pelukan pasir pantai. Pasir selalu berharap. Batu adalah pasir, namun dengan ukuran yang lebih besar. Bercakap-cakap dengan batu di langit. Bulan juga batu. Warna langit menjadi mengernyit. Malam menjadi waktu yang indah untuk mereka yang mengerti cara untuk menikmatinya. Walau hanya sekedar meresapi belaian angin bersama pelukan dingin akan menjadi sebuah kesunyian yang indah jika dirasakan bagai kehadiran seorang teman. Sunyi itu indah, teman yang indah. Batu dan pasir mengeksploitasi kesepian mereka. Mengarang cerita-cerita tentang indah mimpi menjadi nyata sambil menikmati lara, sementara mereka teduh tak merasakan jarak yang jauh, meluapakan rindu sejenak, dunia hanya ada pantai dan langit. Untuk sementara. Lama-lama mereka terlelap juga, diatas laut, di bawah laut. Langit malam adalah lautan lengkap dengan bintang-bintang, bulan dan juga gumpalan awan yang menjadi ombak tertiup angin.

Matahari terlahir dari perut bukit, fajar tiba. Hari yang biasa-biasa saja dengan langit cerah biasa, suasana biasa dan masih dengan perut yang lapar pak tua turun dari bukit menuju tempat biasa yang didatanginya setiap hari. Seperti biasa. Pohon kelapa terlihat bosan dengan pemandangan setiap harinya, bosan dengan lamunan orang tua ini. Perut pak tua semakin mengkerut, kepalanya terlihat lebih besar dan matanya melotot dengan semburat otot-otot merah sepintas terlihat seperti kepala yang berjalan dengan kerangka dan tulang-tulang. Matanya yang menyala mencari sarapan bagai cahaya lampu senter menyoroti setiap sudut rumah-rumah. Dia mampir di warung makan, pergi ke pinggir-pinggir jalan, dan akhirnya hinggap di tong sampah. Matanya sudah tidak mengenali makanan, ia makan apa saja yang didapatkannya di dalam tong sampah. Kertas, plastik, daun-daun busuk, baginya sama saja. Batu dan pasir menertawainya, mereka terpingkal-pingkal melihat pak tua. Pohon kelapa mengoyang-goyangkan daunnya. Sumua tertawa. Orang-orang cendekia juga tertawa.
    "Selamat pagi pak tua," sambut mereka di pesisir bersama-sama, sahabat yang selalu menyapa seperti hangat cahaya matahari di pagi hari.
    "Selamat pagi teman-temanku," pak tua meninggalkan tong sampah dan berjalan mendekati mereka.
    "Perutmu hilang kemana pak? sepertinya telah digondol anjing semalam," kata batu.
    "Awas pak nanti kepalanya jatuh mengelinding ke tanah," kata pasir.
    "Kesini pak biar kupegangi tubuhmu, nanti tertiup angin." Sahut pohon kelapa
    Pak tua berjalan reot menghapiri mereka, jalannya tidak seimbang dan kakinya gemetar tak terkendali. Semua menertawakannya, tertawa tambah seru saja, makin terpingkal-pingkal hingga perut mereka kaku seperti terganjal balok kayu. Pak tua ikut tertawa saja.
    "Betukmu sudah seperti hantu jerangkong pak," ungkap pasir.
    "Jalanmu seperti layangan putus," lanjut batu.
    "Ya mau bagaimana lagi, aku kalah dengan mereka yang gesit mencari makan." Bela pak tua.
    "Menara mercusuar laut."
    "Ya, kena sekali itu."
    "Haha, hayo hayo terus teman-teman."
    "Ayo apalagi?"
    "Tusuk sate usus di angkringan."
    "Oh tidak, sate brutu."
    "Cacing yang kepanasan."
    "Mungkin sebentar lagi jadi fosil yang tertimbun pasir."
    "Kenapa tidak tidur di tong sampah saja? kalau ada makanan sisa kan bisa langsung makan tanpa berebut," tukas pasir.
    "Aku pernah mencoba, tapi tidak kerasan disana. Aku diusir-usir oleh yang lainnya."
    "Ke sini pak duduklah di pohonku, biar ku pijit-pijit badanmu." Kata pohon kelapa.
    "Ah aku ingin rebah sebentar, makan angin-angin sampai perutku kembung menjadi bunting lagi."
    Mereka masih mengigis menahan tawa.
    Angin laut sangat sejuk, sementara matahari mulai meninggi. Pak tua duduk bersandar di pohon kelapa, paru-parunya kembang-kempis memompa udara, jantungnya berdetak sangat lemah, jakunnya naik turun menelan ludah, mulutnya menganga menyedot-menghembuskan udara. Suasana pantai tampak sepi karena orang-orang sedang memburu kerja, rupanya kalender sedang berwarna hitam dan tak ada titik merah di pojok kiri atas sekalipun.
   "Angin pagi ini tersa beda, angin apakah ini? lebih sejuk dari biasanya. Apakah ini yang disebut angin surga, ataukah hembusan napas malaikat pencabut nyawa? Ah. Aku bisa mendengar jantungku berdetak, ku hela napas dalam-dalam. Masuk melalui hidung, kuhembuskan melalui mulut. Ah. Indah sekali, aku besyukur masih bisa bernapas sampai pagi ini. Anugerah Tuhan yang sering kita anggap suatu yang biasa saja, jika kau tahu hari ini adalah napas-napas terakhirmu, mungkin baru sadar bahwa napas itu anugerah. Barang gaib yang tidak terlihat oleh mata, namun bisa dirasakan setiap tarikannya..." Pak tua terus nerocos.
    "Pak pak, kamu ini bicara apa pak? aku tak mengerti maksud bicaramu yang panjang itu." Sangkal batu.
    "Rasanya aku ingin mati saja. Aku sudah tidak tahan dengan kehidupan yang seperti ini."
    "Perutmu lapar pak, makanya kau bicara kelayapan begitu."
    "Tidak, aku ingin mengakhiri sampai di sini saja. Aku tersiksa. Juga rindu keluarga."
    "Makanlah buahku pak, tenangkan pikiranmu dengan degan hijauku ini." Sahut pohon kelapa sambil menjatuhkan buahnya yang masih muda, ini adalah satu-satunya buah yang dimilikinnya. Sememtara batu membantu memecahkannya.
    "Terima kasih kelapa, kalian memang baik-baik semua." Pak tua meminumnya, namun hanya sedikit.
    "Habiskan Pak!" Kata pasir
    "Tidak, ini untuk kalian saja. Hanya inilah barang berharga yang kalian miliki, minumlah sisanya. Pasti kalian haus juga."
    Matahari sudah tinggi. Hari mulai panas, suasana menjadi panas, tenggorokan kembali terasa panas. Sang batara sedang berdiri diatas kepala, cahaya panas menghantam gundul-gundul yang mulai pecah menimbulkan celah-celah bagai tanah yang menganga kekurangan air. Juga memngkuliti tulang-tulang kehilangan lapisan yang telah terbakar menjadi abu. Kulit-kulit hilang dan pandangan mata menjadi fatamorgana. Awan arak-arakan membentuk binatang dan mobil dan pohon dan kemudian berubah bentuknya. Semua menjadi lenggang menyaksikan pak tua yang masih bersandar di pohon kelapa. Sementara pak tua sendiri sedang mengkosongkan pandangannya. Dilemparkannya jauh-jauh kedua matanya ke hamparan air yang biru dan luas. Di permukaannya ada dua ekor burung camar mencari ikan-ikan kecil, sayapnya mengibas di atas ombak dan menyibak semesta. Tatapannya tajam ke dalam air mengamati ikan-ikan yang sedang mandi dengan air asin. Salah satu camar tak bisa menahan tawa ketika sekelibat melihat bentuk tubuh pak tua yang sedang bersandar di pohon kelapa. Dia kabarkan kepada pasangannya. Lalu mereka hilang begitu saja dibalik karang yang menjulang terjal. Pak tua masih mengkis-mengkis dengan anginnya. Kini matanya terlihat sangat berat untuk terbuka, layu bagai mawar merah yang melankolia.
    "Semalam aku bermimpi teman-teman, kurasakan malam begitu syahdu. Kesyahduan yang sangat hingga terasa gubukku bagai rumah para ksatria langit yang tampan-tampan."
    "Ya ya ceritakan kepada kami pak," tukas pasir. "Apa yang mereka lakukan di rumahmu? apakah kau yang paling tampan diantara mereka?"
    Semua kembali tertawa.
    "Lanjutkan pak," kata pohon kelapa.
    "Mereka semua mengelilingiku, ada delapan orang. Oh tidak, sepuluh!" Wajah mereka berseri-seri, keningnya berkilauan. Dari kesemuannya ada yang membawa terompet, ada yang membawa gada, ada dua orang yang sibuk mencatat, ada juga yang berkalungkan kunci, yang satu dari api, yang satu air kesejukan. Mereka mengelilingiku, lalu ada satu yang mendekatiku berdiri di sampingku. Yang ini selalu mengikutiku kemanapun aku pergi, mungkin saat ini ia sedang berada di sebelahku."
    Semua cercengang mendengar cerita pak tua, keningnya terkerut-kerut dan tangan menompang dagu.
    "Rumahku seolah tampak seperti istana dengan cahaya yang benderang walau sebenarnya hanyalah gubuk yang rapuh menyala bersama lampu teplok. Ya, rumah Tuhan. Malam terasa hangat tak ada semilir angin sedikitpun, juga nyamuk-nyamuk yang biasa mengerubungi telingaku. Lihat, tanganku merinding! Mereka semua tak ada yang mengucap satu katapun."
    "Mungkin mereka bisu pak," kata batu.
    "Ah kau ini, tak ada habisnya menertawakan orang."
    "Lalu apa yang kaulakukan disana pak?"
    "Aku hanya melongo saja di dalam suasana, lidahku terasa kaku untuk mengucapkan kata. Mataku juga, hanya sayup-sayup rindik menatapi wajah mereka satu-satu. Wajahnya penuh warna, aku telah lama mempelajarai warna-warna, tapi aku tidak tahu warna apa yang tampak di wajah mereka. Aku sendiri juga bingung dengan diriku. Sepertinya yang di sebelahku ingin menyampaikan sesuatu, tapi aku bisa menerjemahkan bahasanya. Lalu yang sembilan lenyap satu-satu menembus atap pandan rumah, namun yang satu masih di sebelahku. Mengikutiku kemanapun aku pergi, hingga saat ini. Aku bangun dengan pikiran yang linglung."
    "Pak?"
    "Iya batu, apalagi?"
    "Lalu, apa yang kau rasakan sekarang pak?"
    "Entah, kaki-kakiku mulai lemas. Dingin. Orang tadi malam sedang memijit-mijit kepalaku, ini nyaman sekali"
    Kemudian suasana menjadi hening, semua terdiam beberapa saat. Plastik dan kertas terbang mengulung-gulung di atas pasir tertiup angin, menghantam kapal, terbang tinggi nyangkut di daun pandan, tertusuk duri. Pak tua berpeluh. Sudah tidak dirasanya perut lapar, jantungnya semakin lemas. Napasnya terisak-isak lebih berat. Ia teringat lagi kepada istri dan kedua anaknya yang telah jauh meninggalkannya. Ia merindukan pelukan yang hangat dan mendebarkan. Pak tua rindu meminum susu buatan istrinya, juga rumput-rumputnya yang sudah tumbuh subur bagai bunga jambu air yang sedang mekar. Tak pernah terlupakan saat rumput-rumput saling dipertemukan, menimbulkan rasa geli-geli menggairahkan. Pak tua kangen kecupan anak-anaknya saat berangkat ke sekolah. Pak tua rindu. Merindu.

Ya Allah
ulurkanlah tangan-Mu
aku memohon pertolongan
ajaklah aku jalan-jalan
sedangkan tangan kita bergandengan
"Marilah kita berjalan di atas lautan."
atau berdua mendayung sampan
lalu tinggalkanlah raga ini di tengah samudra
biarkan nyawaku melompat-lompat
mengikuti arah-Mu
ah, nyawaku melayang-layang
Fantastis.

Wajah pak tua semakin pucat, dia masih berada di dalam pelukan pohon kelapa. Tubuhnya compang-camping terlihat lebih lusuh dari bajunya yang bolong tak mampu menutupi perutnya yang tinggal sebiting lidi. Gambar di kausnya terlihat lebih gimbal dari dreadlock Bob Marley, warna merah kuning hijau, rasta sudah pudar bersama perutnya yang hilang dimakan ususnya sendiri. Pak tua melihat laki-laki yang ada di dalam mimpinya semalam kini berdiri di sampingnya, ia terlihat sedang mengusap-usap kepala dan rambut pak tua. Tangan laki-laki itu satu persatu mengayun ke depan, ke belakang, ke depan bargantian seperti sedang menarik sesuatu lewat kepala pak tua. Kaki sudah lemas menuju kaku. Batu dan pasir mendekati pak tua, mereka memeluknya, dipijit-pijit tubuhnya sambil berbisik-bisik di telinga pak tua. Matahari berdiri diatas kepala. Semakin panas. Bukit-bukit kekeringan. Air tanah menyusup jauh ke dasar bumi. Angin semilir semakin liar. Awan-awan berlari kencang. Pasir-pasir menjadi debu berterbangan. Kedua mata kelilipan. Pak tua semakin kaku. Kini tinggal kepalanya yang masih bernapas, pandangan mata menjadi buram. Melihat tubuh pak tua, matahari seketika berlari ke barat, tak peduli pada siang dan malam. Matahari berlari kencang menembus awan-awan. Di hancurkannya apa saja yang ada di depannya, walau ada gunungpun akan terbelah. Tak ada yang bisa menghentikan laju pelariannya. Dia ingin membuat pak tua merasa bahagia dengan langit senja. Pada langit jingga matahari bermuara. Pak tua mati dengan senyum bahagia.
    Ha Ha..apa yang terjadi setelah kematian? Ya, tidak ada satu kerbaupun yang tahu kehidupan setelah kematian. Saudara, cerita berakhir sampai disini saja. Selanjutnya bisa menjadi ruang kepada pembaca untuk melihat kehidupan setelah kematian.
.................................
...............
............................................
............................
...................................................................................................................
.................................................................................. Matipun juga kehidupan.

Ngawi, 26 November 2013

No comments:

Post a Comment