(Dikutip dari Buku GURU SEJATI, Telaah Ajaran Setia Hati
H. Tarmadji Boedi Harsono,SE)
Tak dipungkiri, hidup butuh perjuangan mencapai pemenuhan hajat.
Laksana air, ia terus bergerak dari satu tempat ketempat lain mengisi
multi ruang dan dimensi konsekuensinya muncul beda pendapat silang
pandang dan persaingan antar kepentingan. Dampak lebih konkret lagi
terjadinya persinggungan antar individu, kelompok dan komunitas. Perang
acapkali menjadi penyelesaian paling frontal, lantaran pihak-pihak yang
saling bertikai, sama-sama ngotot mempertahankan kepentingannya kukuh ngugemi karep,
seakan tak ada lagi jalan penyelesaian secara damai. Musyawarah
mencapai mufakat dianggap barang yang tak punya nilai hingga otot jadi
pertaruhan akhir.
Padahal, jika mau menyelami lebih dalam
lagi, ruang penyelesaian terhadap beda pendapat , kebersinggungan dalam
pranataan multidimensi, masih terbuka lebar. Bahkan ruang ini hampir
tidak terbatas, saking luasnya apalagi jika kita mau menghayati dan
mencari akar persoalan yang sebenarnya. Sumber penyulut angkara yang
menyebabkan akal sehat tak lagi berfungsi dan gerak ragawi mengalahkan
nilai-nilai pengendalian diri.
Apa itu? Jawabnya adalah nurani, kompas jati diri pengendali arah
refleksi jiwa sekaligus raga. Inspirator segala kebijakan yang
dijabarkan oleh gerak emosi atau nafsu. Juga, motor penggerak aktivitas
indra dan anggota raga.
Disinilah kadang perlunya Persaudaraan Setia Hati Terate, ditekankan selalu mengasah nurani , mulat sarira hangrasawani. Tujuannya agar setiap tindakan dan pikirannya selalu terkontrol, tidak over acting, selaras dengan proporsinya. Bisa empan papan. Karenanya, kesantunan dan kesadaran empan papan ini mutlak harus disikapi dan tidak boleh diabaikan.
Jika setiap warga Persaudaraan Setia Hati Terate ini sudah bisa bertindak dan berpikir dengan konsep empan papan
sesuai dengan proporsinya, maka dia akan muncul dengan sosok yang
disegani. Sebab dirinya memang sudah sampai pada konsepsi kesadaran
makna diri (ngerti). Ibaratnya, ia akan tampil sebagai sosok yang mampu manjing ajur ajer, cendhek datan kaungkulan, dhuwur datan ngungkul-ungkuli.
Tentu, kesadaran makna diri ini tidak akan muncul tanpa proses
pembelajaran secara kontinyu. Karena itu, Persaudaraan Setia Hati Terate
ini telah meletakkan dasar pembelajaran ngerti empan papan ini
sejak dari siswa, melalui pelajaran kesantunan dan konsep penghormatan.
Misalnya, begitu datang ditempat latihan, mereka disarankan saling
berjabat tangan.
Kemudian setelah berganti pakaian, sebelum memulai latihan harus
menghormat pada pelatih. kemudian, bersama-sama pelatih mengawali
kegiatan dengan berdoa bersama.
Proses pembelajaran ini, sesungguhnya merupakan awal peletakkan dasar
kepada siswa untuk bisa empan papan. Pertama, menghargai nilai-nilai
keberadaan orang lain yang diujudkan lewat berjabat tangan .kedua
peletakan dasar kesantunan antara yang muda kepada yang lebih tua yang
ditunjukkan lewat aktivitas menghormati kepada pelatih. Ketiga,
pengenalan dasar pengertian dan kesadaran atas keberadaan Tuhan yang
diwujudkan dengan doa bersama sebelum memulai kegiatan.
Konsep pembelajaran ini diteruskan secara berjenjang , selama siswa
berproses menjadi warga dari tingkat ketingkat, melalui pelajaran
kerokhanian. Targetnya setelah siswa menjadi warga , ia akan bisa
mengamalkan ajaran itu dalam kehidupan masyarakat.
Contoh sederhana, bagaimana kita bersikap saat berada dilingkungan
kerja dan bagaimana pula bersikap saat berada ditengah-tengah lingkungan
dan masyarakat.
Untuk menuju kearah itu terdapat empat tingkat pengertian dan
kesadaran harus dipegang teguh. Pertama, mengerti keberadaan
diri sendiri (ngerti lungguhing kapribaden). Kedua, mengerti keberadaan
orang lain (ngerti lungguhing ngaurip). Ketiga mengerti pada keberadaan
Tuhan (ngerti punjering manembah). Keempat mengerti jalan menuju
kematian (ngerti dumunge pati)
Ngerti Lungguhing Kapribaden
Ini adalah tingkat kesadaran pertama, dimana setiap kadang
Persaudaraan Setia Hati Terate diwajibkan untuk mengerti dirinya. ia
sebagai sesosok titah (ciptaan), keberadaanya tidak lebih baik dari
titah sakwantah (manusia bisaa). Karenanya ia pun harus bisa
memposisiskan dirinya pada proporsi yang paling bersahaja.tidak merasa
besar, ora kemlinthi, karena selain dirinya, masih ada titah-titah lain,
yang baik hak dan kewajibannya, adalah sama , setara.
Sebaliknya karena dirinya ngerti bahwa kedudukan setiap titah pada
dasarnya sama, maka dimanapun berada , ia tidak akan kehilangan
kepercayaan diri (dalam lingsem). Pun tidak akan kelewat percaya diri
(super ego, tidak sombong). Penampilannya, kendati tampak bersahaja,
sederhana tapi tidak berkesan miskin, wibawa tapi tidak angker. Setiap gerak geriknya terpencar sebuah sikap percaya diri (Setia Hati)
Ngerti Lungguhing Urip.
Hidup merupakan sebuah proses menuju titik akhir dalam berdharma.
Karena keberadaanya berkisar pada proses, maka sangat mustahil jika
berjalan sendiri. Ada sebuah system yang mempengaruhinya. Bahkan, system
itu pada kondisi tertentu, mutlak diperlukan keberadaanya , dalam
proses pembentukan jati diri . Misalnya sebuah system yang mengharuskan
seseorang berjalan disisi kiri dalam berlalu lintas. Atau system yang
mengarahkan seseorang harus patuh pada jadwal rutinitas kerja.
Yang jadi soal barangkali adalah apakah kita selamanya harus larut
kedalam system dengan melepas eksistensi yang kita miliki? apakah kita
mesti total mempertaruhkan nilai-nilai privasi masuk kedalam sebuah
system demi mempertahankan system yang ada? tentu saja bukan demikian
yang kita harapkan. Sebab acapkali tidak semua system bisa berjalan
berdampingan dalam satu waktu dan ruang yang sama. Misalnya system
berlalu lintas di Indonesia mengharuskan kita berjalan disebelah kiri,
karena yang dipakai system berlalu lintas Eropa. Tapi apakah kita
menggunakan system ini jika kita naik mobil dijalan raya dibenua
Amerika, yang nota bene, menggunakan system kanan?
Contoh lain dalam system militer, bawahan harus memberi hormat pada
atasan dengan cara hormat ala militer. Apakah aturan itu juga bisa
diberlakukan dalam keluarga? Misalnya, dengan mengharuskan istri dan
anak-anak melakukan sikap hormat militer pada suami dan ayah? tentu saja
jika ini dilakukan, akan kelihatan lucu. Bahkan akan malah jadi bahan
tertawaan orang lain.
Persaudaraan Setia Hati Terate, sebagai bagian dari masyarakat
majemuk, sudah barang tentu memiliki dasar ajaran berhadapan dengan
persoalan ini. Yakni pada prinsipnya, warga Persaudaraan Setia Hati
Terate tidak mengatur dan tidak mau diatur. Tapi warga Persaudaraan
Setia Hati Terate akan berusaha semaksimal mungkin menjunjung tinggi,
mematuhi dan melaksanakan aturan yang sudah menjadi kesepakatan bersama.
No comments:
Post a Comment